Tuesday, October 31, 2006

Densus 88 Tangkap 15 Pelaku Aksi Terorisme, 29 Masih Buron

Poso – Kepolisian Republik Indonesia menyatakan telah menangkap 15 warga di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah. Mereka terlibat dalam sejumlah aksi-aksi terorisme di kedua wilayah itu sejak tahun 2001-2006 ini. Mereka dinyatakan terlibat dalam 13 kasus besar berupa peledakan bom maupun penembakan misterius. Namun puluhan lainnya masih belum tertangkap dan dimasukan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Anton Bachrul Alam, Selasa malam (31/10/2006) di Kantor Kepolisian Resor Poso di Jalan Pulau Sumatera, Poso Kota.

Menurut Anton ke-15 orang itu terlibat dalam serangkaian aksi-aksi terorisme di Palu dan Poso, Sulawesi Tengah. Mereka terlibat dalam antara lain dalam peledakan bom di Pasar Sentral Poso yang menewaskan 4 orang, peledakan bom di Pasar Tentena yang menewaskan 22 orang, penembakan Pendeta Susianti Tinulele, peledakan bom di Gereja Immanuel Palu dan pembunuhan wartawan Poso Post I Wayan Sumariyase. Selain itu, Detasemen 88/Antiteror Mabes Polri dan Densus 88 Polda Sulteng masih mengejar 29 pelaku lagi dimasukan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Dua orang yang paling dicari-cari oleh Polisi adalah Basri dan Wiwin, mereka diduga terlibat Mutilasi 3 siswi SMU Kristen GKST Poso dan peledakan bom di Tentena pada 28 Mei 2004 lalu.

“Mereka ini berasal dari kelompok mujahiddin Tanah Runtuh, Poso dan kelompok Kayamanya atau kelompok Kompak,” kata Anton.

Mereka yang berasal dari Kelompok Tanah Runtuh adalah Hasanudin, Abdul Haris, Irwanto Iriano, Poniran alias Andi Ipong, Yusuf Asapa, Rahmat, Sudirman alais Opo. Sementara dari Kelompok Kayamanya adalah Fadli Barsalim alias Opo, Yusman Said alias Budi, Syakur, Farid Ma’ruf, Yusman Sahad, Iswandi Maraf, Rusli Tawil dan Ifet.

“Mereka itu ketika ditangkap memiliki senjata Revolver, M-16. UZI dan FN,” tambah Anton.

Khusus Hasanudin, Abdul Haris dan Irwanto Iriano dalam penyelidikan di Mabes Polri telah mengaku sebagai pelaku mutilasi 3 siswi SMU Kristen GKST Poso, Yarni Sambue, Alfita Polowiwi dan Theresia Morangke pada 29 Oktober 2005 silam. Saat ini sebagian besar mereka masih diperiksa intensif di Mabes Polri. Adapun Ipong dan Yusuf, pelaku pembunuhan I Wayan Sumariyase sudah pada tahapan pengadilan.

Sementara itu, terkait bentrok warga Tanah Runtuh dan Brimob sampai saat ini tim investigasi Kepolisian yang juga melibatkan Propam Mabes Polri telah memeriksa 6 orang anggota Brimob dan 6 orang warga.***

Sunday, October 29, 2006

Setahun Mutilasi 3 Siswi SMU Kristen Poso Diperingati

Keluarga Minta Polisi Bekuk Pelaku Buron

POSO- Setahun peristiwa mutilasi terhadap tiga siswi SMK Kristen Poso Alfita Polowiwi, Theresia Morangke, dan Yarni Sambue, Minggu (29/10) kemarin diperingati dikampung halaman mereka, di Kel. Bukit Bambu (Buyumboyo, red) Kec. Poso Kota. Nampak hadir dalam peringatan tersebut seluruh keluarga dari ketiga korban dan masyarakat Bukit bambu.

Peringatan yang dilaksanakan mulai pukul 09.00 pagi witeng itu, dimulai dengan acara ibadah di gereja jema'at Zaitun Bukit Bambu yang dipimpin oleh Pdt. Rista Patigu. Sementara puncak acara peringatan setahun tragedi sadis yang menewaskan tiga perempuan AGB itu, dilaksanakan pada pukul. 15. 30 witeng dengan acara tabur bunga di kedua makam korban Alfita dan Theresia di pekuburan umum Bukit Bambu.

Menurut tokoh agama setempat YS. Lagimbana, walaupun satu diantara tiga korban yakni Yarni Sambuye dimakamkam di Tentena, namun oleh keluarga sepakat, puncak acara dilaksanakan di kampung halaman mereka. "semua keluarga dan jemaat Zaitun sepakat, peringatan di pusatkan di tempat tinggal korban sebelumnya (Kel. Bukit Bambu)," kata Lagimbana.

Selesai acara tabur bunga, salah satu korban selamat pada peristiwa mutilasi Noviana Malewa (17) kepada wartawan mengatakan harapannya, agar aparat kepolisian segera menangani dengan tuntas kasus ini. Ia juga meminta polisi untuk segera menagkap empat pelaku lainnya yang masih buron.

"Arwah ketiga teman saya tidak akan tenang sebelum semua pelaku ditangkap dan diadili sesuai perbuatannya," kata Novi, dengan meneteskan air mata.

Senada dengan Novi, Harinus Morangke (ayah Theresia Morangke) dan Nice Linkeka (ibu Alfita Poliwo) juga berharap, agar kempat orang tersangka yang masih buron, segera di bekuk. "Kami minta, empat dari tujuh tersangka pembunuh anak kami segera di bekuk", papar Harinus. "kami tidak dendam. Tapi kami minta polisi segera menagkap pelaku yang masih buron. Karena kami yakin, setelah mereka ditangkap dan di hukum Poso akan benar-benar aman,"ujar ornag tua Alfita, Nice Linkeka penuh harap.

Tiga siswi SMU Kristen itu dibunuh kelompok Hasanuddin pada 29 Oktober 2006. Kepala ketiganya dipotong dan dibuang di tempat terpisah. Saat ini Hasanuddin telah ditangkap dan ditahan di Mabes Polri bersama dua orang anggota kelompoknya.***

Harapan Damai dari Poso

Berbagai teror bom dan peristiwa kekerasan yang terjadi di Poso dalam sebulan terakhir tidak menyurutkan semangat warga di tingkat bawah untuk tetap menjaga perdamaian yang telah berlangsung baik selama ini.

Keadaan yang aman dan tenang memungkinkan mereka untuk kembali bangkit dari keterpurukan setelah daerah Poso pulih dari konflik horizontal bernuansa SARA. Kini sektor pertanian umumnya sumber pendapatan warga di daerah itu untuk membangun kembali rumah-rumah mereka maupun untuk menghidupi keluarga.

Harapan dan optimisme terhadap perdamaian yang abadi di poso ini setidaknya disampaikan oleh warga di Desa Sintuwu Lemba yang terkenal dengan nama Kilo 9. Kilo 9 adalah sebuah desa yang cukup dikenal di Poso karena konflik terbesar di poso terjadi di desa tersebut tepatnya pada bulan Mei tahun 2000.

Konflik itu mengakibatkan ratusan rumah terbakar dan menewaskan sekitar 200 jiwa. Warga yang selamat kemudian mengungsi keberbagai lokasi di Sulawesi Tengah maupun Sulawesi Selatan, serta Sulawesi Utara.

Enam Tahun sudah kejadian itu berlalu. Kini 107 KK yang terdiri atas 54 KK Muslim dan 53 KK Kristen telah hidup berdampingan, rukun dan saling menolong. Warga Kilo 9 mengaku mereka tidak akan lagi mau bertikai.

Menurut mereka pertikaian hanya menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Dengan sederhana warga mengatakan agar keharmonisan hubungan mereka tetap dapat terjaga. Oftis Farlin, misalnya. Perempuan beragama Kristen di Sintuwu lembah ini mengatakan hal yang paling penting bagi mereka adalah rasa aman dan kerukunan.

“Kami tidak mau lagi ada orang-orang yang memprovokasi kamu untuk berkelahi, supaya rusuh lagi. Kami ingin hidup tenang, supaya boleh mencari hidup dengan tenang. Saya mau kehidupan yang seperti dulu lagi,” aku Oftis polos.

Hal senada juga disampaikan oleh Supriati, salah seorang warga Sintuwu Lembah yang menjadi korban konflik di Poso pada tahun 2000.

“Tidak usah baku dendam. Kami di sini sudah hidup damai di Sintuvu Lembah. Kami di sini sudah bisa bekerja lebih tenang,” kata perempuan asal Jawa Tengah itu.

Kerukunan umat beragama di Sintuwu Lembah membawa dampak yang cukup positif bagi warga setempat. Mereka mengaku dengan kehidupan yang damai itu mereka dapat bekerja lebih tenang dan lebih semangat sehingga memberikan penghasilan yang lebih baik kepada mereka. Cita-cita mereka hanyalah bagaimana memberikan anak-anak mereka makan dan sekolah. Mereka mengharapkan agar cita-cita mereka yang sederhana dan mulia itu tidak lagi diganggu oleh pihak-pihak lain yang kerap melakukan provokasi terhadap
warga di Poso, Sulawesi Tengah.

Barak Pengungsi
Ada pula kisah lain dari barak pengungsi tentang mimpi kedamaian. Kisah ini datang Desa Kapompa, Kecamatan Lage, Poso, Sulawesi Tengah. Dari desa itu, Levi Bagu, seorang lelaki tua berusia 60 tahun membangun mimpinya agar Poso kembali damai.

“Saya berani kembali dari barak pengungsi di Tentena, karena yakin Poso sudah aman. Saya takut juga kalo sedikit-dikit ada bom, ada penembakan dan lain-lainnya,” sebut Levi.

Lelaki tua ini Ia adalah salah seorang di antara korban kerusuhan yang saat itu mengungsi ke Tentena, sekitar 56 kilometer dari Poso. Dia memilih ke kampung halamannya yang luluh lantak karena dilanda konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) pada 2006 silam, karena sudah yakin Poso akan kembali aman dan damai.

Ia ditemani istrinya yang juga telah sepuh, tinggal sementara di gubuk beratap dan berdinding rumbia dengan rangka dari bambu sejak April lalu.

Suara senada datang pula dari Grace Pamimbi, perempuan paruhbaya yang sebelumnya juga mengungsi di Tentena.

“Torang so mo hidup tenang. Te usah jo bakalae,” kata Grace singkat.

Adakah harapan damai itu, adalah juga harapan seluruh warga Poso? Semoga!

Konflik Poso, Jalan Tak Berujung

Konflik berujung kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah tidak begitu saja terjadi. Banyak persoalan yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah masalah politik setempat yang kemudian menyeret empati komunal dan melahirkan kekerasan baru. Aparat keamanan juga dianggap memberi sumbangan bagi belum berujung konflik di kota tua di Sulawesi Tengah ini.

Darr…Derr…Dorr…Salakan senjata memecah malam pada Minggu (22/10/2006) di Jalan Pulau Irian Jaya, Kelurahan Gebang Rejo, Poso, Sulawesi Tengah. Sebuah Pos Polisi Masyarakat ditembak orang tak dikenal. Sebanyak 14 anggota Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan dua orang anggota Polmas Kepolisian Resor Poso terjebak di antara desingan peluru. Tak lama kemudian ratusan warga setempat mendatangi dan melempari pos itu. Situasi menjadi kacau balau di antara desingan peluru dan hantaman batu.

Belasan Polisi itu pun terpaksa mesti meminta bantuan melalui pesawat handy talky. Lalu sekitar 1 Satuan Setingkat Kompi Brimob Bawah Kendali Operasi Polres Poso dari Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat pun didatangkan. Mereka datang mengendarai baracuda, kendaraan lapis baja modifikasi milik Polri. Evakuasi pun dilakukan. Sejumlah anggota Polisi pun mengeluarkan tembakan beruntun.

Akibatnya, Syaifuddin alias Udin tewas diterjang peluru anggota Brimob, sementara Muhammad Rizky dan Maslan terluka parah diterjang timah panas pasukan elit Polri itu. Suasana pun makin memanas hingga dinihari. Beruntung sahur memutus amarah warga. Besok harus melaksanakan ibadah puasa lagi.

Esoknya, ketika mengantar jenazah Udin, sejumlah Brimob lepas kendali menembaki pengiring jenazah di Jalan Pulau Seram. Seorang bocah bernama Galih Pamungkas (3,5) terkena peluru nyasar. Saat itu bocah Galih berada di dalam rumahnya.

Selama tiga hari, Poso dalam keadaan tegang dan kemudian mereda kembali setelah perayaan hari raya Idul Fitri pada Selasa (24/10/2006.

Sesungguhnya, benang konflik Poso dimulai sejak 1998. Saat itu, kursi Bupati Poso yang ditinggalkan Arif Patanga lama tak terisi. HB Paliudju, Gubernur Sulteng kala itu, menunjuk Haryono untuk menjadi penjabat bupati. Namun keputusan ini menimbulkan tarik menarik figur pengganti Arif.

Kemudian muncul nama Abdul Muin Pusadan, anggota Fraksi Golkar DPRD Sulteng yang didrop dari atas untuk menjadi calon bupati. Setelah itu, serangkaian kerusuhan pun terjadi.

Entah bagaiamana, masalah agama kemudian terbawa-bawa. Saat itu orang menginginkan Abdul Malik Syahadat, tokoh Islam yang dekat dengan sejumlah pemuka Kristen di Poso. Malik kemudian kebagian menjadi Wakil Bupati Poso.

Masalah muncul lagi, ketika jabatan sekretaris kabupaten lowong. Sebagian masyarakat Kristen menginginkan Nus Pasoreh. Sementara masyarakat Islam menginginkan Awad Alamri.

"Pembagian kekuasaan yang tidak adil menjadi penyebab semua itu," kata Datlin Tamalagi, tokoh masyarakat Poso. Kini dia menjadi Bupati Morowali, daerah pemekaran Poso.

Saat itu, hanya lantaran kesalahpahaman yang terjadi antara Roy Runtu Bisalembah yang kebetulan beragama Kristen dan Ahmad Ridwan yang anggota remaja Islam Masjid Darussalam Poso, Kota Poso memanas. Perang batu terjadi antara warga Kristen dan Islam. Tokoh-tokoh semacam Yahya Mangun, sesepuh Muhammadiyah Poso, Arif Patanga dan Yahya Pattiro mencuat namanya karena berusaha mendamaikan massa.

Tapi api terlanjur dipantik. April 1999, massa Muslim yang marah karena provokasi seorang pemuda membakar permukiman Kristen di Lombogia. Tewasnya dua orang warga akibat tertembak oleh anggota Brimob makin membesarkan nyala api. Lalu tahun 2000, sepasukan warga menyerang permukiman Islam sepanjang Poso Pesisir.

Poso menjadi ladang api dan darah sepanjang Mei – Juli 2000. Dalam catatan Pemerintah Kabupaten Poso kala itu, tak kurang 577 orang tewas terbunuh dalam pertikaian bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan itu. Lalu kerugian materil meliputi, 7.932 buah rumah penduduk terbakar, 1.378 rusak berat dan 690 buah rusak ringan. Sedangkan rumah ibadah yang terbakar tercatat masjid 27 buah, gereja 55
buah dan pura 1 buah. Kerugian materil itu juga ditambah dengan 239 kendaraan bermotor yang terbakar. Kondisi sosial, ekonomi dan politik kabupaten penghasil kayu Ebony seluas 1.443.736 hektare itu pun porak-poranda. Lalu hampir 27 ribu pengungsi menyelamatkan diri ke Palu, Makassar dan Manado.

Konflik baru sedikit mereda setelah Muhammad Jusuf Kalla yang ketika itu masih sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah Pemerintahan Gus Dur menggelar Pertemuan Malino untuk Poso. Sebanyak 44 tokoh Islam dan Kristen termasuk Sofyan Faried Lembah dari Front Solidaritas Islam Revolusioner dan Pendeta Rinaldy Damanik dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah pun berjabatantangan. Tanggal 19-20 Desember 2001 di Malino, Sulawesi Selatan menjadi momentum sejarah teramat penting bagi pulihnya keamanan di Poso. Sayang, banyak aksi-aksi kekerasan yang menciderai.

Salah satu aksi kekerasan terbesar adalah ketika 22 orang tewas akibat peledakan bom di Pasar Tentena pada Sabtu, 25 Mei 2004. Diikuti kemudian oleh sejumlah aksi kekerasan dalam skala yang lebih kecil. Salah satunya adalah peledakan bom di Pasar Hewan Khusus di Palu pada 31 Desember 2005. Tiga orang tewas dan sejumlah lainnya luka-luka.

Kekerasan terus membayangi Sulawesi Tengah sepanjang 1998 – 2006 ini, bahkan makin mengkhawatirkan ketika Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Majelis Sinode GKST tewas ditembak orang tak dikenal, Senin (16/10/2006). Tentu saja banyak yang marah dan meradang, tidak ada tempat aman di wilayah ini.

Sebab Politik
Apa yang sebenarnya terjadi? "Banyak persoalan yang terakumulasi menjadi satu. Salah satunya adalah kecemburuan sosial. Mereka menyaksikan bagaimana masyarakat pendatang begitu maju, sementara penduduk asli cuma jalan di tempat," kata sesepuh Muhammadiyah Poso, Yahya Mangun dalam sebuah wawancara.

Yang dimaksud Yahya adalah bagaimana masyarakat asli Poso yang Kristen dan Islam kemudian tersisih oleh para pendatang dari Makassar dan Gorontalo, juga Jawa. Mereka berhasil karena ulet, sementara masyarakat asli patah semangat.

Bagaimana soal politik? Sebagai catatan, di DPRD Poso saat ini, Partai Damai Sejahtera memiliki 6 kursi disusul oleh Partai Golkar 5 kursi. Selanjutnya Partai Patriot 4 kursi, PDIP dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dengan 2 kursi. Disusul PAN, Partai Demokrat, PPP, PKS dan Partai Pelopor, masing-masing 1 kursi. Ketua DPRD Poso periode 2004-2004 kini adalah Sawerigading Pelima yang naik dengan bendera PDS.

Ada yang menarik menjadi catatan jika membicarakan proses suksesi politik di Poso. Jika sentimen agama mencuat, maka segregasi populasi berdasar agama penting disimak.

Dalam catatan Biro Pusat Statistik Sulteng, Islam menjadi agama mayoritas di kecamatan-kecamatan pesisir, seperti Kecamatan Ampana Kota, Ampana Tete, Tojo, Una-una, Walea Kepulauan, dan Ulubongka (Kabupaten Poso) dan Kecamatan Bungku Selatan, Bungku Tengah, Bungku Barat, Bungku Utara, dan Menui Kepulauan (Kabupaten Morowali).

Sebaliknya, Kristen menjadi agama mayoritas di kecamatan-kecamatan dataran tinggi, seperti Kecamatan Pamona Utara, Pamona Selatan, Pamona Tengah, Lore Utara, Lore Tengah, dan Lore Selatan (Kabupaten Poso) dan Kecamatan Mori Atas dan Lembo (Kabupaten Morowali).

Segregasi juga terlihat di wilayah kecamatan di mana penduduk beragama Islam dan Kristen berimbang. Misalnya, sebelum konflik di dalam wilayah Kecamatan Poso Kota, penduduk beragama Islam mayoritas menghuni kelurahan Kayamanya, Bonesompe, dan Lawanga. Sebaliknya, penganut Kristen mayoritas berada di Kelurahan Kasintuvu, Lombogia, dan Kawua.

Populasi masyarakat Muslim di Poso juga ditambah dengan kedatangan migran Bugis, Makassar dan Gorontalo yang merupakan penganut Islam. Mereka menyebar di kecamatan-kecamatan pesisir yang juga merupakan kecamatan yang didominasi umat Islam. Sebaliknya, migran penganut Kristen asal Minahasa dan Toraja cenderung memilih kecamatan-kecamatan di dataran tinggi yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Pada 1970-an, jumlah pemeluk Kristen separuh dari jumlah pemeluk agama lainnya. Pemeluk Islam bertambah seiring dengan banyaknya masuk migran Gorontalo, Bugis dan Makassar. Kini pemeluk Islam dan Kristen hampir setara.

Ketua Kaukus Daerah Konflik dan Daerah Bekas Konflik, M Ichsan Loulembah, mengatakan solusi bagi adanya konflik berlatarbelakang sentimen agama itu bisa diselesaikan dengan pemekaran wilayah Poso (setelah Morowali dan Tojo Unauna) menjadi Kabupaten Pamona Raya.

Syamsu Alam Agus, penggiat di KONTRAS menilai, kedamaian Poso terletak pada kesadaran para elit. Konflik terjadi jika para politisi membawa-bawa sentimen agama dalam aksi-aksi politik mereka. Terorisme

Minggu (29/10/2006), Wakil Presiden Yusuf Kalla bertemu dengan sejumlah tokoh Islam dan Kristen di Gubernuran Siranindi, Palu, Sulawesi Tengah. Banyak hal yang dibicarakan. Ada beberapa hal penting bisa menjadi catatan. Sebelumnya, pernyataan Kalla agar Polisi menangkap teroris di Poso memantik kecaman. Sebab lagi-lagi Kalla melihat kelompok tertentu di Poso terlibat dalam aksi kekerasan itu.

Soalnya Kalla pernah menuduh Ustadz Adnan Arsal, pimpinan Pondok Pesantren Amanah Poso mengetahui siapa pelaku mutilasi tiga siswi SMU Kristen GKST Poso pada 29 November 2005. Tentu saja Adnan berang dituding seperti itu. Makanya ketika Kalla
mengeluarkan statemen seperti itu, mata semua orang pun menohok Adnan yang jauh-jauh hari sudah mengeluarkan bantahan dirinya terlibat dalam aksi-aksi kekerasan itu. Sebab menurutnya pesantrennya hanya mengajarkan kurikulum yang berbasis pada kurikulum pendidikan agama dari Departemen Agama Republik Indonesia.***

Warga Demo Tarik BKO Brimob, 2 Kompi TNI Siaga

POSO- Tidak kurang dari 1000 massa muslim Poso, Senin (30/10) menggelar demonstrasi. Demonstrasi ini menyusul bentrok warga dengan Satuan Brigade Mobil Minggu malam (22/10) lalu yang mengakibatkan seorang warga tewas dan dua orang lainnya luka-luka terkena tembakan. Warga menuntut Pemerintah segera menarik seluruh anggota Brimob yang di-bawah kendali operasi-kan di Kepolisian Resor Poso.

Koordinator lapangan demonstrasi ini, Sugianto Kaimudin menyatakan bahwa aksi yang mereka gelar merupakan kesepakatan 19 organisasi massa Islam, organisasi kepemudaan (Himpunan Pemuda Alkhairaat, Gerakan Pemuda Ka’bah dan GP Anshor) dan sejumlah partai politik Islam, di antaranya Partai Bulang Bintang, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional. Ratusan Perempuan dan anak-anak juga terlibat dalam aksi ini.

Aksi ini dimulai pukul 09.00 Waktu Indonesia Tengah dari Mesjid Raya Baiturrahman, Poso di Jalan P. Timor menuju Kantor DPRD Poso. “Kenapa kami ke DPRD, itu karena kami minta DPRD untuk pro aktif dengan persoalan ini," kata Sugianto.

Akibat demonstrasi ini, semua kantor, pasar, toko dan tempat aktifitas masyarakat lainnya ditutup

"Hanya UGD Rumah Sakit dan Pompa Bensin yang boleh buka," imbuh Sugianto.

Untuk mengamankan aksi 2 kompi personil TNI dari Batalyon Infanteri 714 Sintuvu Maroso, Poso sejak Minggu (29/10) sudah disiagakan di kompleks DPRD Poso. Tidak ada satu pun personil Kepolisian yang dilibatkan dalam pengamanan aksi ini. Pengamanan dipimpin langsung oleh Dan Yonif 714/SR Letkol Inf Tri Setyo. Personil Kepolisian hanya disiagakan di Kantor Polres Poso dan di sejumlah Gereja.

Di tengah-tengah aksi, sempat terjadi insiden ketika seseorang yang tidak diketahui mengeluarkan tembakan ke arah kerumunan massa. Massa menduga ini adalah anggota Brimob, namun ketika massa mengejar orang itu mereka tidak menemukan lagi siapa penembaknya. Dari kesaksian seorang sopir diketahui bahwa ada seseorang yang menketapel anggota Brimob lalu dibalas dengan tembakan peringatan. Beruntung setelahnya massa dapat dikendalikan.

Sementara itu, di ruangan sidang paripurna DPRD Poso Ustadz Muhammad Adnan Arsal dari Forum Silaturahim dan Perjuangan Umat Islam Poso (FSPUI) dan Sugianto Kaimuddin dari Front Pembela Islam (FPI) diterima oleh Wakil Ketua DPRD Abdul Munim Liputo. Turut hadir juga dalam dialog itu Poso sejumlah perwakilan ormas, OKP dan Parpol Islam. Namun DPRD tidak dapat mengeluarkan keputusan atas tuntutan warga Poso agar seluruh Brimob BKO dipulangkan ke tempat asalnya masing-masing di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Polda Sulawesi Utara dan Polda Kalimantan Timur.

Di luar, massa terus berorasi mengecam ulah Brimob pada bentrok Minggu malam berdarah itu.

“Dulu kita dibantai perusuh, sekarang kita dibantai Brimob. Karena itu kita harus mengusir mereka,” teriak massa.

Terik matahari Poso tidak dipedulikan oleh massa pendemo yang terus mengecam Brimob dan sikap Pemerintah yang dianggap tidak memahami aspirasi masyarakat. Warga pun melambaikan sejumlah poster dan pamflet yang isinya mengecam Brimob BKO.

Pilih Kasih
Ditemui usai aksi yang berakhir sekitar pukul 11.00 WITA, Sugianto mengatakan, umat Islam Poso sangat kecewa dengan prilaku yang dilakukan aparat kepolisian terhadap umat islam. Katanya, aparat kepolisian terlihat tebang pilih dalam memberlakukan proses hukum di Poso. "Umat Islam yang tidak berbuat apa-apa langsung di berondong peluru, tapi kalau umat lain, mereka takut. Padahal jelas mereka (polisi, red) telah dirugikan", papar Sugianto. Ia kemudian mengambil perbandingan, antara kasus Taripa dimana banyak fasilitas polisi dirusak, dan kasus Poso Kota pada Minggu malam.

“Di Taripa masyarakat melempari Kapolda, Kapolres dan Helikopter tadi tidak ada satu pun peluru yang keluar, di sini kami juga berbuat sama tapi diberondong peluru,” tukasnya.

Ustad Muhammad Adnan Arsal pun menyatakan hal serupa. Ia menyatakan, “tidak ada tawar-menawar lagi Brimob BKO harus dikeluarkan dari Poso.” ***

Thursday, October 26, 2006

Enam Ditetapkan Tersangka

[Buntut Brimob vs Warga di Poso]

Palu - Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah akhirnya menetapkan 6 warga Poso sebagai tersangka bentrok antara warga dengan Satuan Brigade Mobil (Brimob) pada Minggu (22/10) malam lalu di Poso, Sulawesi Tengah.

Kepastian penetapan tersangka itu disampaikan oleh Kepala Kepolsian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti, Jumat (27/10) di Markas Polda Sulteng.

Menurutnya keeenam warga tersebut diduga kuat sebagai pemicu bentrokan pada Minggu (22/10) malam yang mengakibatkan tewasnya Udin, dan luka parahnya Kiki dan Tugiharjo akibat diterjang timah panas Polisi setelah mereka menyerang Pos Polisi Masyarakat di Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota.

Mereka yang dietapkan sebagai tersangka adalah Ramli (40), Sunardi (28), Gi, An, Na (39) dan RY. Keenamnya adalah warga Poso yang pada saat bentrok tertangkap tangan membawa senjata tajam.

“Keenam orang tersebut kami tahan sejak Minggu dan setelah melalui pemeriksaan intensif kami kemudian menetapkan mereka sebagai tersangka. Keenamnya dijerat dengan UU Terorisme,” demikian Badrodin Haiti.

Terkait juga dengan insiden Senin (23/10) yang mengakibatkan Maslan dan seorang bocah berumur 3,5 tahun bernama Galih tertembak oleh salah seorang anggota Brimob, pihaknya kini tengah melakukan penyelidikan.

“Sejumlah anggota Brimob sudah menjalani pemeriksan Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulteng,” imbuh Badrodin.

Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Nurmawati Bantilan menyatakan Polisi harus adil dalam mengungkapkan sejumlah kasus-kasus kekerasan di Poso. Ia bahkan menilai Polisi diskriminatif.

“Pada kasus dibunuh dua pedagang ikan asal Masamba, Sulawesi Selatan, para pelaku hanya dikategorikan sebagai tindak kriminal murni. Sementara pada kasus bentrok warga versus Brimob ini para tersangkanya dikenai Undang-Undang Terorisme,” sebut Nurmawati.

Menurutnya, diskriminasi semacam itu berpeluang menimbulkan konflik di tengah kondisi masyarakat Poso yang sesungguhnya mulai kembali membaik pasca kerusuhan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) pada 2000 silam.***

Wednesday, October 18, 2006

Jejak Gembala Pencinta Damai

Pendeta Irianto Kongkoli, terlahir dengan nama lengkap Irianto Salemba Jaya Kongkoli di Poso pada 14 Maret 1963. Lahir dari ayahanda Almarhum L Kongkoli dan ibunda Almarhum Enci Marola. Pendeta yang akrab disapa Anton ini adalah anak kedua dari empat bersaudara.

Ia pergi meninggalkan seorang istri anggota Kepolisian Wanita (Polwan) Ajun Inspektur Polisi Satu Rita Kupa. Buah cintanya dengan Rita Kupa melahirkan tiga orang anak, Gemala Githa Faria (18) yang mengikuti jejak ayahnya menjadi dan kini tengah menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Intim Makassar, Sulawesi Selatan, lalu Geraldi Dwi Risandi (16) dan yang terakhir Galatea Folika Kristata (4).

Pendeta pencinta damai ini menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar GKST 2 di Poso dari 1968-1974, lalu Sekolah Menengah Pertama negeri 1 POso pada 1974-1977. Setemat SMP ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Poso dari 1978-1981. Ia kemudian mengikuti gerak hatinya dengan memilih kuliah di di STT Intim makassar sejak 1981-1987. Kemudian ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan S-2 pada program pasca sarjana Universitar Kristen Duta Wacana (UKSW) Yogyakarta pada 1996-1998. Di sela-sela kuliahnya di UKSW ia berguru pula tentang Islam pada salah seorang Profesor di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Selepas kuliah ia lalu menjalani masa sebagai vikaris di Dewua, Poso Pesisir sejak 1987-1989. Sesudah menerima pengurapan ia kemudian menjadi gembala jemaat Kanaan di Dewua sejak 1089-1991. Lalu pada 1991-1994 ia menjadi gembala jemaat Immanuel Poso dan terakhir hingga akhir hayatnya ia menjadi gembala di Gereja Immanuel Palu.

Pada 1998-2001 ia dipercayakan pula menjadi dosen pada Sekolah Tinggi Teologia GKST di Tentena. Kemudian pada 2000 diangkat menjadi Ketua Sekolah Tinggi Marturia Palu. Almarhum Pendeta Irianto kemudian diberi kepercayaan lagi pada 1 November 2004 menjadi Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Amanah itu mesti dijabatnya hingga November 2006 nanti, namun Tuhan berkehendak lain padanya.

Yang menarik, ketika gelombang reformasi menerjang Indonesia pasca lengsernya Soeharto, ia sempat menjadi Pengurus DPD PDI Perjuangan Sulawesi Tengah. Lalu sempat tertarik mengurusi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada 2002.

Saat meledaknya kerusuhan Poso 2000 silam, ia menjadi koordinator pengungsi Poso untuk wilayah Palu dan sekitarnya.

Kini semua amalannya itu telah menjadi kenangan. Selamat jalan Pendeta pencinta damai. Sorga baka adalah buah jerih lelahmu.***

Jenasah Pendeta Irrianto Dimakamkan

Polisi Tahan Seorang Warga

Palu - Jenasah Pendeta Gereja Kristen Sulawesi Tengah Irianto Kongkoli yang tewas ditembak oleh orang tak dikenal, Senin (16/10) lalu, akhirnya dimakamkan Rabu (18/10) petang kemarin di Pemakaman Umum Kristen di Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah. Ribuan pelayat dari pihak kerabat korban dan masyarakat umum mengantar kepergian pendeta yang rendah hati itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Pelayat datang dari berbagai daerah di luar Sulawesi Tengah. Karangan bunga yang dikirimkan berasal dari Jakarta, Surabaya, Banten dan sejumlah daerah lainnya. Jumlahnya lebih dari 400 karangan bunga. Begitu pun faximile tak kurang dari 300 dikirimkan dari seluruh penjuru Indonesia untuk menyatakan belasungkawa atas kepergian Pendeta Irianto.

Gubernur HB Paliudju dan Wakil Gubernur Sulteng Achmad Yahya bahkan turut sejak prosesi ibadah pelepasan jenazah hingga jenazah masuk ke liang lahat.

Istri Korban Ajun Inspektur Polisi Rita Kupa dan tiga anaknya Gemala Githa Faria (18), Geraldi Dwi Risandi (16), Galatea Folika Kristata terlihat tabah mengantar kepergian ayah mereka. Meski kedukaan mendalam begitu tampak di wajahnya. Bahkan istri korban menyerukan kepada keluarga untuk tidak mengeluarkan isakan tangis di atas kuburan Pendeta Irianto.

“Bapak selalu melarang kami menangis keras-keras di depan jenazah, sebab dia bilang mereka pergi ke dalam damai. Jadi biarkan mereka pergi dengan tenang,” ungkap Rita mengulang pesan suaminya.

Karenanya, pemakaman Pendeta penganjur damai di Poso ini berlangsung tanpa air mata. Hanya do’a yang mengalir dari ribuan pelayat yang terdengar.

“Selamat jalan Pendeta yang murah senyum. Selamat jalan sahabat yang baik hati. Selamat jalan guru yang telaten,” demikian kata-kata penghormatan terakhir dari sahabatnya sesama pendeta, mahasiswa dan jemaatnya yang begitu terkesan atas pribadi Pendeta Irianto.

Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng Muhammad Kilat menyatakan bahwa saat ini Kepolisian telah memeriksa 10 orang saksi dan menahan seorang warga yang diduga mengetahui keberadaan pelaku.

“Namun kami belum dapat menetapkan statusnya sebagai tersangka. Yang bersangkutan tengah diperiksa intensif oleh penyidik,” kata Kilat.***

Pendeta Penganjur Damai itu Sudah Tiada

[In Memoriam Pendeta Drs Irianto Kongkoli, M.Th]

Awan hitam menggayuti langit Sulawesi Tengah, seorang anak negeri meregang nyawa, setelah dua butir timah hitam menembus dari telinga kiri ke batok kepalanya. Seorang pendeta terbunuh, tak terhitung jumlahnya umat berduka.

Palu – Rangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Poso dan Kota Palu adalah upaya provokasi untuk membenturkan umat Islam dan umat Kristen. Penembakan terhadap Pendeta Irianto kongkoli adalah memprovokasi umat Kristen agar marah dan menghantam orang islam, dan pembunuhan dua warga Masamba adalah memprovokasi umat Islam agar marah dan menghantam orang Kristen.

Demikian dikatakan Ketua Forum Silaturahim Perjuangan Umat Islam Poso (FSPUI), Ustad Adnan Arsal.

“Saya yakin kedua pimpinan komunitas kedua umat beragama ini mampu meredam umatnya masing-masing. Hal ini dibuktikan beberapa kali peristiwa kekerasan dan ledakan bom, Poso sampai saat ini aman. Masyarakat Poso sekarang sudah sadar mereka hanya dijadikan alat. Makanya saya yakin mereka tidak akan terprovokasi,” ujarnya saat dihubungi Sinar Harapan.

Bekas Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Rinaldy Damanaik yang mengundurkan diri pasca eksekusi Tibo dan kawan-kawan mengatakan sangat kecewa atas penembakan ini. Ia mengatakan Penembakan ini merupakan ketigakalinya yang terjadi terhadap orang-orang GKST. Mereka adalah Tadjoja, bendahara umum GKST, Pendeta Susianti Tinulele dan Pendeta Irianto Kongkoli.

“Saya kecewa lantaran selama ini aparat tidak bisa memberikan perlindungan kepada warganya dengan menangkap pelakunya, saya sudah tidak tahu harus berkata apa lagi,” katanya gusar.

Sementara itu, sampai hari ini Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah belum berhasil mengidentifikasi pelaku penembakan, yang menewaskan Sekertaris Umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Pendeta Irianto Kongkoli, Senin kemarin. Terkait belum tertangkapnya pelaku, enam warga dimintai keterangan di Polda Sulteng sebagai saksi.

Kapolda mengatakan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di kabupaten Poso dan Kota Palu terkait satu sama lain.

Selasa (17/10) jenazah Pendeta Irianto Kongkoli, masih di semayamkan di rumah duka di Jalan Manimbaya, Lorong Gereja. Rencananya, jenazah akan dikuburkan hari kamis pekan ini pukul 13.00 wita di tempat pemakaman umum Kristen Palu.

Pendeta Irianto Kongkoli dimata istrinya, Rita Kupah, adalah sosok suami sekaligus bapak yang bijaksana. Ia tidak menyangka peristiwa ini akan menimpa suaminya. Tapi ia hanya bisa berserah diri kepada Tuhan. Tidak banyak kata-kata yang terucap dari perempuan yang juga anggota Polri ini.

Saat beberapa anggota DPR Propinsi Sulteng dan Komandan Korem 132 Tadulako Kolonel Husain Malik datang melayat, ibu tiga anak ini, menangis sesegukan. “Terima kasih pak sudah datang melayat suami saya,” ujarnya sambil menyeka darah yang terus keluar dari mulut suaminya.

Pendeta Irianto Kongkoli menyelesaikan S2-nya di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogyakarta. Ia meninggalkan Seorang istri, Rita Kupah dan tiga anak, masing-masing bernama Gemal Gita Faria (18), yang saat ini terdaftar sebagai mahasiswi Sekolah Tinggi Teologia Intim Makassar, Sulawesi Selatan, Geraldi Dwi Risandi (16) dan Galatea Folika Kristata (4).

Namanya mencuat setelah kerusuhan Poso tahun 2000. Semasa hidupnya ia terus mengampanyekan rekonsiliasi dan perdamaian Poso. Ia dekat dengan para penggiat Nahdlatul Ulama (NU) dan GP Anshor, organisasi massa pemuda di bawah NU. Dalam sejumlah kegiatan-kegiatan yang mengampanyekan pluralisme, ia pun selalu terlibat.

Ia bahkan pernah mengajar sebagai dosen di Universitas Alkhaeraat Palu, salah satu lembaga pendidikan Islam di Sulawesi Tengah. Namun tidak lama, karena kemudian ia ditunjuk sebagai Sekertaris Umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Dan akhirnya setelah Pendeta Rinaldi Danamik mengundurkan diri, namanya disebut-sebut akan menggantikan Damanik sebagai Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Periode 2007-2011.

Rupanya Tuhan berkehendak lain, manusia bisa merencanakan tapi Tuhanlah yang menentukan.***

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]