Monday, July 31, 2006

Disebut Provokator, Puluhan Wartawan Demo Bupati Poso

Poso - Puluhan wartawan di Poso, Sulawesi Tengah, mendemo Bupati Poso Piet Inkiriwang. Para jurnalis menuntut bupati meminta maaf atas pernyataannya yang menyebut wartawan sebagai provokator.

Aksi digelar di depan Kantor Bupati Poso, Jl. Pulau Buru, Poso Kota, sejak pukul 09.00 Wita, Rabu (7/12/2005). Dalam aksi yang berlangsung selama satu jam itu, para wartawan mengancam akan memboikot berita-berita terkait Pemerintah Kota Poso jika bupati tidak meminta maaf.

Namun sayang, Bupati Poso tidak bersedia menemui wartawan. Yang muncul ke hadapan massa adalah Wakil Bupati Poso Abdul Tholib Rimi. Ia pun hanya bisa berjanji akan menyampaikan tuntutan wartawan kepada bupati.

Pernyataan bupati yang menyebut wartawan sebagai provokator disampaikan dalam acara pertemuan dengan pemuda Poso di Aula Pogombo, Rumah Jabatan Bupati Poso, di Poso Kota, pada 1 Desember lalu.

Sebelumnya Bupati Poso juga pernah membuat pernyataan yang kontroversial. Ia menyebut aksi-aksi kekerasan di Poso hanya hal biasa dan dibesar-besarkan oleh media massa.***

Darah Masih Mengalir, Jenderal!

Poso di Tahun 2002

Penegakan hukum dan HAM di Poso tak berubah. Insiden masih terjadi. Banyak juga yang dilakukan oknum aparat. Operasi pemulihan keamanan tetap dilanjutkan.


SEORANG lelaki berdasi tampak duduk di bagian utara ruang rapat kantor Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) di Jalan Satsuit Tubun, Palu Timur, Senin pekan lalu.

Di depan lelaki rapih jali itu berserak lembaran kertas kerja di atas meja. Duduk di hadapan lelaki kecil bersuara lantang itu para jurnalis dari berbagai media. Mereka semua mengelilingi meja rapat berbentuk persegi panjang.

Lelaki berdasi itu Adalah Dedy Askari, SH, Direktur Eksekutif LPS-HAM. Di sampingnya, Moechtar Mahyuddin, Kepala Divisi Kampanye dan Syamsu Alam Agus, Sekretaris Eksekutif duduk dengan mengapit lembaran kertas kerja.

Mereka bertiga tampak serius. Dahi berkerut dengan mimik muka tanpa senyum menghiasi wajah ketiga pegiat HAM itu. Hari itu, LPS-HAM memang tengah menggelar konferensi pers akhir tahun 2002 bertajuk “Merentang Damai Dalam Tawanan Militer Sesat dan Pemerintahan Korup di Kabupaten Poso”. Sebuah dokumen setebal 24 halaman berisikan hasil investigasi LPS-HAM di Poso selama tahun 2002 dibagikan. Dokumen itu kemudian dipresentasekan Dedy.

Dedy menyebut, kondisi hak sipil politik masyarakat Poso selama tahun 2002 tidak mengalami perubahan dibanding tahun 2001. “Semua upaya pasca Deklarasi Malino yang diteken akhir 2001 seakan tidak memiliki arti apa-apa,” terang alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako itu.

Hasil studi LPS-HAM menunjukkan selama kurun tahun 2002, kekerasan-kekerasan masih senantisa terjadi di kabupaten tertua di Sulawesi Tengah itu. Bulan Januari terjadi tujuh kasus, Februari kosong, Maret dua kasus, April kosong, Mei empat kasus, Juni enam kasus, Juli 19 kasus, Agustus 40 kasus, September dua kasus, Oktober empat kasus, November satu kasus dan Desember hingga tanggal 30 ada delapan kasus.

“Data itu menunjukkan rangkaian peristiwa yang terpelihara yang dilakukan oleh institusi negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, lebih-lebih oleh institusi militer, tentara maupun polisi,” urai mantan Ketua Dewan Daerah Walhi Sulteng itu.

LPS-HAM melihat naiknya eskalasi konflik meningkat antara bulan Juli dan Agustus itu tidak terlepas dari berakhirnya proyek pengamanan. “Institusi-institusi berkepentingan membuat letupan-letupan kecil secara berantai dan sistemik agar kebijakan terhadap proyek keamanan terus ada,” kata Dedy.
Hasil investigasi LPS-HAM, lanjut Dedy, menunjukkan dari 95 insiden (lihat tabel), terdapat 21 kali penembakan misterius. “Dari jumlah kali itu 36 persen korban penembakan misterius tertembak di kepala,” kata Dedy.

Menurut Dedy, ditilik dari sasaran tembak penembakan misterius itu, LPS-HAM menyimpulkan, sosok pelaku di balik itu bukanlah orang-orang sipil, atau paling tidak, sebagian besar pelaku penembakan adalah anggota-anggota dari sebuah institusi negara yang terlatih.

Insiden-insiden yang terjadi, dalam kajian LPS-HAM, paling nyata dilatarbelakangi buruknya kinerja aparat keamanan dan penegakan hukum. “Bahkan tidak jarang meningkatnya eskalasi konflik karena perilaku buruk aparat keamanan,” tutur Dedy mengutip hasil penelitian lembaga yang dipimpinnya itu.

Rangkaian peristiwa yang banyak mengalirkan darah di Poso itu membimbing LPS-HAM untuk tiba pada simpualan, dalam tahun 2002, negara, dalam hal ini aparat keamanan telah gagal menuntaskan konflik berkepanjangan di Poso. “Kinerja eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam penegakan hukum dan HAM sangat mengecewakan,” tandas Dedy.

LPS-HAM juga berkesimpulan, polisi telah gagal dalam menciptakan rasa aman pada masyarakat dengan merebaknya penembakan misterius.

Itu sebabnya, LPS-HAM meminta dukungan politis terhadap kepolisian dicabut. “LPS-HAM juga menolak penambahan pasukan serta pembentukan batalyon baru di Poso. Pemerintah sebaiknya mengefektifkan 3500 personil aparat yang ada di sana,” tandas Moecthar.

Aparat Bukan Bagian dari Konflik
Apapun, operasi pemulihan keamanan Sintuwu Maroso yang kerap disebuat Opslihkam tetap akan dilanjutkan. Operasi yang digelar pasca penekenan Deklarasi Malino itu semestinya berakhir 31 Desember silam.

Namun, menurut Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Taufik Ridha, per 1 Januari 2003, Opslihkan diperpanjang lagi selama enam bulan. Kondisi keamanan Poso yang meski diakui Taufik telah kondusif namun masih berisi riak-riak menjadi alasan utama perpanjangan operasi itu.

Dalam evaluasi akhir tahun 2002, Selasa pekan lalu, di ruang Rupatama, Markas Polda Sulteng, Taufik menegaskan, aparat bukan merupakan bagian dari konflik Poso. “Tapi, harus diakui ada oknum-oknum aparat yang melakukan tindakan indisipliner. Meski pelanggaran manusiawi tapi kami tetap menindaki oknum aparat itu,” tekan Taufik.

Sayang dalam pertemuan Selasa itu, Taufik tak menyebutkan berapa pelanggaran yang dibikin oknum aparat. Taufik hanya memaparkan, selama tahun 2002 terjadi 197 kasus kriminalitas di Poso. Itu artinya terjadi peningkatan sebanyak 9,44 persen dibanding angka kriminalitas tahun 2001 yang berjumlah 180 kasus.

“Dari lima polres yang ada di Sulawesi Tengah, angka kriminalitas di Poso untuk tahun 2002 berada dirangking IV terbanyak,” jelas mantan Wakil Kepala Polda Sulteng itu.

Data itu menunjukkan situasi keamanan dan ketertiban di Poso tak lebih buruk dibanding dengan tujuh kabupaten dan satu kotamadya yang ada di Sulawesi Tengah. Sebaliknya, data itu juga menyiratkan satu hal, Deklarasi Malino belum sepenuhnya berjalan di bumi Sintuwu Maroso itu. Darah masih mengalir di sana, Jenderal. ***

Kado Akhir Tahun untuk Komnas HAM

Jalan Panjang Konflik Poso (3)

UNTUK menyelesaikan kasus Poso pemerintah pun tak mau ambil resiko lagi. Digelarlah Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Terpadu. Tapi banyak yang sangsi akankah itu menyelesaikan masalah.

Kesangsian itu jelas tergambar pada wajah-wajah orang-orang yang mengantar sesosok jenazah yang terbujur kaku di kantong plastik transparan Rabu siang (5/12/01). Di antaranya bermata sembab dan memerah. Mungkin karena kesedihan yang bercampur dendam. Mereka mengantar jenazah sanak keluarganya yang mati terbunuh hari itu. Di atas mereka matahari Ramadhan sedang terik-teriknya. Tapi seperti terpayungi, mereka terus berjalan mengiringi anak muda malang yang telah terbujur kaku itu. Jenazah anak muda yang diiring itu adalah Syuaib Lamarati. Belia berusia 16 tahun, yang ditemukan dengan kepala dan kaki tangan terpisah dari tubuhnya.

Beratus pasang mata pun menyaksikan kekejian yang memaksa anak muda itu meninggalkan hari mudanya. Dia adalah salah seorang korban penculikan Toyado di dinihari Ramadhan ini.

Iringan pengantar jenazah pada Rabu (5/12) tak urung membuat tim Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) terkejut. BN. Marbun, Soegiri dan Andi N. Nurusman, tiga orang wakil dari Komnas HAM itu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya di hadapan sejumlah masyarakat muslim Poso dan tokoh masyarakat Poso.

Sungguh kita pun tak akan mampu menyaksikan kekejian itu. Dan Syuaib hanyalah salah satu korbannya. Kurun Mei-Juni 2000, lalu pada awal 2001, kekejian serupa memakan puluhan korban tak berdosa. Di antaranya adalah anak-anak dan perempuan.

Karenanya banyak pihak selain masyarakat Poso sendiri menghendaki pertikaian yang berdarah-darah itu segera usai. Sementara pada pekan-pekan ini pertikaian suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) itu kian meruyak. Selama pekan ini saja korban yang tewas dari kedua kelompok bertikai mencapai sembilan jiwa, tujuh orang mengalami luka tembakan dan saat berada dalam kondisi kritis. Dua orang korban itu adalah anggota TNI dari Batalyon Infanteri 711 Kompi B Poso.

Hal itu kian menambah deretan jumlah korban yang tewas selama konflik Poso sejak Desember 1998-Desember 2001 ini. Dari laporan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Poso, per 5 Desember 2001 ini korban yang tewas mencapai 577 jiwa. Meski menurut Koordinator Front Solidaritas Islam Revolusioner (FSI-Rev) H. Sofyan Faried Lembah, SH, MH, korban yang tewas mencapai angka 2.000 jiwa. “Jumlah itu kami hitung berdasarkan data demografi sejumlah desa yang dilanda konflik,” terangnya kepada detikcom

Sementara kerugian materil meliputi, 7.932 buah rumah penduduk terbakar, 1.378 rusak berat dan 690 buah rusak ringan. Sedangkan rumah ibadah yang terbakar tercatat masjid 27 buah, gereja 55 buah dan pura 1 buah. Kerugian materil itu juga ditambah dengan 239 kendaraan bermotor yang terbakar..

Sampai dengan hari ini, kondisi keamanan Kabupaten penghasil kayu Ebony seluas 1.443.736 hektare itu, masih tetap saja mencekam. Kondisi perekenomian berjalan tersendat-sendat. Pasar kota satu-satunya di Kabupaten Poso lenggang. Sementara salakan senjata api dan rakitan serta dentuman bom saban malam terdengar.

Kepada detikcom Bupati Poso Abd. Muin Pusadan menyebutkan, pertikaian itu telah meluluhlantakan sejumlah sarana perumahan penduduk, kantor pemerintah dan rumah-rumah ibadah. Diakuinya, roda pemerintahan dan ekonomi Kabupaten Poso belum berjalan normal hingga hari ini. Meski, “kami sudah mengupayakan berbagai jalan untuk kembali ke situasi normal ini. Kami sangat berterima kasih, atas perhatian dari pemerintah pusat atas Poso,” kata Muin.

Karenanya, Muin mengaku benar-benar berharap pada Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Terpadu yang digelar di Poso sejak Senin (10/12/01) pekan ini.

Muin jelas sungguh-sungguh berharap. Soalnya sesuai keterangan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Susilo Bambang Yudhoyono, pada detikcom operasi pemulihan yang digelar di Poso itu ditargetkan selesai hingga enam bulan mendatang. Sesudah itu akan dimulai proses rehabilitasi fisik dan mental, rekonstruksi sosial, ekonomi dan politik hingga rekonsiliasi.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pun tak tanggung-tanggung. Mereka telah menyatakan diri siap untuk mengemban tugas itu. Telah disiapkan 5 batalyon pasukan keamanan dari Polri dan TNI di bawah kendali operasi (BKO) Polda Sulteng, untuk mendukung Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu Poso yang diberi sandi Operasi Sintuvu Maroso itu.

Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Polisi Zainal Abidin Ishak menjelaskan hal itu, saat detikcom menanyakan kesiapan aparat keamanan di Poso.

Menurutnya, penambahan personil aparat keamanan adalah konsekwensi logis dari upaya pemulihan keamanan di Poso. “Sampai saat ini kami telah meminta bantuan kepada Polda Sulawesi Selatan, Polda Sulawesi Utara dan Markas Komando Brimob Kelapa Dua Bogor,” kata Zainal.

Penambahan personil keamanan itu, terang Zainal lagi, dalam rangka pelaksanaan “Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Terpadu.”Yang jelas kami telah menyiapkan diri untuk itu,” tekan zainal.

Zainal menjelaskan jika operasi itu akan diawali dengan sweeping senjata di kalangan sipil. Itu menurutnya atas permintaan masyarakat Poso sendiri yang ingin segera menyudahi konflik yang telah berlarut-larut itu.

Soal operasi itu, sebelumnya Rabu (5/12/01) juga telah dijelaskan Menkopolkam Susilo di hadapan masyarakat Poso. Menurutnya, operasi itu bertujuan untuk menciptakan prakondisi menuju tahapan rekonsiliasi Poso.

Memang banyak yang berharap agar operasi itu bisa berlangsung efektif. Apalagi memang sekitar 32.674 Kepala Keluarga pengungsi kini masih berada di barak-barak dan posko penampungan pengungsi di Palu dan Tentena, serta sejumlah kota di Sulawesi semisal Manado dan Makassar.
Hanya saja ada yang mempertanyakan pendekatan militer yang digunakan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik Poso itu. Salah satunya adalah Da’i kondang KH. Zainuddin MZ. Dalam tabliq akbarnya di Medan pekan ini dia mempertanyakan upaya pendekatan militer yang digunakan itu. Menurutnya, pemerintah mesti mengedepankan pendekatan religi atau kultural.

Kekhawatiran Zainuddin itu beralasan. Soalnya hanya untuk wilayah yang luasnya cuma 1.443.736 hektare itu, sampai ada 5 batalyon yang mesti disiapkan. Selain biaya operasional yang besar, dampak-dampak daerah operasi militer sudah sama-sama kita maklumi. Meski untuk operasi itu, baik TNI maupun Polri menolak disebut sebagai operasi militer, seperti yang diberlakukan di Nanggroe Aceh Darussalam atau Papua.

Padahal upaya yang pernah dirintis oleh Polda Sulteng berupa tim pembinaan rohani, keamanan, ketertiban masyarakat (Binrohkamtibmas) mesti dioptimalkan. Artinya, pendekatan sosiokultural mesti lebih diutamakan daripada pendekatan dengan kekuatan senjata.

Tapi apapun adanya nanti, jalan damai tanpa kekerasan tentu saja mesti dipertimbangkan. Menkopolkam Susilo sendiri sudah berjanji jika target waktu enam bulan ke depan, itu adalah penciptaan prakondisi menuju tahapan rekonsiliasi Poso. Artinya, “operasi yang akan dilakukan mesti dilakukan terarah, efektif, adil, realistis dan terukur,” kata Susilo.

Soalnya jika masih saja menggunakan kekuatan senjata, giliran Komnas HAM yang akan diberi pekerjaan baru lagi, seperti kejadian yang sudah-sudah. Berat nian pekerjaan Komnas HAM. Saat para pejabat mendapat angpau dan kad-kado berharga mahal dari rekanannya, Komnas HAM justru mendapat kado tak enak: Menyelesaikan kasus Poso

Rintihan Pengungsi Poso
Sudah setahun lebih pengungsi Poso meninggalkan kampung halaman. Sayang jalan kembali masih penuh onak. Poso masih kerap bergolak. Kegundahan hati itulah yang juga dituturkan Khadijah, 40 tahun, perempuan bersuku Sasak. Lombok itu, yang mengaku sudah belasan tahum bermukin di Poso. Di Desa Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, bersama anak dan menantunya, dia memilih hidup bertani di daerah yang memang subur itu. Hidup tenang, serba berkecukupan perlahan menghampiri mereka. Sampai kemudian kerusuhan Poso terbesar Mei hingga Juni tahun silam, membuyarkan harapan mereka. Rumah yang mereka tinggali hangus dilalap api, berkarung-karung bawang merah hasil kebunnya, juga turut terbakar.

Kini bersama 79 ribu pengungsi lainnya, dia mesti hidup prihatin di Posko Pengungsi Poso di Stadion Gawalise Palu. Terhitung sudah 13 bulan lamanya, mereka makan dan bergantung dari sejumlah dermawan yang masih ikhlas menyisihkan sebagian rejekinya untuk mereka.

Saban waktu, mereka cuma bisa mencicipi mi instan dan lauk seadanya. Itu pun kalau lagi beruntung. Sebab kerap mereka cuma makan nasi putih berbumbu garam, agar sedikit enak untuk dinikmati. Kalau gudang posko pengungsi lagi terisi, mereka akan mendapat jatah dua bungkus mi instan, dua liter beras, satu bungkus garam dapur dan bisa juga ikan kaleng.

Mereka juga bisa sedikit berlega hati, kalau suami atau anak laki-laki mereka sempat bekerja, meski cuma jadi kuli bangunan. Sebab meski kecil, pasti ada serupiah dua yang mereka bisa bawa pulang.

Mereka sebenarnya ingin hidup lebih layak lagi. Ada yang ingin kembali, ada yang ingin ditransmigrasikan, bahkan ada yang ingin menetap dan bekerja yang layak di Palu saja.

"Tapi kalau saya lebih memilih ditransmigrasikan, ketimbang kembali ke Poso. Saya tidak punya apa-apa lagi di Poso," ungkap Khadijah.

Sebuah pilihan yang bisa terbaca sebagai sebuah ungkapan traumatis dari seorang perempuan yang menyaksikan sendiri, keluarganya terbunuh dan rumah orang sekampung musnah dilalap api.

Mereka sudah jenuh hidup di pengungsian dengan segala keterbatasannya. Apalagi sempat ada yang bilang kalau mereka kian dimanjakan dengan sumbangan-sumbangan dari sejumlah dermawan. Catat saja, untuk 10 bulan pertama, menurut taksiran Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Sulawesi Tengah, mereka sudah menghabiskan Rp 10 miliar lebih untuk memenuhi kebutuhan pangan para pengungsi Poso itu.

Pada bulan ini pemerintah pusat juga sudah mengucurkan Rp 9 miliar. Jumlah sebesar itu adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka tiga bulan ke depan. Rencananya setiap orang akan mendapatkan Rp 45 ribu per Kepala Keluarga per bulan, ditambah dengan 12 kilogram beras setiap bulannya. Cuma disyarati setiap kepala keluarga cuma menanggung 5 jiwa, tak lebih dari itu. Katanya agar tak ada terjadi manipulasi data pengungsi.

Saat ini dalam data terakhir yang dikeluarkan oleh Dinkesos, di Kota Palu, ada 27 ribu jiwa pengungsi, di Kabupaten Donggala, 12 ribu jiwa dan di Kabupaten Poso, 40 ribu jiwa.

Dari jumlah itu, 2.523 jiwa adalah Balita, dan anak-anak usia sekolah dari 6-12 tahun sekitar 3.117 jiwa. Mereka berasal dari empat kecamatan terbesar di Kabupaten Poso, yakni Pamona Utara, Lage, Poso Pesisir dan Poso Kota. Di antara mereka itu juga, sekitar 1.828 KK, sudah tak punya rumah lagi karena terbakar saat kerusuhan SARA di Poso masih tengah berkecamuk.

Yang menarik, ada kabar tak enak, katanya pengungsi ini dijadikan lahan usaha basah untuk meraup keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengurusan pengungsi Poso. Pihak itu tentu saja Dinkesos, pengelola posko dan sejumlah pihak terkait. Tapi untuk itu, sejak semula Kepala Dinkesos Azikin Suyuti menjamin tak akan ada pemotongan-pemotongan atau penggelembungan data-data pengungsi bagi kepentingan mereka. "Pihak kami memberikan bantuan sesuai data yang diserahkan oleh para pengungsi itu melalui daftar isian yang kami bagikan ke sejumlah posko pengungsi. Jadi tak mungkin kami memanipulasi data-data itu," tekan Azikin.

Dari daftar isian itu pula pihaknya, kemudian mendata sejumlah keinginan para pengungsi. Menurut Azikin sekitar 684 KK, lebih memilih menetap dan mencari kerja di Palu, 1.285 KK bertekad untuk kembali ke Poso, yang ingin ditransmigrasikan cuma 943 KK dan yang ingin kembali ke daerah asalnya sekitar 255 KK. Yang disebut terakhir rata-rata mereka yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Selama ini yang tentu saja paling merasakan dampak kerusuhan SARA yang awalnya selalu ditutupi-tutupi oleh para pejabat daerah itu adalah Balita, anak-anak dan perempuan yang berjumlah sekitar 9.733 jiwa. Untuk Balita kasus yang paling menonjol adalah infeksi saluran pernapasan, busung lapar dan diare. Apalagi selama ini pemenuhan gizi mereka, sungguh tak sesuai dengan kebutuhan mereka. Lihat saja, di posko-posko pengungsi yang ada, biasanya kalau lagi tak ada susu, mereka cuma diberi makan mi instan yang dihancurkan ditambah air putih. Sungguh membuat kita trenyuh. "Tapi cuma itu yang bisa kita usahakan. Awal-awalnya memang Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah, masih memperhatikan urusan pemenuhan pangan untuk balita itu. Tapi sekarang sudah sangat jarang. Kami memakluminya sebab mungkin saja, mereka juga kekurangan dana," tutur Iskandar Lamuka, ahli teknik yang sempat selama 13 bulan menjadi relawan posko pengungsi Poso di Palu.

Tengok saja, lantaran itu, "Sampai sudah 70 orang pengungsi Poso meninggal dunia. 80 persennya di antaranya adalah balita dan anak-anak," sambung Yus Mangun, mantan Koordinator Umum Posko Pengungsi Poso di Palu.

Cuma menurut Taswin Borman, dari Dinas Kesehatan Palu, suplai obat-obatan untuk pengungsi Poso bukan diberhentikan, tapi pelayanannya diserahkan kepada Puskesmas Yang ditunjuk. "Kalau ada yang sakit, mereka bisa menghubungi Puskesmas yang telah ditetapkan khusus bagi pengungsi. Hanya saja mereka harus memperlihatkan kartu dari Posko Induk di Gedung KNPI Sulteng," jelas Taswin.

Sementara anak-anak usia sekolah kesulitan yang mereka hadapi tentu saja ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah di Palu. Meski Walikota Palu, ada kebijakan dikeluarkan agar anak-anak pengungsi Poso yang ingin sekolah di Palu, dibebaskan dari biaya uang bangunan. Masalahnya, tentu daya tampung sekolah-sekolah bersangkutan.

Menangani pengungsi Poso memang tergolong rumit, bagaimana tidak di saat berbagai donatur dari masyarakat mengucurkan bantuan, ada-ada saja oknum tertentu yang mencoba memanfaatkan penderitaan pengungsi. Menurut Nurdin Gani, pengungsi yang bermukim di Kelurahan Silae itu, ada beberapa lembaga yang mengatasnamakan pengungsi untuk meraup keuntungan pribadi. Sayangnya Nurdin, belum bisa menyebutkan beberapa lembaga yang dimaksudkan. Kata dia, lembaga tersebut hanya mengajukan proposal untuk ditawarkan kepada negara-negara donor dari negara tertentu, tetapi pengungsi tidak kebagian.

Abdul Kadir, koordinator posko induk Gawalise pun mengeluhkan hal serupa. Cuma sayangnya bukti-bukti penyelewengan dana itu sangat sulit untuk ditemukan. Siapa yang tega menilep dana pengungsi itu?***

Rekonsiliasi Poso: Upaya Tiada Henti

Jalan Panjang Konflik Poso (2)

SUNGAI Poso masih mengalir seperti biasanya. Sungai yang membelah Kota Poso itu, menjadi ciri khas kota kecil itu. Airnya yang membiru dan di beberapa tempat berkedalaman hingga 5 meter, konon, dihuni buaya payau (Crocodilus sp).

Tapi bagi sebagian besar masyarakat petani setempat itu bukan halangan. Saban hari mereka bolak-balik melewati sungai itu dengan perahu ramping tak bercadik atau rakit bamboo, jika ingin pergi ke ladangnya di seberang bantaran sungai.

Sungai yang berhulu di Danau Poso itu, menjadi saksi masuknya Misie en Zending Belanda yang menyebarkan agama Kristen Protestan di pedalaman Poso pada abad ke-16. AC. Kruyt, salah seorang misionaris asal Belanda itulah yang memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk pedalaman Poso. Sementara Islam telah menyebar di Pesisiran Poso jauh temponya, dari kedatangan Kruyt.

Dengan penguasaan antropologi dan linguistik yang piawai, Kruyt menterjemahkan injil ke dalam Bahasa Bare’e, bahasa asli etnik yang bermukim di Poso. Kristen pun menyebar dan Islam pun berjaya. Rupanya, kesimpulan yang diambil mendiang Kruyt, masyarakat setempat memegang teguh sendi adat Sintuvu Maroso, yang terjemahannya kira-kira: Bersatu Membuat Kita Kuat.

Makanya tak perlu heran, hingga saat ini, satu rumpun keluarga memeluk agama yang berbeda. Sayang kerusuhan kurun Mei-Juni 2000, memang benar-benar membuat sendi-sendi kultural itu luluh lantak. Tak ada lagi saudara, tak ada lagi tetua, Cuma dendamlah yang punya hak bicara.

Simak saja dari data yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Poso per 5 Desember 2001 ini, korban tewas mencapai 577 jiwa. Sedang kerugian materil meliputi, 7.932 buah rumah penduduk yang terbakar, 1.378 rusak berat dan 690 buah rusak ringan. Sedangkan rumah ibadah yang terbakar tercatat masjid 27 buah, gereja 55 buah dan pura 1 buah. Kerugian materil itu juga ditambah dengan terbakarnya 239 kendaraan bermotor.

Padahal selama ini, Poso yang menjadi salah satu daerah tujuan wisata andalan di Indonesia Timur tersohor dengan masyarakatnya yang toleran dan familiar.

Makanya orang pun heran bukan kepalang. Pemerintah pun dibuat tersentak. Baru kali itu Poso mengalami kejadian terburuk dalam perkembangan 100 tahun usianya. Kota tua itu benar-benar luluhlantak. Belum usai persoalan yang terjadi pada Desember 1998, hantaman demi hantaman konflik terus menderanya.

Kalau pada kerusuhan Poso Desember 1998, pendekatan sosiokultural masih bisa dipakai, kerusuhan kedua April-Juni 2000, itu tak mempan lagi. Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah pun mengelar Operasi Sadar Maleo yang efektif dimulai 1 Juli 2000. 14 satuan setingkat kompi (SSK) aparat TNI dan Polri diterjunkan untuk mengamankan Poso. Sebagian personil adalah bantuan dari Polda Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Kodam VII Wirabuana.

Pemerintah daerah pun tak tinggal diam, dibentuklah Tim Rekonsiliasi Daerah yang dikoordinatori Wakil Bupati Poso Abdul Malik Syahadat. Sayang seperti pengakuan Malik kemudian, tim bentukan pemda kabupaten itu tak efektif. Banyak kendala yang mereka temui di lapangan. “Salah satunya adalah komunikasi antarpara anggota tim rekonsiliasi tak berjalan sebagaimana mestinya karena pengaruh konflik itu,” ujarnya.

Sementara itu dalam waktu bersamaan, Kodam VII Wirabuana, komando daerah militer yang membawahi komando resor militer se-Sulawesi, juga menggelar Operasi Cinta Damai. Tapi tetap saja kendali operasi berada di tangan Polri. Meski sempat menekan letupan pertikaian, hingga berakhirnya operasi itu Senin (10/12/01) lalu, hasil yang dicapai belum optimal. Perkelahian bersenjata, penghadangan bus penumpang umum, penjarahan, pembantaian, dan pembakaran-pembakaran rumah penduduk masih saja terjadi. Korban jiwa pun kian bertambah.

Di tingkat Provinsi, setelah tim rekonsiliasi bentukan pemerintah kabupaten tak berjalan sebagaimana mestinya, dibentuklah Tim Rekonsiliasi Sintuvu Maroso, yang langsung dibawah pengawasan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Ruly Lamadjido, Agustus lalu. Ketua tim itu dipercayakan kepada Letkol Inf Gumyadi, Kepala Bimbingan Masyarakat Kantor Gubernur Sulteng. Sayang lagi-lagi tim itu menemui jalan buntu. Khalayak lebih percaya senjata tinimbang kata-kata. Pertikaian masih saja terjadi.

Bahkan saat kali pertama berada di Poso, sekretariat tim itu diledakan dengan bom. Untung tak menimbulkan korban jiwa.

“Padahal kita datang ke Poso dengan maksud untuk segera menyudahi konflik. Karenanya semua komponen masyarakat dari dua belah pihak bertikai kita dekati, tapi rupanya ada yang tak bersepakat dengan itu,” kata Gumyadi pada suatu kesempatan.

Tim rekonsiliasi itu kehilangan gigi di tengah salakan senjata dan dentuman bom. Orang memang tak percaya lagi pada kata-kata. Padahal sejumlah lembaga semisal Kelompok Kerja Resolusi Konflik Poso (Pokja-RKP) yang didirikan sejumlah organisasi nonpemerintah di Palu juga turut terlibat dalam upaya-upaya rekonsiliasi.

Komunikasi antaragam pun berusaha dijalin, tapi tetap saja jalinan itu kemudian putus kembali. Meski sejumlah tokoh dari kalangan Islam, Anggota Dewan Ulama Alkhairaat semisal KH. Dahlan Tangkaderi dan pendeta-pendeta Kristen Protestan semisal Irianto Kongkoli, atau uskup Katolik semisal Jimmy Tumbelaka, sudah didekati begitu rupa. Memang jalinan komunikasi antarmereka itu kian bagus, sayang di tingkat akar rumput yang terjadi adalah anomali.

“Anomali, keanehan yang saya maksudkan itu adalah masyarakat sudah tak percaya lagi pada siapa-siapa. Mereka cuma percaya bahwa membalaskan dendam berarti menyelesaikan masalah,” sebut Datlin Tamalagi, seorang staf Edukatif di Jurusan Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik Palu.

Menurut tokoh masyarakat Poso yang pernah menjadi Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sulteng itu, anomali itu bisa diatasi dengan pembagian dan distribusi kekuasaan yang adil. Sebab, “ada kekecawaan yang terbaca pada salah satu kelompok bertikai bahwa mereka cenderung dipinggirkan dalam kekuasaan,” urainya.

Tapi pernyataannya itu ditampik oleh Sofyan Faried Lembah, pengajar Hukum di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu. Menurutnya pernyataan itu justru menyederhanakan persoalan Poso yang sebenarnya multidimensional. “Sentimen agama yang justru lebih mengemuka. Itu tidak bisa ditutupi. Masyarakat Muslim di Poso kan selama ini tak pernah mempersoalkan Poso ketika dipimpin oleh bupati beragama Kristen,” terang tokoh muda Muhammadiyah Palu itu.

Tapi apapun perdebatan mereka, tetaplah menarik memperbincangkan upaya-upaya rekonsiliasi yang sudah digagas oleh pemerintah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat. Soalnya dalam beberapa kali upaya itu, cuma aspek formalitasnya yang menonjol. Itu pula yang terjadi pada upacara adat Sintuvu Maroso Selasa, 22 Agustus 2000, yang dihadiri Presiden Abdurrahmman Wahid alias Gus Dur. Buktinya sekembalinya Gus Dur dari sana, belum kering darah kerbau yang dijadikan korban, belum hilang bau keringat khalayak di Lapangan Kasintuvu Poso, serangan demi serangan bersenjata kembali terjadi. Itu terjadi hingga tahun 2000 berakhir.

Terang saja pemerintah kalang kabut, belum lagi mesti mengurusi puluhan ribu kepala keluarga pengungsi, yang nelangsa di barak-barak dan posko pengungsi.

Saat Poso belum aman juga, pasukan keamanan ditingkatkan menjadi 23 SSK. Masih terdiri dari aparat TNI dan Polri. Apakah Poso pulih? Ternyata belum juga, hingga Desember serangkaian penyerangan-penyerangan, pembakaran-pembakaran, penculikan dan pembunuhah-pembunuhan masih saja terjadi.

Sampai kemudian Selasa (4/12/01) dalam Rakorpolkam di Jakarta, Presiden Megawati Soekarno Putri menyetujui pelaksanaan Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu Poso. Oleh Polda Sulteng, operasi itu diberi sandi Operasi Sintuvu Maroso. Lalu Rabu (5/12/01) sejumlah menteri ditugaskan Presiden Megawati untuk meninjau langsung Poso. Dan tercapailah kesepakatan operasi pemulihan keamanan itu mulai digelar Senin (10/12/01).

Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Sulteng AKBP Agus Sugianto, saat ini operasi masih berada pada tahapan pengimbauan. “Masyarakat kami imbau untuk segera menyerahkan senjata-senjata yang mereka miliki. Kami ingin menggugah kesadaran mereka,” ungkapnya.

Soalnya, sambungnya lagi, per 1 Januari 2002 nanti sweeping senjata dan penataan administrasi penduduk akan efektif dimulai. “Senjata kami rampas, orangnya pun kami tahan. Sementara bagi yang tak punya identitas sebagai masyarakat Poso akan kami keluarkan dari Poso,” jelas Agus.

Dalam operasi, menurut Agus, Polisi akan dibantu oleh aparat pemerintah setempat. Sementara TNI akan menutup jalan masuk dan keluar wilayah yang menjadi target operasi.

Keseriusan aparat itu menurut Agus, lantaran sesuai penegasan Menkopolkam Susilo, dalam enam bulang mendatang keamanan Poso harus segera bisa dipulihkan. Selanjutnya Poso akan memasuki tahapan rehabilitasi mental, fisik, rekonstruksi social, politik dan ekonomi, hingga rekonsiliasi. Khalayak ramai pun menunggu dengan cemas masa itu.

Nah, tak lepas dari hal itu, menarik untuk membicarakan keterlibatan seorang tokoh ulama Parigi, kecamatan yang berjarak Cuma 30 kilometer dari Poso. KH. Shaleh ZA. Damar, nama kyai bersahaja itu. Ketika kerusuhan Poso kian dekat dengan tempatnya bermukim, ditambah lagi aliran pengungsi menyemuti Pesantren Alkahiraat yang dipimpin, bersama sejumlah tokoh ia pun menggagas berdiirinya forum kerukunan antarumat beragama di Parigi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Terbukti forum beranggotakan tokoh-tokoh lintasetnik dan agama itu, mampu menahan laju kerusuhan Poso. Padahal sebelumnya, sebelumnya banyak anak muda dari dua belah pihak bertikai yang sudah bersiap diri menyambut “perang” itu.

Di Palu, 230 kilometer dari Poso, LPS HAM, salah satu lembaga studi HAM lalu menggagas kelompok kerja rekonsiliasi. Mereka mengupayakan hubungan antaragama. Sejauh ini mereka telah berhasil membangun kesepahaman-kesepahaman itu, meski arus besar perlawan masih menjadi perintang. Mereka lalu memproduksi poster ajakan damai, menerbitkan newsletter dan stiker. Meski tak seberhasil Tim Baku Bae Malukunya Ichsan Malik, usaha yang dimotori oleh Tahmidy Lasahido, Dedy Askari dan Syamsu Alam Agus itu patut diacungi jempol.

Dari kalangan tokoh agama, pendeta Irianto Kongkoli, KH. Dahlan Tangkaderi dan KH. Yahya Al-Amrie juga mesti dicermati. Mereka aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan lintasagama yang membahas upaya rekonsiliasi Poso. Bahkan ketika AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia menggelar workshop media Maluku dan Maluku Utara di Palu Juni 2000 lalu, mereka pun turut melibatkan diri.

Lagi-lagi sayang, mereka kalah. Ternyata penganjur perang, lebih banyak daripada penganjur damai. Karenanya nasib Poso mesti mulai kita hitung hingga enam bulan mendatang sesuai penegasan Menkopolkam. Upaya rekonsiliasi tak harus berhenti hanya karena cercaan.***

Air Mata dan Darah yang Tertumpah Sia-sia

Jalan Panjang Konflik Poso (1)

POSO bergolak lagi. Pada Rabu (28/11) itu di antara bara api di puing-puing rumah yang terbakar seorang laki-laki paruh baya mengusap peluh. Syukur nama laki-laki yang mengaku baru saja mengikuti pertempuran dengan kongkoli—sebutan untuk laskar bersenjata sipil beranggotakan Umat Kristen. Kala itu, tuturnya, pasukan jihad atau mujahiddin—sebutan untuk laskar beranggotakan Umat Islam--memenangkan pertempuran sengit. Karenanya dia bisa kembali ke rumah walau tinggal puingnya.

“Alhamdulillah,” kata syukur terlontar dari bibirnya. Kendati rumah itu tak bisa ditinggali lagi, toh dia bangga sekali dapat menginjakkan kaki di kampung halamannya lagi.

Namun kini, Tangkura telah rata dengan tanah. Ratusan rumah tak ada yang tersisa. Data yang dihimpun aparat menyebutkan dua orang setempat tewas tapi belum ditahu identitasnya. Sehari sebelumnya, laskar jihad melumpuhkan pula basis pasukan kongkoli di Betalemba dan Patiwunga. Ditaksir sekitar 300 rumah di Betalemba dan 115 rumah di Patiwunga hancur. Belum ada laporan resmi jumlah korban berjatuhan di kedua desa ini. Tapi, sumber di laskar jihad menduga banyak korban di pihak pasukan kongkoli. Dibuktikan dengan ceceran-ceceran darah yang tersebar.

Selasa (27/11) sekitar pukul 13.00 WITA, kontak senjata antara duabelah pihak bertikai terjadi antara Desa Tabalu dan Betalembah, lebih kurang 25 kilometer dari Poso dan 5 kilometer dari poros Jalan Trans Sulawesi, menyebabkan seorang tewas di pihak jihad, bernama Abdullah (40), kena luka tembak di bagian kepala. Seorang lagi, Sa’ad (23), tertembak di paha kiri dan kini tengah dirawat di Makassar.

Untung saja sekitar pukul 14.00 Waktu Indonesia Tengah (wita), aparat keamanan berkekuatan 2 satuan setingkat regu (SSR) bergerak ke zona konflik. Tapi ternyata kedatangan mereka tak mampu meredam amarah kedua belah pihak bertikai.

Laskar jihad dan pasukan kongkoli berhadap-hadapan dalam kisaran jarak 80-an hingga 150-an meter. Pertempuran seru terjadi bak di film-film wildwest. Menariknya di sela sengitnya pertempuran, seorang kakek nasrani diselamatkan laskar jihad, lantas dibawa ke kantor Polres Poso.

Kala itu beredar kabar sekitar empat anggota TNI berada di antara salah satu kelompok yang bertikai. Mereka membelot. Bahkan diisukan satu di antaranya meninggal. Kabar itu ditanggapi serius Komandan Korem 132 Tadulako Kol Inf Suwahyuhadji. Dia nyatakan tak ada yang meninggal dan tidak ada yang membelot. “Aparat TNI itu selalu mengamankan pihak yang lemah,” tandasnya.

Sesudah Tangkura, Kamis (29/11), kontak senjata antardua belah pihak bertikai terjadi di Desa Dewua. Akibat 135 rumah terbakar. Tak berselang lama, Desa Sangginora, sekitar 40 kilometer barat laut Poso Kota, pun mabara. Ada 285 rumah hangus. Sedangkan di Padalembara rumah yang ludes 40 buah.

Tentang korban jiwa di kedua belah pihak akibat serangan Kamis itu, Kapuskodal Ops Polres Poso AKP Sulaiman Puar mengakui belum diketahui pasti.

Menurutnya, kontak senjata itu berhasil dihentikan setelah 2 SSR Brimob dan 2 SSR Tni diterjunkan ke sana.

“Poso perlu diperhatikan oleh pusat. Kalau nggak, bukan hanya Poso, Sulawesi bisa bahaya,” ujar Puar, kuatir.

Gara-gara pertempuran selama tiga hari itu, ratusan penduduk setempat setempat mengungsi ke wilayah Sulewana dan Tentena, Kecamatan Pamona Utara dan ke Lembah Napu, Kecamatan Lore Utara. Diperkirakan, mereka mengamankan diri pula di kampung-kampung sekitarnya. Ditaksir tak kurang dari 13 ribu jumlah pengungsi itu.

Hanya saja mungkin lantaran was-was dikejar oleh pasukan penyerangn, mereka menumbangkan pohon-pohon ke badan jalan. Hal itu dirasakan pula oleh gabungan aparat Polri dan TNI yang melakukan patroli sepanjang daerah konflik itu. Mereka terhambat di tengah hutan sekitar enam kilometer lagi dari Sangginora, disebabkan sebuah pohon besar sengaja ditebang dan ditumbang di tengah jalan. Dua truk khusus yang membawa pasukan keamanan itu tak bisa melintas. Mereka lebih sejam tertahan di situ sampai malam. Berbuka puasa dengan ransum pun terpaksa dijalani dalam kegelapan.

“Kita sangat sesalkan kejadian ini terjadi di bulan suci Ramadhan,” ucap Kadispen Polda Sulteng AKBP Agus Sugianto kepada wartawan di ruang kerjanya, mengomentari pecahnya pertempuran kelompok yang bertikai itu.

Yang sial, pertikaian seru antara dua belah pihak bertikai itu, berdampak ke pemukiman masyarakat Bali. Warganya dilanda trauma yang sangat. Sabtu, 1 Desember, polisi dan tentara mengevakuasi masyarakat transmigran itu ke kawasan Tolai, Kecamatan Parigi, Kabupaten Donggala. I Nyoman R dari Parisadha Hindu Kabupaten Poso mengatakan, warganya yang harus dievakuasi itu hampir seribu jiwa. Mereka terdiri 120 KK penduduk Desa Betalemba, 40 KK dari dusun Gantinadi Desa Tangkura, dan 115 KK dari dusun Tanca Desa Padalembara. Hari itu, masyarakat Bali Tolai mengirim 30 mobil truk menjemput saudaranya. Dilaporkan evakuasi baru selesai Rabu (12/12/01).

Kini api yang telah padam dari rumah-rumah hunian penduduk, menyisakan arang. Di sepanjang Betalembah sampai Sangginora. Barang-barang berserakan di pinggir jalan. Hewan-hewan ternak tak terhiraukan berkeliaran ditinggal pergi. Desa-desa yang dulunya ramai berpenghuni, kini mencekam sepi.

Bara Poso berpindah ke Sepe dan Silanca. Kedua desa itu dihuni oleh mayoritas umat Kristen. Sabtu (1/12) malam hingga Ahad dini hari, pecah pertempuran. Si jago merah menjulang angkasa mengusik kegelapan.

Soal kian meruyaknya pertikaian itu, Wakil Bupati Poso Abdul Malik Syahadat mengingatkan untuk disudahi saja. Dia pun mengakui serang-serangan dan kontak-kontak senjata antara kedua belah pihak bertikai, didasari rasa dendam antarwarga. “Kita memaklumi hal itu. Kita bisa merasakan bagaimana sengsaranya mereka yang kehilangan rumah. Tapi apakah semua itu akan selesai dengan cara saling membalas. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Hentikan pertikaian ini. Mari Berdamai dengan hati kita. Hilangkan dendam,” ujar Malik, berharap.

Malik pun mengingatkan konflik Poso kini telah berbilang tiga tahun. Sudah banyak darah dan air mata yang tumpah sia-sia. Ia meminjam pernyataan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulawesi Tengah KH. Dahlan Tangkaderi, yang menyebut pertikaian semacam itu cuma menimbulkan korban yang sia-sia.

Karenanya, Malik turut bergembira dengan penetapan Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu Poso. Operasi itu telah disetujui oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada rapat koordinasi politik dan keamanan (Rakorpolkam) Selasa (4/12/01) di Jakarta. Sehari kemudian, Rabu (5/12/01) Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Yusuf Kalla bertandang ke Poso. Lalu pada Kamis (6/12/01) para menteri itu kemudian bertemu dengan musyawarah pimpinan daerah (Muspida) Provinsi Sulawesi Tengah, tokoh-tokoh masyarakat Poso dan tokoh-tokoh agama.

Saat itu disepakati operasi pemulihan keamanan akan berlangsung hingga enam bulan mendatang. Operasi itu sendiri menurut penjelasan Menkopolkam Susilo tidaklah dalam kerangka darurat sipil. “Kita tidak bisa gegabah menentukan pelaksanaan darurat sipil. Kita mesti mengevaluasi sejumlah hal untuk menuju ke arah itu,” sebut SBY, demikian Susilo kerap disebut.

Penjelasan SBY itu tentu saja menggembirakan, soalnya penolakan darurat sipil sebelum sudah datang dari masyarakat Poso. Salah satunya Imam Masjid Agung Poso H. Umar Nanga. Menurut dia darurat sipil bisa jadi hanya akan menambah rasa tidak aman masyarakat setempat.

Penolakan serupa juga datang dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Palu, Liga Mahasiswa untuk Demokrasi (LMND) Palu, dan Lembaga Pengembangan Studi HAM (LPS-HAM) Palu.

Cuma dengan bahasa apapun operasi itu, “Kami bersyukur pemerintah pusat akhirnya turun tangan untuk menyelesaikan kasus ini. Setelah sebelumnya kami juga berusaha, tapi tak begitu menggembirakan capaian hasilnya,” katanya lagi.

Soal tak efektifnya tim rekonsiliasi daerah itu didigarisbawahi oleh Malik. Menurut dia, sulitnya komunikasi membuat tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Poso tak efektif. Apalagi, “sejumlah wilayah ketika itu suasana masih belum kondusif untuk menerima tawaran-tawaran rekonsiliasi,” dalihnya.

Tim Rekonsiliasi Poso yang diketuai Kolonel Inf Gumyadi, pun kehilangan gigi di tengah Poso yang kian membara itu. Padahal menurut Malik, Pemerintah Kabupaten Poso saat ini tengah melakukan rehabilitasi fisik pemukiman penduduk. Sekitar 885 unit rumah hunian baru akan segera disiapkan. Artinya, “pemerintah tak tinggal diam untuk menyelesaikan masalah ini. Selain melakukan upaya-upaya rekonsiliasi, kita juga memikirkan pemenuhan pemukiman baru bagi warga,” jelasnya.

Nah, akankah upaya pemulihan keamanan itu efektif? Apakah tahapan rekonsiliasi akan tercapai? Waktu yang akan menjawabnya. Yang jelas sampai Kamis (13/12/01) hari ini, 5 batalyon aparat TNI dan Polri telah bersiap siaga di tujuh kecamatan rawan konflik di wilayah Kabupaten Poso. Mereka didukung oleh dua unit helikopter, dua unit panser dan satu unit kapal patroli laut.***

Saturday, July 29, 2006

Serang Polres, 20 Brimob akan Dipecat

Poso – Sekitar 20 anggota Satuan Brigade Mobil Kompi B Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah terancam dipecat menyusul aksi penyerangan ke Mapolres Poso, Jumat (22/07/2006) pekan lalu. Sanksi pemecatan ini akan dilakukan bila dari hasil pemeriksaan
Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Sulteng berhasil membuktikan keterlibatan mereka dalam aksi brutal itu.

Demikian diungkapkan Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal Oegroseno di Poso, Sulawesi Tengah, Sabtu (29/7/2006). Kapolda menyayangkan aksi penyerangan yang dilakukan oleh anggota Brimob tersebut. “Tindakan penyerbuan dan penyerangan serta perusakan yang diwarnai letusan senjata itu merupakan tindakan yang sangat memalukan dan merusak citra kepolisian di hadapan warga Poso,” tandas Oegroseno.

Padahal selama ini, pihaknya sudah menginstruksikan dalam rangka memulihkan Kabupaten Poso pasca konflik tidak ada satupun peluru dari petugas yang diletuskan.

Peristiwa penyerbuan Mapolres Poso merupakan buntut dari kesalahpahaman antara oknum Perintis Polres Poso dengan seorang oknum Brimob yang berbuntut pada perkelahian di Gedung Olah Raga Kasintuwu Poso. Saat itu, di Kasintuvu tengah berlangsung sebuah acara yang kebetulan dijaga oleh Satuan Perintis Polres Poso. ***

Dihibur Jihan Amir 380 Janda Korban Konflik Poso Gelar Bertemu

Poso – Tak kurang dari 380 janda korban konflik Poso dari berbagai agama menggelar silahturahmi di Gedung Wanita Poso, Sabtu (29/7/2006) ini. Peristiwa ini merupakan kali pertama terjadi setelah Poso diluluhlantakan oleh bara konflik Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) sejak 1998 lalu.

Suasana haru dan gembira berpadu dalam pertemuan yang digagas oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah ini. Mereka pun dihibur artis sejumlah artis Ibukota semisal Jihan Amir. Sejumlah Psikolog dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta pun ambil bagian.

Ratusan janda ini usai konflik meluluhlantakan Poso mengungsi ke Palu, Tojo Unauna, Morowali dan Parigi Moutong. Ada pula yang tetap menetap di Poso. Selain dihadiri oleh para janda-janda korban konflik, sejumlah keluarga korban bom Tentena, bom Pasar Sentral Poso dan korban penembakan misterius juga terlihat hadir.

Silahturahmi para janda korban konflik ini, menurut Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal Oegroseno merupakan gagasan dari masyarakat Muslim dan Nasrani Poso. “Kami tinggal memfasilitasi mereka untuk bisa bersilahturahmi,” ujar Kapolda Oegroseno.

Agar suasana berlangsung santai, sejumlah artis ibukota dihadirkan untuk menghibur mereka. Terlihat Jihan Amir, Kristina, Dewi Ramlah, Agustina dan Silva terlibat dalam kegiatan yang dirancang oleh Wakapolda Sulteng Kombes Pol Syafei Aksal ini.

Sedangkan empat psikolog dari Universitas Gajah Mada )UGM) Hendro Prabowo, Diana Setyanti, Wida dan Hasanah juga dilibatkan untuk kebutuhan trauma conseling. Diharapkan para janda-janda dan keluarga korban sejumlah aksi kekerasan di Poso itu bisa mengeluarkan isi hati mereka bersama para psikolog ini. Hal ini diniati untuk mengobati luka hati atau trauma mereka.

Dialog para janda korban konflik itu mengalir lancar. Sebutlah Agustina Poimbong, yang mengaku anaknya tewas dalam sebuah bentrok massa di Poso pada tahun 2000 lalu. “Saya menangis mendengar anak saya mati, tapi saya tidak bisa berbuat apa. Kalo saya dibilang dendam, iya. Tapi saya juga berpikir dendam akan pernah menyelesaikan masalah, karenanya saya berharap sudah jo, brentilah torang baku musuh. Lebih torang sama,” kata ibu beragama Kristen dari suku Pamona ini.

Begitu pula Sofia, yang sebelumnya tinggal di Pesantren Walisongo, Kilo 9 Poso yang rata dengan tanah dibakar massa perusuh. Sofialah yang pernah menggegerkan Pengadilan Negeri Palu pada April 2001. Saat itu ia tampil menjadi saksi dalam peradilan terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Saat akan bersaksi ia menampar wajah ketiganya dengan sandal jepit.

Ia mengaku sulit menghapus dendam pada orang-orang yang sudah membunuh keluarganya. “Sekarang saya pasrah saja pada Allah, sebab Allah pasti menghukum mereka,” demikian Sofia.

Pertemuan yang berlangsung sejak pukul 09.00 Wita berakhir dalam suasana penuh keharuan pada pukul 15.00 Wita. Ada asa yang mengemuka, semoga fajar damai terus bersinar di Poso.***

Sunday, July 16, 2006

Bom Tentena Meledak Dua Kali

Palu - Bom yang mengguncang Pasar Kota Tentena, Poso, Sulteng, meledak hingga dua kali, Sabtu (28/5/2005). Ledakan pertama terjadi pukul 08.00 WITA.

Ledakan ini menghancurkan beberapa bangunan semi permanen yang ada di tengah pasar yang tengah dipenuhi penjual dan pembeli. Beberapa orang langsung berjatuhan dengan bersimbah darah. Tentu saja kepanikan tak terhindarkan.

Jerit tangis penuh ketakutan dan ngeri berhamburan. Orang-orang sibuk menolong korban. Ada yang berhamburan menyelamatkan diri.

Tapi belum hilang rasa ngeri itu, duaaarrrr...lagi-lagi bom meledak pada pukul 08.30 Wita. Semakin banyak orang yang terluka dan tewas.

Hingga kini 19 orang dinyatakan meninggal dunia, 29 luka berat. Namun mereka yang dilarikan ke RS GKST Tentena, terus bertambah. Jarak Tentena ke Kota Poso sekitar 50 km.

Ini merupakan bom terbesar yang meledak di Poso. Bom terakhir meledak di angkutan di depan Pasar Sentral Poso sekitar pukul 09.20 Wita pada 13 November 2004 atau sehari sebelum Idul Fitri. Akibatnya, enam orang tewas dan tiga orang luka-luka.

Siapa teroris jahat itu?***

Seorang Polisi Jadi Tersangka Bom Tentena

Poso - Pelan namun pasti, pengungkapan kasus bom Tentena mulai menemukan titik terang. Satu per satu polisi sudah menangkap para tersangka. Tak main-main, sampai saat ini jumlah tersangka yang diperiksa intensif di Polda Sulteng mencapai 15 orang.

Dari jumlah 15 orang tersangka bom Tentena ini, seorang di antaranya anggota polisi berpangkat aiptu dengan inisial WD. Ia diperiksa intensif karena pernah mengawal salah seorang tersangka bernama HKS.

Demikian disampaikan Kepala Penyidik Penegakan Hukum bom Tentena Kombes Tatang Soemantri di Posko Gakum Tentena, Gereja Kristen Sulawesi Tengah,Jalan Setiabudi, Tentena, Poso, Jumat (3/6/2005).

Perkembangan lainnya, menurut Tatang, salah seorang tersangka kasus bom Tentena berinisial ND menyerahkan diri ke polisi. Ia diketahui sebagai warga Wakai, Kabupaten Tojo Una-una. Dengan demikian, jumlah tersangka yang masih menjadi buron masih 3 orang.

Tatang juga menyatakan bahwa sampai saat ini polisi telah memeriksa 76 saksi terkait dengan ledakan bom di Pasar tentena, sabtu (28/5/2005) yang menewaskan 21 orang. Mereka diperiksa oleh Tim Penegakan Hukum yang menggunakan ruangan Gereja Kristen Sulawesi Tengah.***

Polri Buat Sketsa Pelaku Peledakan Tentena

Poso - Setelah mengamankan 13 orang yang terindikasi tersangka, Polda Sulawesi Tengah memburu dua orang yang terindikasi sebagai tersangka. Salah satu di antara dua orang itu sudah dibuat sketsanya.

Pria yang diduga terkait dengan dua peledakan di Pasar Tentena, Poso, Sabtu (28/5/2005) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berambut lurus gondrong, beralis tebal, bermata agak sipit, berjenggot tipis dan berhidung normal.

Namun sketsa tersebut tidak disebarkan kepada masyarakat luas. Sketsa itu hanya dibagikan kepada anggota kepolisian saja. Saat ini satuan anti teror tengah mengejar pria tersebut di daerah Wakai, Kecamatan Pojo, Una-una.

Buronan lainnya, hingga kini belum diketahui identitasnya. Namun polisi mengendus keberadaannya di daerah Panda Jaya, Tendolo, Kabupaten Morowali.

Kapolri Jenderal Polisi Da'i Bachiar saat ini tengah berada di Mapolres Poso untuk memberikan arahan kepada kepolisian Polda Sulteng.***

Bom Meledak di Tentena Poso, Sedikitnya 7 Orang Tewas

Poso - Kedubes AS yang diancam, eh bom justru meledak di Kecamatan Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Sedikitnya 7 orang tewas.

Bom itu meledak di pusat bisnis yaitu di Pasar Tentena. Bom meledak sekitar pukul 08.15 Wita, Sabtu (28/5/2005). Ledakan bom terdengar dahsyat dan merontokkan banyak bangunan semi permanen. Jumlah korban cukup banyak karena seperti biasa, pasar tengah ramai-ramainya.

Pasar itu berdekatan dengan Polsek Tentena dan kantor Cabang BRI Tentena. Dari 7 orang tewas, baru 2 korban yang berhasil diidentifikasi. Namun RS GKST Tentena, tempat para korban dilarikan, belum bersedia memberi informasi karena tengah sibuk berat. Korban luka ditaksir ada 22 orang.

Jumlah korban tewas dan luka diperkirakan akan terus bertambah karena proses evakuasi masih berlangsung. Polisi telah berada di lokasi dan memberi garis kuning.

Pesawat handphone para pejabat Tentena dan Poso hingga saat ini sulit dihubungi untuk mendapatkan informasi yang lebih detail.***

22 Orang Tewas, Warga Poso Kibarkan Bendera Setengah Tiang

Palu - Korban tewas akibat ledakan bom di Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, Sabtu (28/5/2005) menjadi 22 orang. Insiden itu menyisakan duka mendalam bagi warga. Mereka pun mengekspresikan kesedihannya dengan mengibarkan bendera setengah tiang.

Bendera setengah tiang mulai dikibarkan sejak Kelurahan Tagolu, hingga ke dalam Kota Tentena. Semua desa sepanjang jalur Poso-Tentena mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berduka. Jarak Poso-Tentena tak kurang dari 60 kilometer.

Sementara itu, hingga Minggu (29/5/2005), korban yang tewas sudah mencapai 22 orang. Sementara 11 orang lainnya luka parah dan sisanya luka ringan.

Korban yang selamat di rawat di Rumah Sakit Sinar Kasih Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Jalan Torulembah, Tentena dan Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Rata-rata korban yang kritis karena di batok kepala dan badannya masih bersarang pelat dan batang-batang besi yang diisi dalam bom.

Kepada wartawan, Ketua Majelis Sinode GKST Pendeta Rinaldy Damanik mengecam aksi pelaku peledakan bom itu. Dia menyebut mereka sebagai teroris. Dia mengaku tak habis pikir, mengapa peristiwa itu terjadi lagi setelah sejumlah pihak yang bertikai di Poso sudah berhasil menjalin sejumlah kesepakatan damai.

"Kami mengimbau, siapa pun pelakunya jadilah manusia yang benar. Jangan memakai cara-cara melawan hukum seperti itu," pinta Damanik

Di lain pihak untuk mengantisipasi gejolak massa, melalui sejumlah unit struktural, Majelis Sinode GKST sudah mengimbau agar warganya tidak terpancing melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum. "Jangan melawan perbuatan teror dengan membuat teror lagi," demikian Damanik menandaskan.***

Tim Validasi: Korban Tewas Bom Poso 19 Orang, Luka 70 Orang

Palu - Setelah dilakukan pengecekan secara detil, Tim Validasi peledakan bom Tentena, Poso, memastikan korban tewas berjumlah 19 orang. Sedangkan korban luka bertambah menjadi 70 orang.

Penyusutan jumlah korban tewas ini, menurut Tim Validasi, karena ada beberapa nama korban yang ditulis ganda. Sebagai contoh, korban bernama Yosep Jacobus yang berasal dari desa Sasjo, ternyata pada lembar berikutnya ada nama Alengky dari desa Sasjo.

"Ternyata itu nama aliasnya. Jadi orangnya tetap satu," kata Koordinator Tim Validasi kasus bom Tentena, Poso, S. Alam Agus kepada wartawan di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (30/5/2005).

Tim Validasi kasus bom Tentena, Poso, ini merupakan gabungan dari berbagai unsur. Antara lain dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah, aktivis gereja, aktivis muslim, aktivis Kristen, LSM dan masyarakat Tentena Poso.

Sebelumnya, beberapa media menyebutkan korban tewas korban akibat ledakan di Pasar Tentena, Sabtu (28/5/2005) mencapai 22 orang, dengan korban luka 54 orang. Ternyata setelah divalidasi tim pencari fakta bom Tentena, korban tewas hanya 19 orang dan korban luka bertambah 70 orang.

Sementara situasi kota Tentena Senin pagi (30/5/2005) dilaporkan telah kembali normal. Situasi kota kembali tenang. Tidak ada konsentrasi massa berlebihan di sejumlah tempat. Warga masih banyak yang konsentrasi mengurus keluarganya yang masih dirawat di puskesmas Tentena dan Rumah Sakit di Poso.***

Bom Tentena Renggut Masa Kanak-kanak Alex Sambuake

Poso - Ledakan bom di Pasar Tentena, Sabtu (28/5/2005) tak hanya menyasar para lelaki dan perempuan dewasa. Bom menerjang siapa saja yang berada di dekatnya, tak terkecuali Alex Sambuake. Bocah yang baru berusia tiga tahun ini terpaksa didera derita. Serpihan bom melukai kedua paha mungil dan badannya.

Masa kanak-kanaknya direbut oleh bom itu. Untung ada ibunya yang meski dalam keadaan terluka di kaki kiri dan pundak, yang begitu menyayanginya. Sang ibu, Werlin Ponema (46) juga menjadi korban bom yang menelan korban terbesar sepanjang riwayat konflik Poso itu.

Di pagi naas itu, Alex menemani ibunya berjualan tomat di Pasar Tentena. Ia memang sangat senang jika diajak ke pasar. Mungkin ramainya orang membuat Alex terhibur. Apalagi ia tidak punya kesibukan apa-apa di rumah. Tapi hari itu nasib bicara lain padanya.

Saat terjadi ledakan di pagi hari itu, dia sedang duduk di samping ibunya. Ia pasti tak menyangka sama sekali, saat tiba-tiba, terdengar ledakan keras. Blarrr! Sebuah bom meledak di dekatnya, di ruas jalan Setiabudi di Pasar Tentena, poros jalan yang segaris dengan jembatan kayu Tentena.

"Saya sempat melihatnya jatuh. Tapi saya tidak bisa bikin apa-apa, karena pandangan saya langsung gelap. Saya juga masih mendengar dia berteriak kesakitan," tutur Werlin, di ruang perawatan RS Sinar Kasih GKST Tentena, Selasa (31/5/2005).

Ibu yang sungguh menyayangi anak bungsunya ini, saat itu hanya bisa berharap ada orang yang bisa menyelamatkan putranya itu. Beruntung, setelah suasana aman, mereka pun dilarikan ke Rumah Sakit Sinar Kasih Gereja Kristen Sulawesi Tengah di Jalan Torulembah.

Selama ini, Alex dan ibunya, bermukim di bekas Festival Danau Poso, di tepian danau. Untuk menghidupi keluarga, Werlin berjualan sayur-sayuran.

Kata sang ibu, Alex itu penurut. Ia juga tak pernah meminta yang macam-macam. Ia bisa jadi sadar akan kekurangan ibunya. "Anak itu baik sekali, dia tidak pernah minta dibelikan sesuatu yang macam-macam, misalnya mainan, seperti anak-anak lain," ungkap Werlin.

Lalu, apakah dia dendam pada pelaku pengebom itu? "Tuhan Maha Adil, biarlah Tuhan yang menghukumnya," imbuh ibu yang tetap tenang meski didera sakit di kaki dan pundaknya itu.***

Tokoh Muslim dan Kristen Bertemu di Tentena

Poso - Mengantisipasi terjadinya ketegangan di Tentena dan Poso pasca ledakan bom, dua tokoh agama Kristen dan Islam bertemu. Rabu siang (1/6/2005) sekitar pukul 12.00 Wita, Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam Poso datang ke Tentena bertemu dengan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST).

Forum silaturahmi umat Islam Poso dipimpin HM Adnan Arsa, langsung diterima oleh Ketua Majelis Sinode, Pdt Renaldy Damanik. Pertemuan dua tokoh agama yang sangat berpengaruh ini berlangsung tertutup, dengan mengambil tempat di GKST Jalan Setiabudi Tentena, Rabu (1/6/2005).

Usai pertemuan, kedua tokoh dan seluruh delegasi menyampaikan pernyataan sikap bersama. Dalam pernyataan sikapnya, kedua belah pihak menyesalkan pemboman yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab tersebut dan meminta polisi agar mengusut tuntas pelaku pemboman.

Kedua belah pihak meminta kepada masyarakat, LSM, maupun media cetak untuk menahan diri dan tidak terpancing isu liar yang berkembang setelah ledakan bom.

Kepada Polri, mereka meminta bekerja profesional, dengan tidak menggunakan kekerasan dalam penangkapan, dan penyidikan terhadap mereka yang diduga melakukan pengeboman terhadap Pasar Tentena. Mereka juga mengajak semua masyarakat Kabutapen Poso untuk mengawal proses perdamaian yang sedang dan terus menerus bergulir.

Usai pertemuan, Pendeta Damanik menegaskan, "Yang kita perlukan sekarang dalam situasi seperti ini adalah keteladanan. Kemudian keteladanan kepada umat untuk memberikan contoh bagaimana berhubungan dengan komunitas agama lain."

Sementara Haji Muhammad Adnan Arsa mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah berhenti untuk mengimbau masyarakat untuk bahu membahu memelihara situasi Poso yang sudah aman dan damai. Ia juga menegaskan kasus bom Tentena tidak terkait dengan SARA.

36 Orang Korban Bom Tentena Masih Dirawat di Rumah Sakit

Poso - Ledakan bom di Pasar Tentena, Poso menyisakan luka mendalam bagi warga Tentena. Sedikitnya 36 orang korban bom Tentena sampai saat ini masih dirawat di Rumah Sakit Sinar Kasih, Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST).

Dari 36 orang tersebut, 12 orang di antaranya perempuan, 23 orang laki-laki dewasa dan 1 anak-anak.
Menurut rencana, hari ini 9 orang korban dari 36 yang masih dirawat ini akan menjalani operasi untuk mengeluarkan serpihan bom dari badan.

Penjelasan situasi terakhir para pasien ini disampaikan Direktur RS Sinar Kasih GKST, Dr Syam Mahmud kepada detikcom di ruang kerjanya Jalan Setiabudi Tentena, Rabu (1/6/2005).

Sementara, untuk persediaan darah, sampai saat ini masih terpenuhi, yakni sejumlah 43 kantong darah. Sementara kebutuhan darah saat ini 5 orang membutuhkan darah golongan B dan 4 orang membutuhkan golongan darah A.

Tentena Normal

Situasi kota Tentena pasca ledakan bom, berangsur-angsur normal. Pasar Tentena yang menjadi pusat ledakan bom sampai saat ini belum bisa digunakan. Di Pasar tentena sampai saat ini masih dipasangi police line. Sejumlah tenda polisi juga didirikan untuk membantu pihak laboratorium forensik menyelidiki bekas kejadian ledakan bom.

Para pedagang yang biasanya mangkal di Pasar Tentena saat ini hanya biasa berjualan di sekitar Jalan Setiabudi, dari samping kantor Polsek Pamona Utara sampai sebelah kantor BRI. Para pedagang membuat lapak-lapak di sepanjang Jalan Setiabudi. Dari puluhan pedagang Pasar Tentena, hanya 8 orang yang berjualan di sepanjang jalan tersebut. Mereka membangun lapak-lapak, dengan jualan ikan , sayur mayur dan kebutuhan pokok lainnya.

Salah satu pedagang bernama Erni Polowiwi yang sebelumnya berjualan di Pasar Tentena memilih berjualan di samping Polsek. Erni mengaku masih trauma atas peristiwa yang akhirnya merenggut teman-temannya itu. "Saya takut juga", kata dia. Erni sebelumnya berjualan barang pecah belah, tapi semua barang dagangan hancur akibat ledakan bom. Kini, Erni jualan telor ayam.***

Hence dan Farid, Penembak Jaksa Ferry Dibawa ke Palu

Palu - Dua tersangka penembak Jaksa Ferry, Hence Said dan Farid Podungge dibawa ke Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (10/8/2005). Sebelumnya mereka ditahan di Mabes Polri.

Mereka diangkut dengan Wings Air. Mereka tiba di Palu sekitar pukul 16.30 Wita.

Polda Sulteng sebelumnya telah membekuk Wagiman alias Papa Siti. Jika Wagiman ditangkap Detasemen 88 di Desa Malino, Kabupaten Tojo Unauna, Sulawesi Tengah, Minggu (17/7/2005) lalu, Hence dan Farid ditangkap di salah satu pesantren di Jawa Timur, Juni 2005 lalu.

Ketiga orang ini, sudah dimasukkan dalam DPO Polda Sulteng sejak September 2004 lalu, setelah mereka dicurigai menembak tewas Jaksa Ferry Silalahi yang berdinas di Kejati Sulteng.

Dari DPO yang dikeluarkan Polda Sulteng, ketiganya diduga mengetahui aksi penembakan yang menyita perhatian publik itu. Apalagi diketahui ketiganya adalah warga Poso, Sulawesi Tengah.

Dari sumber di Polda Sulteng, diketahui ada 4 orang tersangka yang diduga terlibat dalam aksi penembakan Jaksa Ferry. Peristiwa itu terjadi pada 26 Mei 2004 silam.

Saat itu Jaksa Ferry Silalahi, jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah tewas ditembak saat kembali dari ibadah. Saat itu ia ditemani istrinya. Kejadian itu terjadi di Jalan Swadaya, Kelurahan Birobuli, Palu Selatan.

Jaksa Ferry selama karirnya di Kejati Sulteng menangani kasus-kasus terorisme yang melibatkan sejumlah anggota Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) dan mujahiddin lokal.***

Korban Penembakan Palu Dirujuk ke Makassar

Palu - Pemilik Toko Emas Agung yakni William (61), yang menjadi korban penembakan di tokonya, Jalan Wolter Monginsidi, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (10/2/2006) kemarin akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Akademis, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelumnya korban dalam kondisi kritis dan dirawat di Rumah Sakit Bala Keselamatan Palu.

Korban yang tertembak di leher hingga menembus kepala dan di dagu juga menembus kepala hingga hari ini masih dalam kondisi kritis. Selang infus dan oksigen masih melekat di tubuhnya. Menurut rencana, Sabtu (11/2/2006) akan dibawa ke Makassar.

Sementara itu, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah sejak Jumat malam telah memblokir akses keluar masuk Kota Palu, Sulawesi Tengah untuk mempersempit gerak pelaku penembakan.

Semua kendaraan keluar masuk di empat pintu gerbang keluar masuk Kota Palu diperiksa ketat. Upaya ini melibatkan seluruh Polsekta seluruh kota Palu, yakni Polsekta Palu Barat yang mengawasi Jalur Sulawesi Tengah-Sulawesi Selatan dan bagian barat, Polsekta Palu Selatan yang mengawasi jalur Sulawesi Tengah-Sulawesi Selatan melalui Poso. Kemudian Polsekta Palu Utara yang mengawasi jalur Sulawesi Tengah-Sulawesi Utara dan Polsekta Palu Timur yang disiagakan di jalur keluar masuk dalam Kota Palu.

Polisi juga masih melakukan penyelidikan terhadap semua jenis motor Yamaha RX-King dan Suzuki Satria yang diduga digunakan pelaku.***

Toko Emas Gunung Agung Dirampok, Pemiliknya Didor

Palu - Perampokan di siang bolong terjadi di Palu, Sulteng. Toko emas Gunung Agung di Jalan Monginsidi, Palu Selatan, dirampok empat orang. Pemiliknya, Williams (61), seorang pengusaha keturunan Tionghoa, ditembak. Saat ini Williams dalam keadaan kritis.

Peristiwa ini berlangsung sangat cepat. Empat orang perampok menggunakan dua sepeda motor mendatangi toko emas Gunung Agung, Palu, Jumat (10/2/2006) sekitar pukul 12.45 Wita. Tanpa ba-bi-bu mereka langsung menggasak perhiasan emas dan uang tunai. Ulah perampok tak hanya sampai di situ, pemiliknya juga dihadiahi timah panas.

Saat ini polisi sibuk menjaga dan menyisir lokasi kejadian. Warga sekitar tampak ramai berkumpul di lokasi kejadian. Mereka tidak menyangka ada aksi perampokan nekat yang berlangsung di siang bolong. Williams yang menjadi korban penembakan saat ini dirawat di RS Bala Keselamatan.

Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Oegroseno mengatakan, pihaknya tengah menyelidiki kasus ini. Perampok tampaknya mengetahui betul lokasi kejadian, sehingga melakukan aksinya sewaktu toko sedang sepi dan dengan mudah melarikan diri.

Sebuah sumber mengatakan, aksi perampokan ini diduga terkait dengan aksi-aksi sebelumnya, seperti perampokan di kantor Bupati Poso April 2005, diikuti pemboman Pasar Tentena 28 Mei 2005, peledakan bom di pasar daging babi Mahesa, Palu, dan perampokan di jalur Trans Sulawesi-Palu senilai Rp 80 juta. "Ada dugaan uang hasil rampokan untuk mendanai aksi teror," ujar sumber tersebut.***

Polisi Korban Bom Tentena Itu Akhirnya Meninggal

Palu - Nyawa Ajun Brigadir Polisi Yohannes Modjampa tidak tertolong. Setelah dirawat intensif sejak awal Juni di RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur, Modjampa akhirnya dipanggil Tuhan. Dia menghembuskan nafas terakhirnya Minggu (26/6/2005) malam.

Dengan meninggalnya Modjampa, maka kini korban tewas akibat bom Tentena 28 Mei 2005 lalu menjadi 22 orang. Jenazah Modjampa akan dibawa dari Jakarta menuju Palu, Senin (27/6/2005) siang ini untuk diserahkan kepada keluarganya.

Demikian penjelasan Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) AKBP Rais Adang kepada wartawan di Mapolda Sulteng, Jl. Sam Ratulangi, Palu. "Hari ini diterbangkan ke Palu dan akan disemayamkan terlebih dulu di Mapolda Sulteng," kata Rais.

Belum diketahui secara pasti pukul berapa jenazah akan tiba di Palu. Namun diperkirakan jenazah Modjampa akan tiba di bandara Palu sore hari. Rencananya, setelah disemayamkan di Mapolda Sulteng, jenazah Modjampa akan langsung dikembalikan kepada keluarganya di Kecamatan Pamona Utara, Tentena, Poso.

Saat menjadi korban bom Tentena, Modjampa langsung dirawat di RS Sinarkasih Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Tentena. Namun, karena peralatan medis terbatas, dia dirujuk ke RS Polri Kramatjati awal Juni lalu. Dia dibawa ke Jakarta juga untuk menjalani operasi, karena ada serpihan bom bersarang di perut sebelah kanan.***

3 Penembak Jaksa Ferry dan Pendeta Susianti Dibekuk

Palu - Tiga orang yang diduga pelaku penembakan Jaksa Ferry Silalahi dan Pendeta Susianti di Gereja Effatha, berhasil dibekuk. Mereka ditangkap di Kel.Dondo, Kec. Ampana Kota, Kab.Tojo Una-una, Sulteng, sekitar 150 km dari Kota Poso.

Pelaku berinisial P, Y, dan A, ditangkap jajaran Polda Sulteng dan Polres Poso. Tersangka A adalah pemilik rumah di mana tersangka P dan Y, bermukim. Mereka dicokok pukul 12.30 WIB, Minggu kemarin, setelah polisi sejak pukul 05.00 WIB melakukan pengintaian di lokasi penangkapan.

Demikian disampaikan Kapolres Poso AKBP Abdi Dharma kepada detikcom sekitar pukul 09.00 Wita, Senin (16/8/2004). "Mereka sudah lama menjadi target operasi polisi," kata Abdi.

Bersama tersangka, polisi juga mengamankan sepucuk pistol revolver kaliber 38 dan 14 amunisi. Lima peluru masih berada di pistol, sisanya disimpan di sarung pistol. Selain itu juga disita sebilah sangkur, sejumlah buku agama, tape rekaman, dan walkman.

Saat ini tersangka diamankana ke Polresta Palu untuk menjalani pemerikaan. Hingga kini belum ada keterangan resmi dari Kapolda Sulteng. Kabid Humas AKBP Victor D.Batara menyatakan, saat ini pihaknya masih rapat dengan Kapolda dan akan memberikan keterangan pada wartawan setelah rapat.***

Polisi Periksa 12 Saksi Terkait Bom Tentena

Poso - Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan polisi menangkap pelaku bom Tentena, Poso, Sulawesi Tengah dalam waktu satu minggu. Tapi, di hari ketiga, polisi masih berkutat memeriksa saksi-saksi. Sudah 12 saksi yang diperiksa.

Polisi masih belum mengetahui siapa pelaku pengeboman sadis yang terjadi di Pasar Tentena pada Sabtu(28/5/2005) lalu. Para saksi yang diperiksa adalah saksi mata langsung peristiwa ledakan bom yang menewaskan 19 orang tersebut.

Penyidikan kasus peledakan bom ini dipimpin Direktur Reskrim Polda Sulawesi Tengah, Kombes Tatang Soemantri. Pemeriksaan terhadap para saksi ini dilakukan di Posko Polri, di Kantor Gereja Kristen Sulawesi Tengah, di Jalan Teru Limba, Tentena.

"Dua belas orang saksi yang tengah diperiksa dipastikan berada di tempat kejadian perkara saat bom meledak," kata Kombes Pol Tatang kepada wartawan, Senin (30/5/2005).

Meski pemeriksaan saksi-saksi sudah dilakukan, lanjut Tatang, sampai saat ini motif pelaku peledakan bom belum diketahui. "Hanya bisa dipastikan mereka menebar teror," ujarnya.

Ketika ditanya wartawan apakah polisi sudah mengantongi identitas pelaku, Tatang belum bisa memberikan keterangan rinci. Sebab, menurut dia, hasil pemeriksaan masih harus dianalisis dan dievaluasi.

Dari tempat kejadian perkara, polisi menemukan sejumlah barang bukti, berupa rangkaian kabel, timer, baterai, mesiu, dan kontainer, yang berbentuk silinder mirip pipa.

Sementara itu Puskesmas Tentena kekurangan obat-obatan dan tim medis. Karena itu sejak awal kejadian sampai hari ini, para korban hanya diobati seadanya, dan ditangani secara bergantian oleh tim medis yang jumlahnya sangat terbatas.

Saat ini mereka hanya mempunyai 4 orang dokter dan 2 orang tenaga bantuan dari puskesmas terdekat. Dari 70 orang korban luka, sebanyak 3 orang diamputasi.***

Toko Emas Gunung Agung Dirampok, Pemiliknya Didor

Palu - Perampokan di siang bolong terjadi di Palu, Sulteng. Toko emas Gunung Agung di Jalan Monginsidi, Palu Selatan, dirampok empat orang. Pemiliknya, Williams (61), seorang pengusaha keturunan Tionghoa, ditembak. Saat ini Williams dalam keadaan kritis.

Peristiwa ini berlangsung sangat cepat. Empat orang perampok menggunakan dua sepeda motor mendatangi toko emas Gunung Agung, Palu, Jumat (10/2/2006) sekitar pukul 12.45 Wita. Tanpa ba-bi-bu mereka langsung menggasak perhiasan emas dan uang tunai. Ulah perampok tak hanya sampai di situ, pemiliknya juga dihadiahi timah panas.

Saat ini polisi sibuk menjaga dan menyisir lokasi kejadian. Warga sekitar tampak ramai berkumpul di lokasi kejadian. Mereka tidak menyangka ada aksi perampokan nekat yang berlangsung di siang bolong. Williams yang menjadi korban penembakan saat ini dirawat di RS Bala Keselamatan.

Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Oegroseno mengatakan, pihaknya tengah menyelidiki kasus ini. Perampok tampaknya mengetahui betul lokasi kejadian, sehingga melakukan aksinya sewaktu toko sedang sepi dan dengan mudah melarikan diri.

Sebuah sumber mengatakan, aksi perampokan ini diduga terkait dengan aksi-aksi sebelumnya, seperti perampokan di kantor Bupati Poso April 2005, diikuti pemboman Pasar Tentena 28 Mei 2005, peledakan bom di pasar daging babi Mahesa, Palu, dan perampokan di jalur Trans Sulawesi-Palu senilai Rp 80 juta. "Ada dugaan uang hasil rampokan untuk mendanai aksi teror," ujar sumber tersebut.***

Saturday, July 15, 2006

Polisi Dar-der-dor dengan Ipong

Terkait Kasus Jaksa Ferry-Pdt Susianti

Poso - Andi Ipong hendak diringkus. Tapi buronan kasus penembakan ini bernyali besar. Tembakan peringatan polisi dibalas tembakan. Baku tembak pun tak terelakkan.

Aksi tembak-tembakan bak film laga Hollywood itu berlangsung cukup mencekam di Poso Kota, Sulawesi Tengah, pukul 11.30 Wita, Sabtu (2/7/2005). Tapi apesnya, Ipong tak kunjung tertangkap. Pasukan polisi pun ditambah. Namun belum ada hasil.

Peristiwa bermula saat seorang anggota Brimob melihat Ipong di sebuah rumah di Jalan Ahmad Yani. Hal itu dilaporkan ke Detasemen 88 Antiteror Mabes Polri.

Satu regu yang terdiri dari 10 personel langsung menuju lokasi Ipong yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Ipong diduga kuat terlibat dalam penembakan Jaksa Muda Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Ferry Silalahi dan Pendeta Susianti Tinulele.

Pengejaran terhadap Ipong dilakukan dengan menggunakan mobil Toyota Kijang Krista ke Jalan Ahmad Yani. Tapi ternyata Ipong tidak ada lagi di situ. Ipong ternyata sudah lari ke Jalan Yos Sudarso.

Polisi pun berlompatan keluar dari mobil dan mengejar Ipong. Karena Ipong tak mau berhenti lari, polisi melepas tembakan peringatan. Bukannya berhenti lari, Ipong malah membalas tembakan itu.

Komandan pasukan polisi pun langsung menginstruksikan Ipong ditembak. Peluru pun bermuntahan dari senjata laras panjang Senapan Serbu Dua (SS-2) polisi yang wajahnya ditutup sapu tangan itu. Dar-der-dor! Tak mau kalah, Ipong membalas dengan pistol.

Tapi Ipong memang licin. Dia dengan cepat berpindah dari Jalan Yos Sudarso, kembali ke Jalan Ahmad Yani. Kedua jalan ini hanya terpisah oleh bangunan bekas bioskop dan rumah penduduk.

Polisi yang mengejar Ipong kemudian kehilangan jejak. Rumah warga pun langsung di-sweeping. Komandan pasukan sempat marah dengan seorang pemilik rumah yang tidak kooperatif yang tidak mempersilakan rumahnya digeledah. Negosiasi berlanjut, Ipong pun tak kunjung ditemukan.***

Korban Penembakan di Palu Dioperasi

Palu - Pudji Sulaksono dan Novlin, pasangan suami istri (pasutri) yang menjadi korban penembakan orang tidak dikenal di Palu, Sulawesi Tengah, sedang dioperasi. Luka Novlin cukup parah namun tidak sampai kritis.

Kedua korban menjalani operasi di ruang operasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata Palu, Jl. Soeharso, Palu Timur. Hingga berita ini dilaporkan, Sabtu (19/11/2005) pukul 23.30 WITA, operasi masih berlangsung.

Peristiwa ini mengundang perhatian masyarakat. Banyak warga yang berdatang ke rumah sakit untuk melihat kondisi korban. Namun warga, termasuk kolega korban, hanya bisa menunggu di ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Undata.

Terlihat Komandan Kodim 1306 Donggala Letkol Inf Irwan Sihar Marpaung datang mengunjungi kedua korban penembakan. Ia didampingi oleh Direktur Reskrim Polda Sulteng Kombes Pol Tatang Somantri.

Pudji dan istrinya menjadi korban penembakan saat baru pulang dari kebaktian. Mereka ditembak ketika sedang melintas dengan sepeda motor di Jalan Untad I, Palu Timur, Sabtu (19/11/2005) malam. Pudji adalah doktor ilmu penyakit tanaman, ia dosen di Faperta Untad

Kedua korban beralamat di Jalan Akuntasi Nomor 4, Perumahan Dosen Untad, Kelurahan Tondo, Palu Timur. Rumah keduanya berjarak hanya sekitar 500 meter lokasi penembakan di depan Islamic Center, Jl. Untad II.***

Cari Pelaku Penembakan, Akses Keluar Masuk Palu Diblokir

Palu - Polisi memburu pelaku penembakan sepasang suami istri (pasutri) di Palu, Sulawesi Tengah. Untuk mencegah pelaku kabur ke daerah lain, polisi memblokir akses keluar dan masuk kota Palu.

Ratusan polisi diturunkan untuk memburu pelaku. Polisi merazia setiap kendaraan, baik itu sepeda motor, mobil pribadi, maupun angkutan umum. Operasi ini melibatkan pasukan Perintis dan Brimob Polda Sulteng, Polresta Palu, dan Polsek-polsek setempat.

Polisi telah proses identifikasi di tempat kejadian perkara di depan Islamic Center, Jl. Untad II, Palu Timur. Olah TKP ini dipimpin langsung oleh Direktur Reskrim Polda Sulteng Kombes Pol Tatang Somantri.

Di TKP polisi menemukan sebuah sebo atau penutup muka dan selongsong peluru. Polisi juga telah mengidentifikasi pelaku yang berjumlah dua orang menggunakan sepede motor Yamaha Zupiter berlis putih.

Hingga berita ini dilaporkan, Sabtu (19/11/2005) pukul 23.45 WIB, perburuan pelaku penembakan masih dilakukan. Bahkan belakangan, aparat TNI juga dilibatkan. Selain, polisi juga masih memeriksa saksi mata bernama Rahman dan Rizki.

Sejauh ini polisi belum menemukan pelaku penembakan. Sempat ada mobil berplat Sulawesi Selatan yang ditembak, tapi ini karena pengendaranya tidak mau berhenti.***

Dosen Untad & Istrinya Jadi Korban Penembakan di Palu

Palu - Aksi kekerasan kembali terjadi di Palu, Sulawesi Tengah. Sepasang suami istri menjadi korban penembakan orang tak dikenal. Keduanya terluka dan kini sedang menjalani perawatan.

Korban bernama Pudji Laksono dan Novlin. Saat kejadian Pudji, seorang dosen jurusan penyakit hama tanaman Faperta Untad, dan isterinya baru pulang dari kebaktian.

Pudji dan istrinya ditembak ketika sedang melintas dengan sepeda motor di Jalan Untad I, Palu Timur, sekitar pukul 19.45 WITA, Sabtu (19/11/2005).

Menurut saksi bernama Herman dan Rizki, saat itu ada pengendara motor lain yang menghentikan motornya dan tiba-tiba menembak ke arah pasutri tersebut. Akibatnya Pudji terluka di bagian bahu sebelah kiri, dan Novlin luka di bagian rusuk kiri dan kanan.

Korban kini dirawat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata Palu, Jl. Soeharso, Palu Timur. Kapolresta Palu AKBP Guntur Widodo telah mengunjungi kedua korban dan mencoba berbicara dengan keduanya. Namun kedua korban masih kesulitan untuk berbicara.

Dugaan sementara kedua korban ditembak dengan senjata laras pendek. Banyak warga yang berkerumun di depan RSUD Undata untuk melihat korban. Namun aparat kepolisian menjaga ketat ruang IGD.

Sehari sebelumnya, Jumat (18/11/2005) dini hari, seorang remaja putri bernama Yanti (22), tewas dibacok orang tak dikenal. Pembacoknya berjumlah tiga orang dan mengendarai sepeda motor bebek.

Peristiwa ini terjadi saat Yanti (22), Evi (23) dan Anca, berboncengan satu sepeda motor dari arah Jalan Dewi Sartika, Palu Selatan. Saat masih berada di Jalan Tanjung Satu, dari arah berlawanan muncul satu sepeda motor yang dipakai berboncengan tiga juga.

Tak disangka, tiba-tiba salah seorang membacok ke arah Anca, Yanti dan Evi. Refleks Anca menunduk, tebasan parang kemudian menancap di leher Yanti. Lalu mengenai lengan kanan Evi.***

Polisi Kejar 4 Penembak Pdt Susianti ke Palu & Poso

Dosen Untad & Istrinya Jadi Korban Penembakan di Palu


Palu - Aksi kekerasan kembali terjadi di Palu, Sulawesi Tengah. Sepasang suami istri menjadi korban penembakan orang tak dikenal. Keduanya terluka dan kini sedang menjalani perawatan.

Korban bernama Pudji Laksono dan Novlin. Saat kejadian Pudji, seorang dosen jurusan penyakit hama tanaman Faperta Untad, dan isterinya baru pulang dari kebaktian.

Pudji dan istrinya ditembak ketika sedang melintas dengan sepeda motor di Jalan Untad I, Palu Timur, sekitar pukul 19.45 WITA, Sabtu (19/11/2005).

Menurut saksi bernama Herman dan Rizki, saat itu ada pengendara motor lain yang menghentikan motornya dan tiba-tiba menembak ke arah pasutri tersebut. Akibatnya Pudji terluka di bagian bahu sebelah kiri, dan Novlin luka di bagian rusuk kiri dan kanan.

Korban kini dirawat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata Palu, Jl. Soeharso, Palu Timur. Kapolresta Palu AKBP Guntur Widodo telah mengunjungi kedua korban dan mencoba berbicara dengan keduanya. Namun kedua korban masih kesulitan untuk berbicara.

Dugaan sementara kedua korban ditembak dengan senjata laras pendek. Banyak warga yang berkerumun di depan RSUD Undata untuk melihat korban. Namun aparat kepolisian menjaga ketat ruang IGD.

Sehari sebelumnya, Jumat (18/11/2005) dini hari, seorang remaja putri bernama Yanti (22), tewas dibacok orang tak dikenal. Pembacoknya berjumlah tiga orang dan mengendarai sepeda motor bebek.

Peristiwa ini terjadi saat Yanti (22), Evi (23) dan Anca, berboncengan satu sepeda motor dari arah Jalan Dewi Sartika, Palu Selatan. Saat masih berada di Jalan Tanjung Satu, dari arah berlawanan muncul satu sepeda motor yang dipakai berboncengan tiga juga.

Tak disangka, tiba-tiba salah seorang membacok ke arah Anca, Yanti dan Evi. Refleks Anca menunduk, tebasan parang kemudian menancap di leher Yanti. Lalu mengenai lengan kanan Evi.

Polisi Kejar 4 Penembak Pdt Susianti ke Palu & Poso

Palu - Polisi terus mengejar pelaku penembakan Pendeta Susianti di Gereja Effatha, Palu. Sudah 4 pelaku yang berhasil diidentifikasi dan diyakini pelaku masih berada di Sulteng.

"Polisi mengejar tersangka di Kota Palu dan Kota Poso," kata Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) AKBP Victor D.Batara di Polda Sulteng, Jl.Sam Ratulangi, Palu, pukul 13.10 Wita, Selasa (27/7/2004).

Disebutkannya, 2 pelaku utama sudah diidentifkasi tempat tinggalnya, dengan inisial F dan H. Namun Victor menolak memberikan keterangan di mana lokasi persisnya. Yang jelas, setiap pelaku dikerja oleh satu tim gabungan dari Polresta Palu, Polda Sulteng dan Mabes Polri.

Selain itu, 19 saksi sudah diperiksa dalam kasus ini. Empat saksi terakhir adalah warga Desa Tulo, Kec.Dolo, Kab.Donggala, Sulteng. Mereka dimintai keterangan sejak Kamis lalu hingga Sabtu (22-24/7). "Mereka tidak ditahan, hanya dimintai keterangan," kata Victor.

Dia juga memastikan semua warga yang telah dimintai keterangan tentang kasus itu, dijamin keamanannya oleh polisi. "Masyarakat jangan segan-segan memberikan informasi pada polisi jika mereka tahu hal-hal terkait, akan kami jamin keselamatannya," janji Victor.***

Polisi Tangkap Pria yang Diduga Terlibat Kasus Effatha

Palu - Polisi menangkap Bambang, seorang buronan kasus kerusuhan Poso. Dalam perkembangannya, Bambang juga diduga terkait kasus penembakan di Gereja Effatha.

Penangkapan Bambang ini dibenarkan oleh Kepala Bidang Humas Polda Sulawsi Tengah (Sulteng) AKBP Victor saat memberikan keterangan kepada wartawan di Mapolda Sulteng, Jl. Sam Ratulangi, Palu Timur, Jumat (30/7/2004).

Victor menjelaskan, tersangkan ditangkap di rumah Cahyani, warga Desa Betue, Dataran Napu, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Tersangka sempat melawan dan mencoba melarikan diri sehingga akhirnya ditembak.

"Tersangka ditangkap pada hari Kamis (29/7/2004) sekitar pukul 07.00 WITA oleh tim gabungan. Tim ini terdiri dari Mabes Polri, Polda Sulteng, dan Polresta Palu," tutur Victor.

Victor menambahkan, tersangka akan dijerat dengan tuduhan melanggar Perpu No.1/2002, yang ditetapkan dengan UU No.15/2003 tentang pemberantasan tindak terorisme. "Kita juga akan mendalami kemungkinan keterlibatan dia dalam kasus penembakan di Effatha," papar Victor.

Tidak Melawan

Cahyani, pemilik rumah yang ditempati Bambang mengatakan, dirinya tidak percaya tersangka terlibat berbagai kasus kekerasan, baik Poso maupun penembakan di gereja Effatha. Menurut Cahyani, Bambang jauh dari gambaran sosok yang kejam.

"Saya tidak percaya dia terlibat (tindak kekerasan). Dia itu orangnya sangat penakut. Waktu ditangkap dia juga tidak melawan, dia ditembak begitu saja di bagian pantatnya ketika sedang makan," ungkap Cahyani yang ditemui di Sekretariat Lembaga Pengembangan dan Sutudi HAM (LPSHAM), Jl. Satsuit Tubun, Palu Timur.

Cahyani menceritakan, Bambang dikenalnya sejak 7 tahun silam. Di rumah Cahyani, Bambang bekerja sebagai juru masak atau menyelesaikan pekerjaan ringan lainnya. Cahyani dan suaminya, Kamal, adalah mantan pengungsi Poso.
Saat ini mereka bekerja sebagai kontraktor dan tengah mengerjakan proyek pembangunan jalan.

Cahyani datang ke LPSHAM bersama suaminya Kamal untuk meminta perlindungan hukum. Pasalnya, menurut informasi yang ada, Kamal juga dijadikan tersangka kasus Poso dan Effatha.

"Bagaimana bisa saya terlibat, saat kejadian di gereja Effatha, saya berada di Napu. Sedangkan waktu Bambang ditangkap, saya ada di Poso untuk mencairkan dana proyek," kilah Kamal.***

Salah Tangkap Tersangka Effatha, Polda Sulteng Minta Maaf

Jakarta - Polda Sulteng meminta maaf pada Bambang dan keluarganya karena salah tangkap. Bambang semula ditangkap karena dituduh terlibat penembakan Pendeta Susianti di di Gereja Effatha, Palu, Minggu (18/7/2004) lalu.

Polda Sulteng juga mengakui ada kesalahan prosedur dalam upaya paksa penangkapan Bambang di Desa Betue, Kec.Lore Utara, Kab.Poso, Sulteng, pada Kamis (29/7/2004). Bambang pun dibebaskan.

Demikian disampaikan Kapolda Sulteng Brigjen M.Taufik Ridha di ruang kerjanya, Jl.Sam Ratulangi di Palu Timur, Senin (2/8/2004).

Dijelaskannya, penangkapan Bambang berdasarkan informasi intelijen yang menyatakan seseorang lelaki bernama Bambnag diduga sebagai pelaku penembakan Effatha. Polisi lalu mengejar dan menangkap Bambang. Bahkan pantat Bambang kena tembak.

Ternyata setelah diperiksa di kantor polisi dan dicroscek dengan saksi, bukan Bambang yang dimaksud yang terlibat penembakan Pendeta Susianti. Karena itulah Bambang dibebaskan dan Polda minta maaf.

Saat ditangkap, Bambang sempat dipukuli dan ditembak pantatnya. "Kami akan selidiki apakah memang ada kesalahan prosedur dalam penangkapan Bambang ini," kata Kapolda.

Saat ditemui detikcom di Polda, Bambang mengaku memaafkan kasus salah tangkap polisi itu. "Mungkin mereka kecapekan. Saya tidak akan nmelakukan upaya hukum pada polisi," kata Bambang.

Dalam kesempatan itu, Bambang didampingi Kurnia, ibunya yang selalu menangis sejak tadi pagi. Ketika ditanya dia melawan petugas ketika ditangkap, pemuda kelahiran 1 September 1976 itu menggeleng.

Lembaga Pengembangan dan Studi HAM yang mengadvokasi Bambang semula hendak mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap polisi ke Pengadilan Negeri Palu. Tapi belum jelas kabarnya karena Bambang tidak akan melakukan tuntutan hukum pada polisi.

Bambangs udah bisa kembali ke rumahnya. Namun Bambang minta agar bisa dirawat di RS Polda Sulteng, mengobati pantatnya yang tertembus timah panas.***

Kejar Pelaku Effatha, Polisi Temukan VCD Osama Bin Laden

Palu - Polda Sulawesi Tengah terus mengejar pelaku penembakan di gereja Effatha. Dalam salah satu pengejaran, polisi menemukan VCD Osama Bin Laden dan sejumlah buku.

Hal itu diungkapkan Kapolda Sulteng Brigjen Taufik Ridha kepada wartawan di Mapolda Sulteng, Jl. Sam Ratulangi, Palu Timur, Jumat (23/7/2004).

Ridha menjelaskan, benda-benda tersebut ditemukan di sebuah kebon pisang di desa Tulo, Kecamatan Solo, Kabupaten Donggal, Kamis (22/7/2004). VCD dan buku-buku tersebut disimpan oleh sesorang di dalam tanah.

"Awalnya kita melakukan penggerebegan di salah satu rumah warga bernama D. Menurut informasi yang kami terima, rumah tersebut kerap dijadikan tempat pertemuan orang-orang dari luar daerah. Rumah tersebut kami curigai juga menjadi tempat persembunyian H, salah seorang pelaku," kata Taufik.

Sayangnya dari penggerebegan itu polisi gagal menemukan tersangka. Polisi, kata Ridha, hanya menemukan sebuah popor senjata api rakitan. dari tempat tersebut, polisi kemudian bergerak menuju lokaso lainya. Di sebuah kebon pisang, sekitar 2 Km daru lokasi awal, polisi menemukan gundukan tanah yang mencurigakan.

"Setelah kita bongkar, gundukan tanah itu ternyata berisi VCD tentang perjuang Osama bin Laden dan beberapa buku. Di antaranya berjudul Kuasai Iman dan Kabut di Atas Danau Poso. Kita juga masih memeriksa D dan anaknya AD," terang Taufik.

Ditemui secara terpisah, Gubernur Sulteng, Aminuddin Ponulele, mengharapkan polisi segara dapat mengungkap kasus Effatha dan kekerasan lainnya. Aminuddin mengatakan, dirinya yakin polisi tahu apa yang harus dikerjakan, termasuk jika harus meminta bantuan kepada TNI.

"Itu (meminta bantuan TNI) terserah kepada pimpinan Polri. Saya yakin, kalau memang membutuhkan, Polri pasti akan meminta bantuan TNI," tukas Aminuddin.***

Kisah Penting 5 Hari Sebelum Jaksa Ferry Ditembak

Palu - Sebelum ditembak, Jaksa Ferry Silalahi mendapatkan ancaman. Kejadiannya, 5 hari sebelum peristiwa pembunuhan terjadi.

Dari penelusuran detikcom di Kejaksaan Tinggi Palu didapatkan kabar, 5 hari sebelum peristiwa penembakan Rabu malam (26/5/2004), Jaksa Ferry Silalahi sempat menemui para terdakwa kasus terorisme di Rumah Tahanan Palu.

Sumber detikcom di Kejati Sulteng menceritakan bahwa dalam kunjungan itu, Ferry bertemu dengan Fajri, bendahara Waqalah Uhud Mantiqi III Jamaah Islamiyah yang membawahi Palu dan sekitarnya. Di Rutan Palu mereka sempat berdialog beberapa saat. Dalam dialog itu, Fajri mengatakan, "Pak Ferry, kok pintu rumahnya dikunci terus, sih?"

Sumber tadi juga menceritakan bahwa malam harinya, setelah sehari bertemu para terdakwa tindak pidana terorisme di Rutan Palu, Jaksa Ferry menerima ancaman melalui telepon. Suara seseorang yang tidak dikenal itu meminta agar 3 orang terdakwa tindak pidana terorisme yakni, Firmansyah, Fajri dan Aang Hasanuddin dibebaslan.

Tapi saat itu Ferry balik menjawab bahwa ia masih menempuh upaya kasasi. Lalu, penelepon tadi mengancam, "Bapak tahu akibatnya kalau tidak mengeluarkan mereka?" Ancaman itu dibalas Ferry dengan ucapan, "Saya tidak takut."

Menurut sumber tadi, Jaksa Ferry memang ditugaskan menangani kasus terorisme yang melibatkan Muhammad Fauzan, Nizam, Firmansyah, Fajri dan Aang Hasanuddin. Mereka ini diadili karena terlibat dalam kasus kepemilikan senjata api, peluru dan bahan peledak, serta menyembunyikan salah seorang tersangka bom Bali, yakni Achmad Roichan alias Nung.

Para terdakwa ini, jelas sumber tadi lagi, tergabung dalam organisasi Waqalah Uhud Mantiqi III Jamaah Islamiyah yang ditugaskan bekerja untuk wilayah Palu dan sekitarnya. Secara umum, Waqalah Uhud Mantiqi III Jamaah Islamiyah ini, membawahi Filipina Selatan, Sabah Malaysia, Palu dan sekitarnya, Poso dan sekitarnya serta Pendolo-Pandajaya (perbatasan Sulteng-Sulsel--red).***

Kian Banyak Kian Berkualitas

[Bagian pertama dari empat tulisan]

Palu - Minggu (12/12/2004), pukul 19.00 WITA. Blarr... Ledakan keras mengguncang Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Ratusan orang berlarian. Mereka adalah jemaat Gereja Immanuel yang terletak di Jl. Masjid Raya, Kelurahan Lolu, Palu Selatan.

Di gereja itu pula , Binti Jaya (61), seorang anggota satuan pengamanan (Satpam), tersungkur. Tangan kirinya patah dan betis kanan tertembus timah panas yang ditembakan sekelompok orang tak dikenal.

Beberapa saat sebelumnya, kekerasan juga terjadi di Gereja Kristen Sulawesi Tengah Anugerah, Jl. Tanjung Manimbaya, Kelurahan Tatura, Palu Selatan. Rada Krisna (38) tekena timah panas di bahu, Novri (17) tertembak di bagian belakang kepala. Sedangkan Stevany (19) mengalami trauma.

Dua peristiwa itu mengggegerkan warga Kota Palu yang tak seberapa besar. Mereka bertanya-tanya, prilaku apa lagi yang terjadi. Tidak cukupkah deretan kekerasan yang selama ini terjadi?

Kekerasan sepertinya sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Sulteng beberapa tahun terakhir. Kualitas aksi-aksi kekerasan yang terjadi juga semakin meningkat.

"Pelaku tidak hanya menggunakan senjata tradisional, tapi juga menggunakan senjata api rakitan atau pun organik. Bahkan ada yang memakai bom," Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigjen Pol Ariyanto Sutadi mengenai kekerasan di Poso dan Palu sepanjang 2004.

Menurut catatan detikcom, berbagai aksi kekerasan itu memiliki latar belakang yang berbeda. Mulai dari soal suku, agama, sosial, ekonomi, hingga masalah politik. Termasuk persoalan antarkeluarga yang kerap menyeret empati komunal lebih luas lagi hingga berujung pada aksi kekerasan massal.

Di mulai dari Palu dan Parigi, Sulawesi Tengah. Pada 21 Januari 2004, penduduk Maranatha, Donggala (30 Km dari Palu), yang bersuku Da'a (Kaili-red) bentrok dengan suku Bugis. Dilaporkan 1 orang tewas terkena tembakan senjata api rakitan. Kasus ini diawali saling klaim kepemilikan sepetak lahan pertanian di perbatasan kedua kampung itu.

Menyusul 26 Mei 2004. Jaksa Ferry Silalahi, jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulteng tewas ditembak orang tak dikenal saat kembali dari ibadah. Ferry dihabisi di Jl. Swadaya, Kelurahan Birobuli, Palu Selatan. Selama karirnya di Kejati Sulteng, Ferry menangani kasus-kasus terorisme yang melibatkan sejumlah anggota Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) dan mujahiddin lokal.

18 Juli 2004, perisitiwa yang tak kalah mengejutkan terjadi di Gereja Effatha, Jl. Banteng, Kelurahan Tatura, Palu Selatan. Pendeta Susianti Tinulele tewas ditembak di atas mimbar gereja saat menyampaikan khutbah. Warga geger. Polisi langsung melakukan razia 24 jam penuh selama hampir sebulan di pintu gerbang keluar masuk Kota Palu. Pelaku diduga veteran konflik Poso.

Lalu, 3 Agustus 2004. Mobil boks PT Anindita Multiniaga Indonesia, perusahaan penyalur rokok Djarum Super, dirampok oleh kawanan yang lagi-lagi diduga terlibat konflik Poso. Mereka memakai senjata api laras pendek. Kali ini polisi berhasil menangkap tiga pelaku perampokan.

Bentrok antarsuku kembali terjadi pada 3 September 2004. Peristiwa ini terjadi di lembah Palu antara warga suku Kaili dan Bugis di Sidondo, Donggala (sekitar 35 kilometer dari Palu). Senjata tradisional seperti parang, sumpit dan tombak, dan senjata api rakitan laras panjang ikut bicara.

Diduga kuat, peristiwa ini dilatari masalah ekonomi. Secara kasat mata, ekonomi warga Bugis lebih maju timbang warga Suku Kaili, yang merupakan komunitas suku asli di Lembah Palu.

17 September 2004 kasusnya tergolong unik. Sesama warga Suku Kaili di Pesaku dan Sidondo, Donggala saling serang. Persoalan bermula dari persoalan antarpemuda yang menyeret empati komunal yang kemudian termobilisasi untuk saling menyerang.

Sementara untuk Poso, kekerasan di tahun 2004 diawali pada bulan Februari. Sejumlah jemaat yang tengah melakukan kebaktian di Gereja Tabernakel di Kilo Trans, Poso Pesisir, diberondong tembakan. Sekitar 7 orang luka-luka dan pelaku masih buron.

30 Maret 2004, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sintuwu Maroso Ros Polingo ditembak dari jarak dekat. Untungnya, nyawanya masih bisa tertolong. Peluru yang dimuntahkan dari senjata api rakitan laras panjang hanya menyerempet kulit lehernya. Kepolisian Resor Poso menduga pelaku salah sasaran.

Pada hari yang sama sekitar pukul 19.00 WITA, seorang pendeta muda di Gereja Pantekosta, Membuke, Poso Pesisir tewas ditembak. Sebelumnya istri korban sempat mempersilakan salah seorang pelaku masuk ke rumahnya. Korban ditembak saat memperbaiki bohlam listrik. Polisi juga belum berhasil menangkap pelaku.

Selanjutnya 8 November 2004, Tommy Sanjaya alias Imbo tewas ditembak ketika tengah mengemudikan angkutan umum di ruas jalan perbatasan Madale dan Tegalrejo, Poso Kota. Kapolres Poso Ajun Komisaris Besar Polisi Abdi Dharma menduga pelaku bekerja sama dengan masyarakat setempat. "Sebab dari keterangan para saksi, Tommy seperti sudah ditunggui untuk melewati jalan itu," sebut Abdi.

Poso kemudian kembali dikejutkan dengan aksi kekerasan yang menewaskan Kepala Desa Pinedapa, Carminalis Ndele. Carminalis dibunuh di Kawende (sekitar 2 kilometer dari Pinedapa). Potongan kepalanya dibuang di ruas Jalan Sayo, Poso Kota (sekitar 40-an kilometer dari Pinedapa). Pada kasus ini Polisi mengidentifikasi sejumlah tersangka. Mereka diduga orang-orang lama yang terlibat konflik Poso.

Darah terus menetes di Poso. Sebuah bom meledak di angkutan umum di depan Pasar Sentral Jl. Pulau Sumatera, Poso Kota 13 November 2004. 7 orang tewas dalam aksi vandalisme itu. Polisi memeriksa 10 orang saksi, termasuk para penumpang yang selamat. Dua pekan lalu, Polisi menahan Jose Bunga Tandi, warga Sepe, Malei Lage yang diduga mengetahui aksi peledakan bom itu.

Sejumlah pejabat tinggi dari pusat berkunjungan ke Poso. Mereka antara lain, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, Menkopolhukam Widodo AS, Mendagri M. Ma'ruf dan Panglima TNI Jenderal Endiarto Sutarto. Seperti biasa, mereka berjanji akan benar-benar memperhatikan penyelesaian kasus-kasus kekerasan di Poso.

Dalam catatan Polda Sulteng sepanjang 2004 telah terjadi 28 kasus kekerasan bersenjata yang menonjol. Hanya pada Juni 2004 saja tidak ada kasus yang terjadi. Akibat dari aksi-aksi kekerasan itu sekitar 20 orang meninggal dunia dan 30 orang lainnya luka berat.

Direktur Lembaga Pengembangan dan Studi Hak Azasi Manusia (LPS-HAM) Syamsu Alam Agus mengatakan, kasus kekerasan aparat keamanan juga harus menjadi perhatian. Dia mencontohkan, kasus Bambang yang ditangkap dan ditembak Polisi pada 29 Juli 2004 di Betue, Lore Utara, Poso. Lelaki itu diduga sebagai tersangka penembak Jaksa Ferry, tapi ternyata kemudian tidak terbukti dan dilepaskan.

Jadi memang kumparan besar kekerasan tengah melilit Poso dan Palu. Menurut Rizali Djaelangkara, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako, hal tersebut juga diajarkan oleh negara.

"Kita bahkan memiliki standar ganda melihat kekerasan. Kalau kekerasan itu dilakukan aparat keamanan, kita melihatnya sebagai sebuah aksi yang dilegitimasi oleh hukum atau atas kepentingan umum," demikian hemat Rizali.***

Hati-hati Pergantian Bupati

[Bagian kedua dari empat tulisan]

Palu - Konflik berujung kekerasan di Poso dan Palu tidak begitu saja terjadi. Banyak persoalan yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah masalah politik setempat.

Sebagai contoh pada 1998, kursi Bupati Poso yang ditinggalkan Arif Patanga lama tak terisi. HB Paliudju, Gubernur Sulteng kala itu, menunjuk Haryono untuk menjadi penjabat bupati. Namun keputusan ini menimbulkan tarik menarik figur pengganti Arif.

Kemudian muncul nama Abdul Muin Pusadan, anggota Fraksi Golkar DPRD Sulteng yang didrop dari atas untuk menjadi calon bupati. Setelah itu, serangkaian kerusuhan pun terjadi.

Entah bagaiamana, masalah agama kemudian terbawa-bawa. Saat itu orang menginginkan Abdul Malik Syahadat, tokoh Islam yang dekat dengan sejumlah pemuka Kristen di Poso. Malik kemudian kebagian menjadi Wakil Bupati Poso.

Masalah muncul lagi, ketika jabatan sekretaris kabupaten lowong. Sebagian masyarakat Kristen menginginkan Nus Pasoreh. Sementara masyarakat Islam menginginkan Awad Alamri.

"Pembagian kekuasaan yang tidak adil menjadi penyebab semua itu," kata Datlin Tamalagi, tokoh masyarakat Poso. Kini dia menjadi Wakil Bupati Morowali, daerah pemekaran Poso.

Gubernur Sulawesi Tengah Aminuddin Ponulele, Senin (22/11/2004) lalu melantik Andi Azikin Suyuti sebagai Penjabat Bupati Poso. Hal ini sebagaimana diperkirakan banyak orang, yakni dia akan menjadi penjabat bupati setelah masa jabatan Bupati Poso Abdul Muin Pusadan berakhir. Walau pelantikan Azikin sendiri sempat ditentang banyak orang.

Azikin disebut-sebut sebagai orang dekat Gubernur Aminuddin. Sebelumnya dia menjabat sebagai Kepala Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah, instansi yang paling bertanggungjawab atas penyaluran dana bantuan pengungsi. Azikin diangkat dengan SK Mendagri No.131.52-748/2004. Ia diberi tugas enam bulan hingga setahun untuk mempersiapkan pemilihan langsung kepala daerah nantinya.

Akankah hal ini kembali menimbulkan konflik? Pertanyaan ini memang patut diwaspadai sedini mungkin. Tentunya masyarakat Poso sangat tidak mengharapkan konflik tersebut. Terlebih masyarakat Poso sebenarnya dikenal penuh toleransi.

"Banyak persoalan yang terakumulasi menjadi satu. Salah satunya adalah kecemburuan sosial. Mereka menyaksikan bagaimana masyarakat pendatang begitu maju, sementara penduduk asli cuma jalan di tempat," kata Ketua Kelompok Kerja Deklarasi Malino, Yahya Mangun.

Kini, pertentangan siapa yang akan menjadi Bupati Poso sepeninggal Muin kembali mencuat. Pada tahun 1998-1999, seolah terbentuk semacam kesepakatan di tingkat elit. Jika bupati Islam, maka sekretaris kabupaten harus beragama Kristen.

Sejauh ini, sudah 6 nama yang disebut-sebut bakal maju ke pemilihan langsung kepala daerah nantinya. Mereka adalah Abdul Malik Syahadat, Islam, pentolan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia serta mantan wakil bupati Poso; Yahya Pattiro, Kristen, mantan sekretaris kabupaten Poso; Luther Maganti, Kristen, Pensiunan Polri dan mantan anggota DPRD Sulteng; Abdul Muin Pusadan, Islam, mantan bupati Poso; Edi Bungkundapu, Kristen, Sekretaris DPRD Sulteng; dan Sawerigading Pelima, Kristen, Ketua DPRD Poso sekarang.

Nama Pendeta Rinaldy Damanik juga selalu disebut. Pendeta Damanik, saat ini adalah Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Ia baru bebas dari tahanan pada 9 November 2004 lalu, karena kedapatan memiliki belasan senjata api dan amunisi illegal.

Secara kasat mata pengaruh pendeta yang lulusan Universitas Kristen Satya Wacana Surakarta ini sangat besar. Selama konflik berlangsung, ia tidak pernah meninggalkan Poso. Tapi Damanik sendiri mengaku ogah dengan jabatan itu. "Gengsi dong, Ketua Sinode GKST hanya jadi calon bupati," ungkapnya.

Meski demikian dalam suatu kesempatan, Damanik mengatakan, semuanya tergantung permintaan masyarakat. Sekadar diketahui saat konflik berlangsung, Poso terbagi ke dua enclave besar. Poso Pesisir dan Poso Kota dikuasai warga Muslim dan Tentena dan sekitarnya dikuasai warga Kristen.

"Kalau calon bupatinya sudah ada, saya akan mengundang mereka pada Januari dan Februari mendatang untuk menyampaikan visi dan misinya di GKST," sebut Damanik. Sejauh ini, tambahnya lagi, sudah ada 8 tokoh yang bertemu dengannya meminta untuk didukung maju menjadi calon bupati.

Sebagai catatan, di DPRD Poso saat ini, Partai Damai Sejahtera memiliki 6 kursi disusul oleh Partai Golkar 5 kursi. Selanjutnya Partai Patriot 4 kursi, PDIP dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dengan 2 kursi. Disusul PAN, Partai Demokrat, PPP, PKS dan Partai Pelopor, masing-masing 1 kursi.

Ketua DPRD Poso periode 2004-2004 kini adalah Sawerigading Pelima yang naik dengan bendera PDS. Ia juga disebut-sebut akan mencalonkan diri. Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Sulteng ini dikenal luas di Poso.

Ada yang menarik menjadi catatan jika membicarakan proses suksesi di Poso. Jika sentimen agama mencuat, maka segregasi populasi berdasar agama penting disimak.

Dalam catatan Biro Pusat Statistik Sulteng, Islam menjadi agama mayoritas di kecamatan-kecamatan pesisir, seperti Kecamatan Ampana Kota, Ampana Tete, Tojo, Una-una, Walea Kepulauan, dan Ulubongka (Kabupaten Poso) dan Kecamatan Bungku Selatan, Bungku Tengah, Bungku Barat, Bungku Utara, dan Menui Kepulauan (Kabupaten Morowali).

Sebaliknya, Kristen menjadi agama mayoritas di kecamatan-kecamatan dataran tinggi, seperti Kecamatan Pamona Utara, Pamona Selatan, Pamona Tengah, Lore Utara, Lore Tengah, dan Lore Selatan (Kabupaten Poso) dan Kecamatan Mori Atas dan Lembo (Kabupaten Morowali).

Segregasi juga terlihat di wilayah kecamatan di mana penduduk beragama Islam dan Kristen berimbang. Misalnya, sebelum konflik di dalam wilayah Kecamatan Poso Kota, penduduk beragama Islam mayoritas menghuni kelurahan Kayamanya, Bonesompe, dan Lawanga. Sebaliknya, penganut Kristen mayoritas berada di Kelurahan Kasintuvu, Lombogia, dan Kawua.

Populasi masyarakat Muslim di Poso juga ditambah dengan kedatangan migran Bugis, Makassar dan Gorontalo yang merupakan penganut Islam. Mereka menyebar di kecamatan-kecamatan pesisir yang juga merupakan kecamatan yang didominasi umat Islam. Sebaliknya, migran penganut Kristen asal Minahasa dan Toraja cenderung memilih kecamatan-kecamatan di dataran tinggi yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Pada 1970-an, jumlah pemeluk Kristen separuh dari jumlah pemeluk agama lainnya. Pemeluk Islam bertambah seiring dengan banyaknya masuk migran
Gorontalo, Bugis dan Makassar. Kini pemeluk Islam dan Kristen hampir setara.

Ketua Kaukus Daerah Konflik dan Daerah Bekas Konflik, M Ichsan Loulembah, mengatakan solusi bagi adanya konflik berlatarbelakang sentimen agama itu bisa diselesaikan dengan pemekaran wilayah Poso (setelah Morowali dan Tojo Unauna) menjadi Kabupaten Pamona Raya.

Direktur LPS-HAM Syamsu Alam Agus, menilai, kedamaian Poso terletak pada kesadaran para elit. Konflik terjadi jika para politisi membawa-bawa sentimen agama dalam aksi-aksi politik mereka. Keputusan hati nurani sangat menentukan.***

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]