[Bagian pertama dari empat tulisan]
Palu - Minggu (12/12/2004), pukul 19.00 WITA. Blarr... Ledakan keras mengguncang Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Ratusan orang berlarian. Mereka adalah jemaat Gereja Immanuel yang terletak di Jl. Masjid Raya, Kelurahan Lolu, Palu Selatan.
Di gereja itu pula , Binti Jaya (61), seorang anggota satuan pengamanan (Satpam), tersungkur. Tangan kirinya patah dan betis kanan tertembus timah panas yang ditembakan sekelompok orang tak dikenal.
Beberapa saat sebelumnya, kekerasan juga terjadi di Gereja Kristen Sulawesi Tengah Anugerah, Jl. Tanjung Manimbaya, Kelurahan Tatura, Palu Selatan. Rada Krisna (38) tekena timah panas di bahu, Novri (17) tertembak di bagian belakang kepala. Sedangkan Stevany (19) mengalami trauma.
Dua peristiwa itu mengggegerkan warga Kota Palu yang tak seberapa besar. Mereka bertanya-tanya, prilaku apa lagi yang terjadi. Tidak cukupkah deretan kekerasan yang selama ini terjadi?
Kekerasan sepertinya sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Sulteng beberapa tahun terakhir. Kualitas aksi-aksi kekerasan yang terjadi juga semakin meningkat.
"Pelaku tidak hanya menggunakan senjata tradisional, tapi juga menggunakan senjata api rakitan atau pun organik. Bahkan ada yang memakai bom," Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigjen Pol Ariyanto Sutadi mengenai kekerasan di Poso dan Palu sepanjang 2004.
Menurut catatan detikcom, berbagai aksi kekerasan itu memiliki latar belakang yang berbeda. Mulai dari soal suku, agama, sosial, ekonomi, hingga masalah politik. Termasuk persoalan antarkeluarga yang kerap menyeret empati komunal lebih luas lagi hingga berujung pada aksi kekerasan massal.
Di mulai dari Palu dan Parigi, Sulawesi Tengah. Pada 21 Januari 2004, penduduk Maranatha, Donggala (30 Km dari Palu), yang bersuku Da'a (Kaili-red) bentrok dengan suku Bugis. Dilaporkan 1 orang tewas terkena tembakan senjata api rakitan. Kasus ini diawali saling klaim kepemilikan sepetak lahan pertanian di perbatasan kedua kampung itu.
Menyusul 26 Mei 2004. Jaksa Ferry Silalahi, jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulteng tewas ditembak orang tak dikenal saat kembali dari ibadah. Ferry dihabisi di Jl. Swadaya, Kelurahan Birobuli, Palu Selatan. Selama karirnya di Kejati Sulteng, Ferry menangani kasus-kasus terorisme yang melibatkan sejumlah anggota Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) dan mujahiddin lokal.
18 Juli 2004, perisitiwa yang tak kalah mengejutkan terjadi di Gereja Effatha, Jl. Banteng, Kelurahan Tatura, Palu Selatan. Pendeta Susianti Tinulele tewas ditembak di atas mimbar gereja saat menyampaikan khutbah. Warga geger. Polisi langsung melakukan razia 24 jam penuh selama hampir sebulan di pintu gerbang keluar masuk Kota Palu. Pelaku diduga veteran konflik Poso.
Lalu, 3 Agustus 2004. Mobil boks PT Anindita Multiniaga Indonesia, perusahaan penyalur rokok Djarum Super, dirampok oleh kawanan yang lagi-lagi diduga terlibat konflik Poso. Mereka memakai senjata api laras pendek. Kali ini polisi berhasil menangkap tiga pelaku perampokan.
Bentrok antarsuku kembali terjadi pada 3 September 2004. Peristiwa ini terjadi di lembah Palu antara warga suku Kaili dan Bugis di Sidondo, Donggala (sekitar 35 kilometer dari Palu). Senjata tradisional seperti parang, sumpit dan tombak, dan senjata api rakitan laras panjang ikut bicara.
Diduga kuat, peristiwa ini dilatari masalah ekonomi. Secara kasat mata, ekonomi warga Bugis lebih maju timbang warga Suku Kaili, yang merupakan komunitas suku asli di Lembah Palu.
17 September 2004 kasusnya tergolong unik. Sesama warga Suku Kaili di Pesaku dan Sidondo, Donggala saling serang. Persoalan bermula dari persoalan antarpemuda yang menyeret empati komunal yang kemudian termobilisasi untuk saling menyerang.
Sementara untuk Poso, kekerasan di tahun 2004 diawali pada bulan Februari. Sejumlah jemaat yang tengah melakukan kebaktian di Gereja Tabernakel di Kilo Trans, Poso Pesisir, diberondong tembakan. Sekitar 7 orang luka-luka dan pelaku masih buron.
30 Maret 2004, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sintuwu Maroso Ros Polingo ditembak dari jarak dekat. Untungnya, nyawanya masih bisa tertolong. Peluru yang dimuntahkan dari senjata api rakitan laras panjang hanya menyerempet kulit lehernya. Kepolisian Resor Poso menduga pelaku salah sasaran.
Pada hari yang sama sekitar pukul 19.00 WITA, seorang pendeta muda di Gereja Pantekosta, Membuke, Poso Pesisir tewas ditembak. Sebelumnya istri korban sempat mempersilakan salah seorang pelaku masuk ke rumahnya. Korban ditembak saat memperbaiki bohlam listrik. Polisi juga belum berhasil menangkap pelaku.
Selanjutnya 8 November 2004, Tommy Sanjaya alias Imbo tewas ditembak ketika tengah mengemudikan angkutan umum di ruas jalan perbatasan Madale dan Tegalrejo, Poso Kota. Kapolres Poso Ajun Komisaris Besar Polisi Abdi Dharma menduga pelaku bekerja sama dengan masyarakat setempat. "Sebab dari keterangan para saksi, Tommy seperti sudah ditunggui untuk melewati jalan itu," sebut Abdi.
Poso kemudian kembali dikejutkan dengan aksi kekerasan yang menewaskan Kepala Desa Pinedapa, Carminalis Ndele. Carminalis dibunuh di Kawende (sekitar 2 kilometer dari Pinedapa). Potongan kepalanya dibuang di ruas Jalan Sayo, Poso Kota (sekitar 40-an kilometer dari Pinedapa). Pada kasus ini Polisi mengidentifikasi sejumlah tersangka. Mereka diduga orang-orang lama yang terlibat konflik Poso.
Darah terus menetes di Poso. Sebuah bom meledak di angkutan umum di depan Pasar Sentral Jl. Pulau Sumatera, Poso Kota 13 November 2004. 7 orang tewas dalam aksi vandalisme itu. Polisi memeriksa 10 orang saksi, termasuk para penumpang yang selamat. Dua pekan lalu, Polisi menahan Jose Bunga Tandi, warga Sepe, Malei Lage yang diduga mengetahui aksi peledakan bom itu.
Sejumlah pejabat tinggi dari pusat berkunjungan ke Poso. Mereka antara lain, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, Menkopolhukam Widodo AS, Mendagri M. Ma'ruf dan Panglima TNI Jenderal Endiarto Sutarto. Seperti biasa, mereka berjanji akan benar-benar memperhatikan penyelesaian kasus-kasus kekerasan di Poso.
Dalam catatan Polda Sulteng sepanjang 2004 telah terjadi 28 kasus kekerasan bersenjata yang menonjol. Hanya pada Juni 2004 saja tidak ada kasus yang terjadi. Akibat dari aksi-aksi kekerasan itu sekitar 20 orang meninggal dunia dan 30 orang lainnya luka berat.
Direktur Lembaga Pengembangan dan Studi Hak Azasi Manusia (LPS-HAM) Syamsu Alam Agus mengatakan, kasus kekerasan aparat keamanan juga harus menjadi perhatian. Dia mencontohkan, kasus Bambang yang ditangkap dan ditembak Polisi pada 29 Juli 2004 di Betue, Lore Utara, Poso. Lelaki itu diduga sebagai tersangka penembak Jaksa Ferry, tapi ternyata kemudian tidak terbukti dan dilepaskan.
Jadi memang kumparan besar kekerasan tengah melilit Poso dan Palu. Menurut Rizali Djaelangkara, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako, hal tersebut juga diajarkan oleh negara.
"Kita bahkan memiliki standar ganda melihat kekerasan. Kalau kekerasan itu dilakukan aparat keamanan, kita melihatnya sebagai sebuah aksi yang dilegitimasi oleh hukum atau atas kepentingan umum," demikian hemat Rizali.***
Saturday, July 15, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Blog Info
BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.
Dedication Quote
ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]
0 comments:
Post a Comment