Thursday, December 21, 2006

Teror di Poso Belum Berhenti, Pak Ucup

Teror demi teror masih terus terjadi di Poso sepanjang Januari hingga Desember ini, meski ribuan aparat keamanan sudah disiagakan. Ada yang bilang sebab politiklah yang memicu konflik, ada pula yang menyebutkan sebagai buah dari perebutan pengaruh antara aparat Kepolisian dan Tentara. Berikut ini laporan dari Poso atas kejadian sepanjang 2006.

Poso, 9 Januari 2006. Magrib belum lama usai. Tiba-tiba salakan senjata memecah kebeningan malam. Warga setempat pun terperanjat. Rupanya pasukan Batalyon Kavaleri Tentara Nasional Indonesia terlibat baku tembak dengan Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Ini bukan kali pertama. Tahun-tahun sebelum, bahkan tanpa alasan yang jelas, bentrok bersenjata kerap terjadi. Beruntung tidak ada korban jiwa akibat bentrokan para serdadu itu.

Belum usai ketegangan akibat bentrok itu sekitar pukul 20.30 Waktu Indonesia Tengah, sebuah bom meledak di Gereja Sion. Teror sudah bermula, meski tak korban jiwa.

Esoknya, 10 Januari 2006, sebuah bom Molotov dilemparkan ke Kantor Satuan Tugas Pemulihan Keamanan Poso di depan Kantor Bupati Poso oleh orang yang tak dikenal. Teror pun makin menjadi.

Kondisi di Poso, meski tenang tapi tetap dihantui teror. Pada 1 Juli bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Bhayangkara Kepolisian Republik Indonesia, sebuah bom meledak di Kompleks Gereja Eklesia Poso. Warga setempat pun panic.

Sejak saat itu, teror demi teror bom pun terus terjadi. Sepanjang Januari hingga September warga Kota Poso dan Tentena dihantui peledakan bom, ancaman bom dan kekerasan bersenjata.

Klimaksnya pada 22 September pukul 01.15 WITA. Saat itu, tiga terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu dihadapankan ke depan regu tembak Brimob Polda Sulteng. Usai sudah babakan perjuangan mereka mengharapkan kebebasan. Banyak yang berpikir, bara di Poso akan padam. Ternyata tidak. Api menyala kembali di Poso.

Pagi hari sesudah eksekusi itu, warga pun marah. Mereka mengamuk melempari Kantor Polsek Lage dan Polsek Pamona Utara meminta agar Brimob diusir dari Poso. Sejak saat itu, kondisi di Poso tegang.

Menyusul kemudian pada 28 September sebuah mobil Suzuki Carry pick up bernomor Polisi DD 8624 CT ditemukan di dalam jurang sedalam 30 meter di Desa Masewe, Taripa,Pamona Selatan. Pengemudianya Arham Badarudin (32 thn) & kondektur Wandi (17 thn), yang berasal dari Masamba, Luwu, Sulawesi Barat hilang. Keduanya baru ditemukan pada 7 Oktober telah menjadi mayat. Mereka ternyata menjadi korban pengeroyokan sekelompok warga di Taripa yang tidak puas atas eksekusi Tibo, dkk.

Dan kekerasan pun belum berhenti, sehari sesudah ditemukan mobil di dasar jurang tersebut, pada 29 September tiga mobil milik Polisi di Taripa dibakar massa.

Setelah itu berentetan teror terus terjadi di Poso. Sampai kemudian pada 16 Oktober 2006, sekitar pukul 08.00 WITA, warga Sulawesi Tengah terguncang. Sekretaris Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Pendeta Irianto Kongkoli ditembak orang tidak dikenal di Jalan Robert Wolter Monginsidi, Palu Selatan di depan Toko Sinar Kasih. Pendeta penganjur damai itu langsung tewas di tempat.

Sulawesi Tengah pun berduka. Seluruh Umat Kristiani lalu mengibarkan bendera setengah tiang tanda berduka.

Kekerasan demi kekerasan seperti menemukan pemicu baru. Sampai kemudian 22 Oktober 2006, patroli Polisi dari Kesatuan Brigade Mobil bentrok dengan warga Kelurahan Gebangredjo. Saat itu, sebanyak 14 anggota Polisi terjebak di antara desingan peluru. Tak lama kemudian ratusan warga setempat mendatangi dan melempari pos itu. Situasi menjadi kacau balau di antara desingan peluru dan hantaman batu.

Belasan Polisi itu pun terpaksa mesti meminta bantuan melalui pesawat handy talky. Lalu sekitar 1 Satuan Setingkat Kompi Brimob Bawah Kendali Operasi Polres Poso dari Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat pun didatangkan. Mereka datang mengendarai baracuda, kendaraan lapis baja modifikasi milik Polri. Evakuasi pun dilakukan. Sejumlah anggota Polisi pun mengeluarkan tembakan beruntun.

Akibatnya, Syaifuddin alias Udin tewas diterjang peluru anggota Brimob, sementara Muhammad Rizky dan Maslan terluka parah diterjang timah panas pasukan elit Polri itu. Suasana pun makin memanas hingga dinihari. Beruntung sahur memutus amarah warga. Besok harus melaksanakan ibadah puasa lagi.

Suasana lalu kembali tenang, sebab suasana Idul Fitri mendinginkan hati.

Ternyata peristiwa demi peristiwa yang terjadi sepanjang tahun membuat gerah Wakil Presiden Yusuf Kalla. Ia pun mengusahakan bertemu dengan sejumlah tokoh Islam dan Kristen di Gubernuran Siranindi, Palu, Sulawesi Tengah. Banyak hal yang dibicarakan. Ada beberapa hal penting bisa menjadi catatan. Sebelumnya, pernyataan Kalla agar Polisi menangkap teroris di Poso memantik kecaman. Sebab lagi-lagi Kalla melihat kelompok tertentu di Poso terlibat dalam aksi kekerasan itu.

Soalnya Kalla pernah menuduh Ustadz Adnan Arsal, pimpinan Pondok Pesantren Amanah Poso mengetahui siapa pelaku mutilasi tiga siswi SMU Kristen GKST Poso pada 29 November 2005. Tentu saja Adnan berang dituding seperti itu. Makanya ketika Kalla
mengeluarkan statemen seperti itu, mata semua orang pun menohok Adnan yang jauh-jauh hari sudah mengeluarkan bantahan dirinya terlibat dalam aksi-aksi kekerasan itu. Sebab menurutnya pesantrennya hanya mengajarkan kurikulum yang berbasis pada kurikulum pendidikan agama dari Departemen Agama Republik Indonesia.

Kenyataan memang sejumlah pelaku teror memang terkait dengan Ustad Adnan. Ia bahkan mengakui pernah mendidik mereka.

Bahkan 29 buronan kasus terorisme di Poso dan Palu yang dikeluarkan Mabes Polri pun rata-rata mengenal Ustad Adnan. Tapi Polisi sendiri tidak pernah bisa membuktikan keterlibatan Ustad Adnan.

Usai pertemuan itu sebuah tim pencari fakta diturunkan ke Poso. Sayang hingga kini laporannya tak kunjung diketahui masyarakat. Padahal teror demi teror masih terjadi di Poso.

Pada awal Desember dua bom yang kembali meledak di Stadion Kasintuwu, Poso Kota kian menegaskan bahwa teror memang belum berhenti, Pak Ucup (sapaan wapres Jusuf Kalla—red)

Karena itu, Polisi benar-benar khawatir. Meski tentu saja tidak berharap kekerasan di Poso akan kembali menelan korban, namun tak kurang dari 5000 personil aparat keamanan disiagakan menjelang Natal 25 Desember dan Tahun Baru 1 Januari 2007 serta Idul Adha 31 Desember 2006.

Kepala Polda Sulteng Brigjen Pol Badrodin Haiti menyatakan bahwa Poso dan Palu menjadi pusat pengamanan mengingat teror dan kekerasan yang terjadi di dua kota penting di Sulawesi Tengah ini.

“Kita menyiagakan dua pertiga kekuatan untuk pengamanan ketiga peringatan keagamaan itu. Jumlahnya tidak kurang dari 5000 personil gabungan Polri dan TNI untuk mengantisipasi gangguan keamanan yang bisa saja terjadi. Dan jumlah itu dirasakan cukup, jadi tidak ada penambahan pasukan lagi,” urai Badrodin.

Sekadar menjadi catatan, saat ini, sekitar 5000-an aparat keamanan telah menyebar di berbagai titik rawan keamanan di Poso. Untuk satuan kepolisian saja, sekitar 2000-an personil organik berada di Poso. Ini diluar pasukan BKO (Bawa Kendali Operasi) Brimob yang dimobilisasi menjelang eksekusi Tibo CS lalu, dan pasca kejadian Bom dan kosentrasi massa di Kelurahann Sayo, 30 September 2006 pekan lalu. Terhitung, saat ini ada 10 Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau sekitar 1000-an Brimob, dari berbagai daerah berada di Poso. Termasuk dari Kelapa Dua Depok, Sat Brimobda Sulut dan Kalimantan Timur.

Sebaliknya, dari TNI AD terdapat 1.362 personel. Rinciannya, personel dari Kodim 1307 Poso sebanyak 208 orang, dari Yonif 714/Sintuwu Maroso 578 orang, Kompi senapan B Yonif 711/Raksatama 106 orang, Batalyon Kavaleri 10/Serbu Kodam VII/Wirabuana 400 orang, dan dari Tim Sandi Yudha Kopassus 12 orang. Hal ini di luar rencana akan mendatangkan 2 batalyon BKO lagi ke Poso. Ditambah dengan satu Batalyon Zeni Tempur yang didatangkan untuk membantu pembangunan lebih dari 1000 unit rumah tinggal sederhana bagi korban konflik Poso.

Saat ini juga Polres Poso mengaktifkan sekitar 50 pos keamanan, termasuk Pos Polisi Masyarakat yang melibatkan tidak kurang dari 2302 personil gabungan TNI dan Polri.

Akankah Natal, Tahun Baru dan Idul Adha di pengujung tahun ini berlangsung dalam kedamaian? Kita semua harus mengupayakannya dan tentu saja itu tugas Polisi.***

Friday, December 01, 2006

Menag Nilai Kondisi Poso Kondusif

Poso - Menteri Agama (Menag) M Maftuh Basyuni menilai kondisi Kota Poso, Sulawesi Tengah dalam keadaan kondusif. Namun akan berantakan lagi jika tidak dipelihara.

Demikian disampaikan Menag M Maftuh Basyuni saat membuka Kemah Pemuda Lintas Agama dan Gelar Budaya Kabupaten Poso, Jumat (1/12) siang di Poso. Di depan ratusan pemuda Poso dari berbagai agama Maftuh menyatakan perkemahan itu untuk menyatukan hati pemuda Poso yang tercerai-berai oleh konflik.

"Saya senang kondisi Kabupaten Poso kini kondusif. Tetapi kondisi yang menguntungkan ini bisa jadi berantakan lagi kalau tidak ada keinginan kita untuk memeliharanya," kata Maftuh.

Gubernur Sulteng HB Paliudju pada kesempatan sama menyatakan keyakinannya perkemahan tersebut mampu menumbuhkan rasa persaudaraan, kebangsaan dan persatuan di kalangan pemuda Poso.

"Saat ini masyarakat Poso memasuki fase kehidupan pasca-konflik dan sudah banyak belajar bahwa konflik hanya membawa kesengsaraan," kata Mayor Jenderal Purnawirawan TNI AD tersebut.

Anggota Komisi VIII DPR RI Agung Saksono, anggota DPD RI Faisal Mahmud, Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Kristen Jason Lasse, Dirjen Bimas Katholik Stef Agus, Dirjen Hindu Yudha Triguna, Dirjen Budha Budi Setyawan turut menghadiri perkemahan ini. Selain itu, tentu saja juga dihadiri oleh Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal Badrodin Haiti, para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat Poso.

Untuk diketahui, saat ini tidak kurang 1.600 aparat kepolisian dari Polres Poso bersiaga di berbagai titik rawan dalam kota ditambah 900 pasukan BKO (bawah kendali operasi) dari Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan dan Mabes Polri, Jakarta.***

Korupsi Dana Pengungsi Poso, Bekas Gubernur Sulteng Disidang

Palu - Bekas Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Prof Aminuddin Ponulele, Rabu (29/11/2006) menjalani persidangan perdana di Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah. Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi dana trasportasi pemulangan pengungsi Poso sebesar 1,2 miliar pada tahun 2001 lalu.

Persidangan yang dibuka untuk umum ini diketuai oleh Majelis Hakim Faturrahman SH dan empat hakim anggota, yakni Efendi SH, Ibrahim Palino SH, Arisboko SH dan Pranoto SH. Agenda sidang yang digelar hari ini adalah pembacaan dakwaan oleh tim Jaksa Penuntut Umum yang ketuai oleh Rusdia Tangdilintin SH.

Bekas gubernur Sulteng itu didakwa dengan dakwaan primer pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Jonto pasal 18 ayat (1) Huruf b, ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 31 tahun 1999, diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Junto pasal 55 ayat (1) ke 1, Junto pasal 64 ayat (1) KUHP, tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi. Sedangkan dakwaan Subsider pasal 3 Junto pasal 18 ayat (1) Huruf b ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Junto pasal 55 ayat (1) ke 1 pasal 64 ayat (1) KUHP.

Bekas gubernur Sulteng dinilai telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan ataupun sarana yang ada. Termasuk juga karena jabatan atau karena kedudukan selaku ketua Satkorlak. Dan dalam kesimpulan hukum perbuatan tersebut adalah tidak sesuai dengan petunjuk operasional penangggulangan bencana sosial Sulteng tahun anggaran 2001. Dan telah merugikan negara sebesar Rp 1,258.750.000 milyar.

Dakwaan setebal 10 halaman itu dibacakan secara bergantian. Dalam persidangan yang berlangsung satu jam itu, pihak penasehat hukum Aminuddin Ponulele akhirnya mengajukan eksepsi. Eksepsi ini diajukan oleh Tim Penasehat Hukum Aminuddin Ponulele karena dalam dakwaan JPU banyak terdapat kelemahan-kelemahan.

Sidang dengan pembacaan eksepsi akan dilajutkan Selasa (5/12/2006) pekan depan.

Wednesday, November 29, 2006

Masyarakat Tidak Bantu TNI, Pembangunan Rumah Pengungsi Poso Terhambat

Poso - Pembangunan 1009 unit rumah tinggal sementara (RTS) yang diperuntukan bagi korban konflik Poso, Sulawesi Tengah masih teradang sejumlah kendala. Saat ini baru sekitar 20 persen target pembangunan yang bisa tercapai padahal waktu pengerjaannya sudah lebih dari dua pekan. Sementara Pemerintah Pusat memberikan target 1009 unit RTS itu sudah bisa terbangun seluruhnya pada Desember mendatang.

Demikian disampaikan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Poso Drs Amirullah Sia saat dihubungi Kamis (30/11). Menurutnya, 20 persen rumah yang tengah dikerjakan pihak Batalyon Zeni Tempur TNI AD tersebut, secara fisik rata-rata baru mencapai 70 %. Padahal, sesuai target yang diberikan pemerintah, pembangunan 1009 unit itu harus selesai Desember mendatang.

"Banyak kendala yang dihadapi dilapangan. Mulai dari lambatnya izin Menhut, hingga kepersoalan tenaga kerja," ujar Amirullah, menjawab SH terkait lambatnya pembangunan RTS tersebut.

Salah satu kendalanya adalah tenaga kerja di lapangan. Masyarakat yang semula diharapkan membantu TNI justru tidak mau melibatkan diri dalam proyek pengembangan rumah buat korban konflik Poso itu. "Masyarakat yang diharapkan akan membantu TNI dalam membangun RTS justru sulit didapatkan. Masyarakat lebih memilih kerja proyek diluar, ketimbang ikut bekerja membangun RTS," kata Amirullah.

Padahal, rencana semula selain melibatkan delapan anggota TNI dan penerima RTS dalam setiap pembangunan satu unit rumah juga akan melibatkan sedikitnya 10 anggota masyarakat.

Selain tenaga kerja, keterlambatan tibanya bahan bangunan di lokasi juga menjadi alasan lambatnya pekerjaan. " Sudah seminggu rumah ini berdiri, tapi batako, semen, dan pasirnya belum ada," kilah seorang warga penerima RTS.

Meski target dari Pemerintah Pusat dipastikan tidak akan tercapai, pihak Dinkessos Poso yakin hal tersebut dapat dimengerti karena kendala di lapangan.***

Saturday, November 25, 2006

Keluarga 26 Buronan Terorisme Poso akan Lawan Polisi

Poso - Rencana polisi menangkap 29 DPO (daftar pencarian orang) kasus kekerasan di Poso bakal mendapat perlawanan. Keluarga dari para buronan polisi itu berkumpul dan menyatakan siap melakukan perlawanan. Mereka akan membela mati-matian keluarga mereka jika Polisi melakukan penangkapan. Untuk diketahui, Selasa (7/11) hari ini adalah batas akhir yang diberikan agar para DPO tersebut menyerahkan diri sebelum Polisi melakukan tindakan represif.

Bagaimana dengan tanggapan pihak keluarga. Sejumlah keluarga DPO
menyatakan akan melawan Polisi jika melakukan penangkapan.

“Siapa yang mau menyerahkan mereka ke polisi. Kita tidak mau menyerahkan. Nyawa taruhannya. Lebih baik berkumpul dengan mayat daripada harus menyerahkannya ke polisi,” kata Ny Jamilah, warga Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso Kota yang anaknya Irwan Asafa yang dituduh membunuh wartawan Poso Post I Wayan Sumariyase.

Seperti diberitakan, polisi sudah mengumumkan 29 DPO yang dituding terlibat dalam serangkaian aksi kekerasan di Poso. Kekerasan itu merupakan buntut konflik komunal antara dua komunitas di bumi Sintuwo Maroso tersebut.

Di antaranya pembunuhan I Wayan Sumariyase, bendahara GKST Drs Orange Tadjoja, pembunuhan Kepala Desa Pinedapa Carminalis Ndele, penembakan jaksa Ferry Silalahi dan mutilasi terhadap tiga siswa SMK Kristen Poso. Nama-nama DPO itu muncul atas hasil penyidikan terhadap 15 pelaku kekerasan di Poso yang sudah tertangkap terlebih dulu.

Sebelumnya, polisi menyatakan bahwa beberapa tokoh Islam Poso bersedia menyerahkan 29 DPO tersebut. Namun ini dibantah H. Adnan Arsal, salah seorang tokoh Islam. Adnan mengaku pihaknya tidak pernah menjanjikan penyerahan 29 DPO itu, melainkan hanya bersedia menjadi mediator untuk mencarikan jalan tengah terhadap rencana penangkapan tersebut.

Polisi kemudian sempat menyebutkan deadline seminggu kepada para DPO itu untuk menyerahkan diri. Baik menyerahkan diri langsung maupun diantar tokoh masyarakat. Bila deadline itu ditepati, maka hari ini batas akhir deadline dan polisi mengancam akan melakukan penangkapan.

Para keluarga DPO itu sudah bersepakat menentang rencana penangkapan polisi. Meski mereka sendiri sampai sekarang mengaku tidak tahu di mana keberadaan para keluarganya yang tercatat dalam daftar buron polisi.


Sebut lagi Ny Iis. Dia tidak terima anaknya yang bernama Amrin alias Aat masuk DPO dengan tuduhan terlibat dalam pengeboman di Pasar Tentena. Sebab, katanya, saat kejadian anaknya ada di rumah kakaknya.

“Anak saya masuk dalam daftar buronan. Saya tidak terima. Padahal saat bom Tentena meledak dia sedang main play station di rumah kakaknya,” tutur Iis.

Senada dengan Iis , Ny Munfiatun juga menentang rencana penangkapan polisi terhadap suaminya, M. Nasir, yang dituduh terlibat perampokan. Sebab, katanya, saat terjadi perampokan, suaminya sedang salat di rumah.

“Kami ini sudah susah. Rumah kami dibakar. Keluarga kami ada yang dibunuh. Sekarang semuanya sudah tenang, suami saya dikejar-kejar. Sejak dijadikan buron, suami saya menghilang dan tidak pernah pulang sampai sekarang. Masya Allah,” ucapnya sambil mengusap air matanya yang meleleh.

“Kami melihat bahwa penetapan DPO ini hanyalah upaya polisi untuk mengalihkan kasus penyerangan di Tanah Runtuh yang menewaskan seorang warga sipil. Juga sebagai upaya legitimasi aparat karena tidak mampu memberi rasa aman,” sambung Yunus Ghofur yang dua cucunya juga diburu Polisi

Bagaimana jaminan polisi yang tidak akan menganiaya dan mempermudah akses bertemu jika para DPO itu ditangkap? Mereka pun tidak percaya.

“Kita tidak ingin seperti yang sudah terjadi. Ditangkap dan digebuki. Malah ada yang setelah digebuki dilepas karena tidak terbukti. Padahal kondisinya sudah babak belur,” kata Ny Rusmin.

Menurut para keluarga DPO itu, polisi dinilai masih belum adil dalam menangani kasus di Poso. Mereka menyebut sampai sekarang polisi juga belum menindaklanjuti dugaan keterlibatan 16 nama yang disebut Tibo dalam serangkaian aksi kekerasan di Poso.***

Pedagang Ikan asal Masamba Dibunuh karena Tibo cs

Palu-Setelah mengungkap pelaku aksi kekerasan di Poso, Polisi kembali mengungkap motif pembunuhan 2 pedagang ikan asal Masamba Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan, Arham Badaruddin dan Rendi Rahman 23 September Lalu.

Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjenpol Anton Bachrul Alam kepada wartawan mengatakan berdasarkan pengakuan para tersangka terungkap bahwa motif pembunuhan tersebut dikarenakan tidak puas atas eksekusi Tibo CS. Para tersangka menganggap eksekusi itu tidak adil.

Oleh karena itu mereka kemudian menggelar razia yang berbuntut pada pembunuhan terhadap dua pedagang ikan yang mengendarai mobil Carry Pick Up biru bernomor polisi DD 8624 CT yang melintasi Jl Trans Sulawesi di Desa Taripa Kecamatan Pamona Timur.

Dari hasil penyidikan dan pemeriksaan terhadap 17tersangka pengeroyokan dalam aksinya mereka mendatangi rumah salah satu warga dimana kedua korban berusaha menyelamatkan diri namun para tersangka tetap nekad mendatangi dan menyeret korban ke luar rumah lalu dikeroyok beramai-ramai.

Tak hanya itu, polisi juga membeberkan peran masing-masing tersangka Edwin Poima menebas leher korban, Roni, Fernikson, Darman, Dedi Dores, Agus Chandra, Syaiful memukul korban, Erosman Tioki menyuruh membunuh dan memukul, Walsus Alphin memindahkan mobil dan memukul korban, Jepri pemilik golok untuk menebas korban dan Benhard mencegat mobil.

Sementara Sastra Yudha berperan menjemput korban dari rumah Mamanus, Romi Parusu memukul dan menguburkan korban, Arnoval menggali lubang korban, Jonathan menunjukkan lokasi kuburan dan menyeret korban, Bambang menguburkan korban dan Hafri Tumonggi menodongkan senpi ke arah korban.

Semua tersangka yang kini berada di tahanan Mapolda Sulteng setelah berhasil diringkus oleh Detasemen khusus 88 Mabes Polri segera membawa berkas para tersangka ke Kejaksaan karena telah terbukti melakukan pengeroyokan hingga menewaskan dua pedagang ikan tersebut. Anton juga mengatakan para tersangka dijerat pasal 170 jo 338 KUHP dengan ancaman hukuman selama 15 tahun penjara

Menurut Anton keberhasilan pengungkapan kasus tersebut selain kerja keras yang dilakukan oleh kepolisian juga atas peran serta tokoh agama dan masyarakat setempat," kami juga berterima kasih kepada Bupati Poso maupun keluarga tersangka yang telah bersedia menyerahkan para tersangka," ujarnya.***

Warga Poso Ditemukan Tewas Membusuk di Kebun Kakao

Poso – Warga Poso kembali dikejutkan dengan penemuan sesosok mayat di perkebunan kakao rakyat di Desa Toyado, Kecamatan Lage, Poso, Kamis (16/11/2006) sekitar pukul 09.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA).

Mayat tersebut diketahui bernama Karel Membuke, berusia 85 tahun dan beragama Kristen Protestan. Ia dilaporkan hilang dari rumahnya Kamis (9/11/2006) lalu. Ia baru ditemukan Kamis pagi dalam keadaan mengenaskan. Tubuhnya telah membusuk dan dipenuhi ulat.

Menurut Kepala Desa Toyado, Idul Bunando, setelah menemukan jenazah kakek tersebut mereka kemudian melaporkan temuannya ke Polres Poso. Tidak berapa lama kemudian, tim medis dari Polres Poso datang ke tempat kejadian perkara dan mengevakuasi jenazah Karel.

“Memang ia dilaporkan hilang sejak Kamis lalu oleh istrinya. Katanya, saat itu dia melarang Opa Karel pergi memancing karena ombak besar. Ia lalu marah dan memotong tali pancingnya, kemudian langsung pergi. Nah, sejak saat itu Opa Karel tidak pernah kembali lagi ke rumah,” tutur Idul.

Sementara itu, usai dievakuasi jenazah Opa Karel diotopsi. Namun Polisi belum memberikan keterangan terkait soal ini. Dugaan sementara Opa Karel meninggal karena kelaparan. Ia juga diduga tidak lagi bisa menemukan jalan pulang karena jarak antara kebun kakao itu dengan rumahnya sekitar 1 kilometer.***

Polisi Lepas Tersangka Teroris Poso

Palu - Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah akhirnya melepaskan Udin alias Andi Bocor, salah seorang tersangka terorisme Poso. Polisi menilai Ia kooperatif dan tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan selama dan penyidikan.

Kepastian dilepaskannya salah seorang tersangka terorisme ini disampaikan oleh Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam yang dihubungi SH, Sabtu (18/11) pagi.

Anton menyatakan bahwa Andi Bocor dilepaskan dari tahanan karena dinilai kooperatif, mau bekerja sama dengan Polisi.

"Ia bukan dilepaskan dari kasus yang kita sangkakan kepadanya sebagai salah seorang tersangka penembakan di Landangan, kita hanya tidak mengenakan penahanan karena dia kooperatif, mau bekerja sama dengan Polisi," jelas Anton yang saat ini berada di Poso.

Anton juga menyampaikan bahwa Polisi tidak akan mempersulit tersangka maupun keluarganya selama mereka beritikad baik membantu Polisi. Itu juga membantah kekhawatiran banyak kalangan bahwa Polisi akan melakukan pelanggaran HAM dalam menangani kasus yang melibatkan 29 DPO Mabes Polri tersebut.

Menurut Anton, Andi dilepaskan dari tahanan atas jaminan Daeng Raja, salah seorang tokoh Muslim Poso.

Untuk diketahui, Andi Bocor diduga memberikan Pistol jenis FN kepada Anang untuk menghabisi Asrin Ladjidi (34), seorang informan Polisi pada Kamis (29/9/2005) lalu di Landangan, Poso.***

Friday, November 03, 2006

Polisi Buru BSR Tersangka Mutilasi Tiga Siswi SMU Kristen Poso

Palu – Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia sampai saat ini masih mengejar BSR, seorang lelaki asal Poso, Sulawesi Tengah. Lelaki itu diduga sebagai tersangka pelaku mutilasi tiga siswi Sekolah Menengah Umum Kristen Gereja Kristen Sulawesi Tengah di Poso pada Sabtu (29/10/2005) tahun silam lalu.

Lelaki berinisial BSR itu diketahui dari pengakuan Hasanudin, Haristo, dan Irwanto Irano, tiga tersangka lainnya yang kini ditahan di Mabes Polri sejak Mei 2006 lalu. Menurut mereka, BSR adalah salah seorang eksekutor dalam aksi mutilasi yang menewaskan Alvita Polowiwi (19), Yusriani Sampoe (15) dan Theresia Morangke (16).

Berdasarkan keterangan ketiga orang yang ditangkap di Tolitoli, Sulawesi Tengah pada Mei 2006 lalu itu, Densus kemudian memburu BSR ke Poso, Sulawesi Tengah.

Saat ini, Polisi sudah berusaha mendekati sejumlah tokoh agama di Poso, semisal Ustadz Mohammad Adnan Arsal. Ustad Adnan selama ini memang dikenal sebagai tokoh sentral yang memiliki keterkaitan dengan sejumlah tersangka aksi kekerasan di Poso semisal ketiga orang tadi serta juga Ipong dan Yusuf yang kini perkaranya tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Itu karena Ustads Adnan adalah pimpinan Pondok Pesantren Amanah yang terkenal di Poso pasca kerusuhan Poso tahun 2000. Pada beberapa kesempatan Ustadz Adnan mengakui mengenal para tersangka itu secara pribadi.

“Karena saya yang mendidik mereka pengetahuan agama. Tapi saya tidak mengajarkan mereka tentang kekerasan dan sebagainya,” ungkap Adnan.

Nah, karenanya tim Densus 88 terus berusaha mendekati Adnan agar BSR dapat menyerahkan diri secara sukarela, sebelum diambil tindakan tegas sesuai hukum yang berlaku.

Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Anton Bachrul Alam memberi waktu sepekan bagi BSR dan puluhan tersangka terorisme lainnya untuk menyerahkan diri. Sabtu (4/11/2006) terhitung tinggal lima hari lagi sebelum Polisi mengambil tindakan tegas atas ke-29 tersangka teroris termasuk BSR itu.

“Kami sudah mengupayakan pendekatan kekeluargaan agar mereka bisa menyerahkan kepada kami untuk mempercepat proses hukum,” kata Anton.

Sumber intelijen Kepolisian membeberkan sebagian besar tersangka yang kini dikejar Densus 88 itu dekat dengan Ustadz Adnan Arsal dan pernah dididik di Pesantren Amanah.

Untuk diketahui, saat ini, untuk memasuki kompleks Pesantren Alamanah, Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Redjo, Poso Kota kita harus mengantongi izin dari Ustadz Adnan Arsal.

Beberapa wartawan sempat lolos dan melakukan peliputan namun beberapa lainnya harus pulang menggigit jari, karena ketatnya pengawasan.

Dari penelusuran, ternyata pesantren yang disamakan Wakil Presiden Yusuf Kalla dengan pesantren Al Islam Ngruki, Jawa Tengah, ini berisi 16 santri putri, 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kanak dan 65 orang santri putra seusia anak-anak sekolah menengah pertama alias abege.

Pesantren ini didirikan tanggal 4 Mei 2001 untuk menampung mantan santri Pesantren Walisongo, di Kilo 9 Lage, Poso, yang dibakar dan sekitar 200 santrinya dibunuh para perusuh dalam konflik Poso Mei 2000.

Saat ini, pesantren Amanah berdiri di dua lokasi berbeda. Pesantren Amanah di Tanah Runtuh menjadi tempat belajar 16 santri putri dan 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kana. Lalu yang satu lagi di Landangan, Poso Pesisir yang menjadi tempat belajar 65 santri putra.

Tidak ada kegiatan lain yang mencolok dari para santri kecuali belajar agama. Pengajaran agamanya disesuaikan dengan kurikulum nasional. Adapun pengajian kitab kuning dilaksanakan di luar jadwal jam pelajaran sekolah.

Memang kini pesantren itu terkesan tertutup dari orang luar. Itu terjadi lantaran setiap peristiwa kekerasan terjadi di Poso, pesantren ini selalu menjadi sasaran penggeledahan polisi. Makanya, mereka terkesan sangat berhati-hati menerima tamu. Sebab polisi yang biasa datang selain memakai seragam juga ada yang tidak.***

Tim Investigasi Tanah Runtuh Berdarah mulai Bekerja

Palu - Tim investigasi yang dibentuk sebagai rekomendasi dari pertemuan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan warga Islam di Palu (29/10) lalu, mulai Kamis (2/11) telah melakukan sejumlah pertemuan di Palu. Pertemuan pertama dengan Gubernur dan unsur Muspida Provinsi Sulawesi Tengah, selanjutnya bertemu dengan pihak kepolisian untuk mendengarkan paparan yang disampaikan Kapolda Sulteng, Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti.

Pada pertemuan yang berlangsung di Tanjung Karang Room Palu Golden Hotel Kamis (2/11) siang itu Kapolda Sulteng memaparkan bahwa kasus Tanah Runtuh itu tidak akan terjadi, jika warga tidak menyerang polisi. Saat itu polisi panik dan kewalahan sehingga membuang tembakan peringatan ke udara dan meminta bantuan tambahan pasukan dari Polres Poso.

"Anggota polisi terdesak, karena setelah warga membunyikan tiang listrik, tiba-tiba ratusan orang datang dan menyerang polisi," terang Kapolda.

Harun Nyak Itam Abu, salah seorang tim investigasi yang dibentuk kelompok Islam Tanah Runtuh, menyatakan warga tidak menyerang polisi, tapi sebaliknya polisi yang menyerang warga. Buktinya, sebelum terjadi peristiwa itu, sejak sore harinya polisi telah menyebar di sejumlah titik di sekitar Pesantren Amanah.

"Mereka masuk dari sejumlah arah. Bahkan ada yang sudah siap di atas bukti dan menembak ke arah warga," kata Harun Nyak Itam Abu yang juga korban kerusuhan Poso, Rabu (1/11) malam.***

Kantor Gubernur Sulteng Diteror Bom

Palu – Aksi teror bom kembali marak di Palu, Sulawesi Tengah. Jumat pagi (3/11) ini, giliran Kantor Gubernur Sulawesi Tengah di Jalan Sam Ratulangi, Palu Timur yang mendapat teror bom. Tak ayal teror ini membuat panik para Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di kantor pemerintah ini. Benda yang diduga bom itu diletakan dalam sebuah kotak plastik di depan pintu keluar kantor ini.

Benda ini pertama kali dilihat oleh seorang Bintara Polisi yang kebetulan lewat di belakang Kantor Gubernur. Ia kemudian melaporkan melihat sebuah benda yang mencurigakan di dekat pintu keluar kantor pemerintah ini.

Tidak berapa lama, tim Penjinak Bahan Peledak (Jihandak) Polda Sulteng tiba dan segera mengamankan tempat kejadian perkara (TKP). Setelah melakukan foto X-Ray diketahui benda tersebut terdiri dari rangkaian kabel, baterei kering yang diletakan dalam wadah plastik.

Untuk memastikan keamanannya, tim Jihandak pun melakukan disposal (peledakan-red) pada benda yang diduga bom tersebut.

Kepala Kepolisian Resor Kota Palu AKBP Atrial menyatakan bahwa rangkaian bom tersebut tidak lengkap karena tidak ada bahan peledaknya. Pelaku dipastikan hanya ingin menebar teror. Ini diduga terkait dengan kunjungan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah ke Palu dan Poso.

“Setelah didisposal tadi diketahui, bahwa benda yang semula diduga bom aktif itu hanya terdiri dari rangkaian kabel, baterei kering di dalam wadah plastik. Sementara bahan peledaknya nihil,” kata Atrial.

Setelah dinyatakan aman, para Pegawai kembali dipersilahkan untuk bekerja seperti biasanya.***

Densus 88 Tangkap 15 Pelaku Aksi Terorisme, 29 Masih Buron

Poso – Kepolisian Republik Indonesia menyatakan telah menangkap 15 warga di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah. Mereka terlibat dalam sejumlah aksi-aksi terorisme di kedua wilayah itu sejak tahun 2001-2006 ini. Mereka dinyatakan terlibat dalam 13 kasus besar berupa peledakan bom maupun penembakan misterius. Namun puluhan lainnya masih belum tertangkap dan dimasukan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Anton Bachrul Alam, Selasa malam (31/10/2006) di Kantor Kepolisian Resor Poso di Jalan Pulau Sumatera, Poso Kota.

Menurut Anton ke-15 orang itu terlibat dalam serangkaian aksi-aksi terorisme di Palu dan Poso, Sulawesi Tengah. Mereka terlibat dalam antara lain dalam peledakan bom di Pasar Sentral Poso yang menewaskan 4 orang, peledakan bom di Pasar Tentena yang menewaskan 22 orang, penembakan Pendeta Susianti Tinulele, peledakan bom di Gereja Immanuel Palu dan pembunuhan wartawan Poso Post I Wayan Sumariyase. Selain itu, Detasemen 88/Antiteror Mabes Polri dan Densus 88 Polda Sulteng masih mengejar 29 pelaku lagi dimasukan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Dua orang yang paling dicari-cari oleh Polisi adalah Basri dan Wiwin, mereka diduga terlibat Mutilasi 3 siswi SMU Kristen GKST Poso dan peledakan bom di Tentena pada 28 Mei 2004 lalu.

“Mereka ini berasal dari kelompok mujahiddin Tanah Runtuh, Poso dan kelompok Kayamanya atau kelompok Kompak,” kata Anton.

Mereka yang berasal dari Kelompok Tanah Runtuh adalah Hasanudin, Abdul Haris, Irwanto Iriano, Poniran alias Andi Ipong, Yusuf Asapa, Rahmat, Sudirman alais Opo. Sementara dari Kelompok Kayamanya adalah Fadli Barsalim alias Opo, Yusman Said alias Budi, Syakur, Farid Ma’ruf, Yusman Sahad, Iswandi Maraf, Rusli Tawil dan Ifet.

“Mereka itu ketika ditangkap memiliki senjata Revolver, M-16. UZI dan FN,” tambah Anton.

Khusus Hasanudin, Abdul Haris dan Irwanto Iriano dalam penyelidikan di Mabes Polri telah mengaku sebagai pelaku mutilasi 3 siswi SMU Kristen GKST Poso, Yarni Sambue, Alfita Polowiwi dan Theresia Morangke pada 29 Oktober 2005 silam. Saat ini sebagian besar mereka masih diperiksa intensif di Mabes Polri. Adapun Ipong dan Yusuf, pelaku pembunuhan I Wayan Sumariyase sudah pada tahapan pengadilan.

Sementara itu, terkait bentrok warga Tanah Runtuh dan Brimob sampai saat ini tim investigasi Kepolisian yang juga melibatkan Propam Mabes Polri telah memeriksa 6 orang anggota Brimob dan 6 orang warga.***

Pemerintah Bangun 1009 Rumah untuk Pengungsi Poso

PALU--- Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Jumat, pagi, 3 November ini akan melakukan peletakan batu pertama bagi rehabilitasi dan pembangunan kembali ribuan rumah bekas eks pengungsi yang rusak ketika kerusuhan sejak 1998 di Kabupaten Poso dan Tojo Una-una, Sulawesi Tengah.

Bersama KASAD TNI, Jenderal Djoko Sutanto, Bachtiar yang didampingi Gubernur Sulteng, HB Paliudju akan meletakan batu pertama pembangunan 1009 rumah. Pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp18,09 Miliar untuk program itu.

Rinciannya, jumlah rumah bagi pengungsi Poso akibat kerusuhan 1998 akan dibangun sebanyak 1.809 kk. Itu diperuntukkan bagi 900 kk yang berada di Desa Gebangrejo 317 kk, Desa kayamanya 27 kk, Desa Kawua 32 kk, Desa Mapane 65 kk, Desa silanca 73 kk, Desa Pamona 351 kk, Desa Petirodongi 35 kk.

Lalu, di Kabupaten Tojo Una-Una (wilayah pemekaran Poso—red) diperuntukkan bagi 909 kk, yang terdiri dari Desa Matako 327 kk, Desa Galuga 143 kk, Desa Tanamawu 72 kk, Desa Malewa 140 kk, Desa Korondoda 127 kk, dan Desa Dataran Bugi 100 kk.

Pembangunan dan rehabilitasi rumah ini dilaksanakan oleh tidak kurang dari 600 personil TNI AD dari Detasemen Zeni Tempur (Zipur) Kodam VII Wirabuana.

Mensos menyatakan Depsos memilih bekerjasama dengan TNI untuk program ini karena berbagai pertimbangan. Salah satunya, kata dia, bahwa ada beberapa pembangunan di daerah Indonesia yang tidak dapat dilakukan oleh pihak lain selain TNI.

Mensos tidak menyinggung sejumlah penyimpangan yang terjadi pada beberapa program pembangunan dan rehabilitasi Poso sejak tahun 2001 hingga tahun 2003, namun dia meminta tegas agar tidak penyimpangan itu tidak terjadi lagi.

“Saya tidak ingin terjadi lagi hal-hal yang tidak baik yang pernah terjadi. Sebab program ini akan terus dilaksanakan hingga 2007, dan dana program akan ada terus,” tandas mensos setibanya di Bandara Mutiara, Palu, Kamis, 2 November 2006.

Bachtiar juga mengatakan Wapres telah menyatakan akan menyediakan dana Rp50 Miliar. “Menkeu telah menanyakan hal itu kepada saya tentang dana Rp50 Miliar. Namun, belum dibahas apakah Dipa nya masuk ke Depsos atau ke dana bantuan Wapres langsung, masih dibicarakan,” ujarnya.

Gubernur Sulteng, HB Paliudju mengatakan pembangunan dan rehabilitasi ini seharusnya sudah dilaksanakan sejak tahun 2000. Namun karena berbagai kendala yang dihadapi, sehingga pembangunan untuk para eks pengungsi itu mengalami hambatan. Hingga muncul bakti sosial TNI.

“Harapan kami, pembangunan ini segera selesai, karena Pak Menteri tidak memindahkan masalah sosial ke TNI, saya kira tidak mungkin,” ujar Paliudju

Pembangunan Non Fisik
Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos, Chazali H Situmorang, menjelaskan bahwa alokasi anggaran Rp18,09 Miliar ini tidak hanya untuk pembangunan rumah tetapi juga beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Di antaranya pembiayaan yang diberikan langsung kepada warga eks pengungsi yang disebut Bantuan keserasian sosial korban bencana sosial /eks pengungsi. Jumlahnya, masing-masing Rp4 juta yang diberikan kepada 1809 kk. Total jumlahnya mencapai Rp7,23 Miliar.
“Setiap kk akan mendapat bantuan Rp4.juta yang diberikan dalam bentuk uang atau jenis lainnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masing-masing KBS,” ujar Chazali saat memaparkan rencana tersebut kepada mensos dan jajaran muspida Palu.

Selain itu, untuk pemberdayaan penguatan ekonomi eks pengungsi yang disebut Bantuan keserasian sosial KBS (korban Bencana Sosial) dan masyarakat lokal sebesar Rp5,6 juta dalam bentuk 1809 paket Total jumlahnya mencapai Rp10,27 Miliar.
“Dana digunakan bersama-sama oleh KBS/eks pengungsi dengan masyarakat lokal, untuk kepentingan bersama,” ujarnya.

Dana digunakan untuk kegiatan fisik maupun non fisik dengan mekanisme swakelola oleh kbs dan masyarakat local.

Untuk tahun 2007 disamping dana APBN, Poso masih akan menerima dana bantuan Bank Dunia berupa program keserasian sosial untuk 544 kk kbs sebesar Rp5,540 Miliar. “Diharapkan daftar nama dan alamat desa, pada awal Januari 2007 telah di sampaikan kepada depsos,” ujarnya.***

Mabes Polri Umumkan 29 Buronan Teroris Poso

POSO---Mabes Polri akhirnya mempublikasikan foto delapan dari 29 orang dimasukkan dalam daftar pencarian orang atau DPO dalam sejumlah aksi-aksi terorisme di Poso dan Palu. Polisi mengakui baru berhasil menemukan foto delapan orang dari ke-29 orang buronan itu yang kini tengah diburu.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Anton Bachrul Alam, di kantor Polres Poso, Jalan Pulau Sumatera, Poso kota. Ke-29 orang DPO ini berasal dari dua kelompok yakni 26 orang dari kelompok Tanah Runtuh dan tiga orang lainnya dari kelompok Kompak. Anton mengatakan Polisi telah mengetahui lokasi persembunyian para buronan ini.

Meski mengaku telah mengetahui lokasi persembunyiannya, namun Anton meminta kepada para DPO, agar secepatnya menyerahkan diri demi membantu percepatan proses hukum. Menurutnya, para DPO sebagian besar masih bersembunyi di wilayah Poso.

Anton menambahkan bahwa ke-29 orang yang kini ditetapkan menjadi DPO ini diperoleh dari hasil pengembangan penyidikan 15 tersangka, yang telah ditangkap dan ditahan sebelumnya dan kini menjalani proses hukum di Poso, Palu dan Jakarta. Kelompok ini diidentifikasi juga termasuk dalam kelompok Jamaah Islamiyah.

Polri sendiri telah mengeluarkan Surat Perintah penangkapan ke-29 orang ini. SP penangkapan ini ditandatangani Brigjen surya Dharma, Direktur I Bareskrim Mabes Polri.

Berikut nama-nama 29 daftar pencarian orang mabes polri:

Kelompok Tanah Runtuh:Basri, Wiwin Kalahe alias Tomo, Agus jenggot alias Boiren, Nanto alias Bojel, Iwan Asapa alias Ale, Ardin alias Rojak, Iin alias Brur, Amril Ngiode alias Aat, Yudi Parsang, Dedi Parsang, Kholik Syafaat alias Rusdi, Sanusi, Enal, Hamdara Tamil, Anang, Nasir, Ateng Mardjo, Yasin Lakita, Tugiran, Sarjono, Aii Lakita, Opi Bonesompe, Udin alias Andi Bocor, Wahono, Rijal, dan Taufik alias Upik.

Sementara itu, dari kelompok Kayamanya-Kompak yaitu, Alex, Zulkifli, dan Mujadib Brekele.***

Tuesday, October 31, 2006

Densus 88 Tangkap 15 Pelaku Aksi Terorisme, 29 Masih Buron

Poso – Kepolisian Republik Indonesia menyatakan telah menangkap 15 warga di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah. Mereka terlibat dalam sejumlah aksi-aksi terorisme di kedua wilayah itu sejak tahun 2001-2006 ini. Mereka dinyatakan terlibat dalam 13 kasus besar berupa peledakan bom maupun penembakan misterius. Namun puluhan lainnya masih belum tertangkap dan dimasukan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Anton Bachrul Alam, Selasa malam (31/10/2006) di Kantor Kepolisian Resor Poso di Jalan Pulau Sumatera, Poso Kota.

Menurut Anton ke-15 orang itu terlibat dalam serangkaian aksi-aksi terorisme di Palu dan Poso, Sulawesi Tengah. Mereka terlibat dalam antara lain dalam peledakan bom di Pasar Sentral Poso yang menewaskan 4 orang, peledakan bom di Pasar Tentena yang menewaskan 22 orang, penembakan Pendeta Susianti Tinulele, peledakan bom di Gereja Immanuel Palu dan pembunuhan wartawan Poso Post I Wayan Sumariyase. Selain itu, Detasemen 88/Antiteror Mabes Polri dan Densus 88 Polda Sulteng masih mengejar 29 pelaku lagi dimasukan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Dua orang yang paling dicari-cari oleh Polisi adalah Basri dan Wiwin, mereka diduga terlibat Mutilasi 3 siswi SMU Kristen GKST Poso dan peledakan bom di Tentena pada 28 Mei 2004 lalu.

“Mereka ini berasal dari kelompok mujahiddin Tanah Runtuh, Poso dan kelompok Kayamanya atau kelompok Kompak,” kata Anton.

Mereka yang berasal dari Kelompok Tanah Runtuh adalah Hasanudin, Abdul Haris, Irwanto Iriano, Poniran alias Andi Ipong, Yusuf Asapa, Rahmat, Sudirman alais Opo. Sementara dari Kelompok Kayamanya adalah Fadli Barsalim alias Opo, Yusman Said alias Budi, Syakur, Farid Ma’ruf, Yusman Sahad, Iswandi Maraf, Rusli Tawil dan Ifet.

“Mereka itu ketika ditangkap memiliki senjata Revolver, M-16. UZI dan FN,” tambah Anton.

Khusus Hasanudin, Abdul Haris dan Irwanto Iriano dalam penyelidikan di Mabes Polri telah mengaku sebagai pelaku mutilasi 3 siswi SMU Kristen GKST Poso, Yarni Sambue, Alfita Polowiwi dan Theresia Morangke pada 29 Oktober 2005 silam. Saat ini sebagian besar mereka masih diperiksa intensif di Mabes Polri. Adapun Ipong dan Yusuf, pelaku pembunuhan I Wayan Sumariyase sudah pada tahapan pengadilan.

Sementara itu, terkait bentrok warga Tanah Runtuh dan Brimob sampai saat ini tim investigasi Kepolisian yang juga melibatkan Propam Mabes Polri telah memeriksa 6 orang anggota Brimob dan 6 orang warga.***

Sunday, October 29, 2006

Setahun Mutilasi 3 Siswi SMU Kristen Poso Diperingati

Keluarga Minta Polisi Bekuk Pelaku Buron

POSO- Setahun peristiwa mutilasi terhadap tiga siswi SMK Kristen Poso Alfita Polowiwi, Theresia Morangke, dan Yarni Sambue, Minggu (29/10) kemarin diperingati dikampung halaman mereka, di Kel. Bukit Bambu (Buyumboyo, red) Kec. Poso Kota. Nampak hadir dalam peringatan tersebut seluruh keluarga dari ketiga korban dan masyarakat Bukit bambu.

Peringatan yang dilaksanakan mulai pukul 09.00 pagi witeng itu, dimulai dengan acara ibadah di gereja jema'at Zaitun Bukit Bambu yang dipimpin oleh Pdt. Rista Patigu. Sementara puncak acara peringatan setahun tragedi sadis yang menewaskan tiga perempuan AGB itu, dilaksanakan pada pukul. 15. 30 witeng dengan acara tabur bunga di kedua makam korban Alfita dan Theresia di pekuburan umum Bukit Bambu.

Menurut tokoh agama setempat YS. Lagimbana, walaupun satu diantara tiga korban yakni Yarni Sambuye dimakamkam di Tentena, namun oleh keluarga sepakat, puncak acara dilaksanakan di kampung halaman mereka. "semua keluarga dan jemaat Zaitun sepakat, peringatan di pusatkan di tempat tinggal korban sebelumnya (Kel. Bukit Bambu)," kata Lagimbana.

Selesai acara tabur bunga, salah satu korban selamat pada peristiwa mutilasi Noviana Malewa (17) kepada wartawan mengatakan harapannya, agar aparat kepolisian segera menangani dengan tuntas kasus ini. Ia juga meminta polisi untuk segera menagkap empat pelaku lainnya yang masih buron.

"Arwah ketiga teman saya tidak akan tenang sebelum semua pelaku ditangkap dan diadili sesuai perbuatannya," kata Novi, dengan meneteskan air mata.

Senada dengan Novi, Harinus Morangke (ayah Theresia Morangke) dan Nice Linkeka (ibu Alfita Poliwo) juga berharap, agar kempat orang tersangka yang masih buron, segera di bekuk. "Kami minta, empat dari tujuh tersangka pembunuh anak kami segera di bekuk", papar Harinus. "kami tidak dendam. Tapi kami minta polisi segera menagkap pelaku yang masih buron. Karena kami yakin, setelah mereka ditangkap dan di hukum Poso akan benar-benar aman,"ujar ornag tua Alfita, Nice Linkeka penuh harap.

Tiga siswi SMU Kristen itu dibunuh kelompok Hasanuddin pada 29 Oktober 2006. Kepala ketiganya dipotong dan dibuang di tempat terpisah. Saat ini Hasanuddin telah ditangkap dan ditahan di Mabes Polri bersama dua orang anggota kelompoknya.***

Harapan Damai dari Poso

Berbagai teror bom dan peristiwa kekerasan yang terjadi di Poso dalam sebulan terakhir tidak menyurutkan semangat warga di tingkat bawah untuk tetap menjaga perdamaian yang telah berlangsung baik selama ini.

Keadaan yang aman dan tenang memungkinkan mereka untuk kembali bangkit dari keterpurukan setelah daerah Poso pulih dari konflik horizontal bernuansa SARA. Kini sektor pertanian umumnya sumber pendapatan warga di daerah itu untuk membangun kembali rumah-rumah mereka maupun untuk menghidupi keluarga.

Harapan dan optimisme terhadap perdamaian yang abadi di poso ini setidaknya disampaikan oleh warga di Desa Sintuwu Lemba yang terkenal dengan nama Kilo 9. Kilo 9 adalah sebuah desa yang cukup dikenal di Poso karena konflik terbesar di poso terjadi di desa tersebut tepatnya pada bulan Mei tahun 2000.

Konflik itu mengakibatkan ratusan rumah terbakar dan menewaskan sekitar 200 jiwa. Warga yang selamat kemudian mengungsi keberbagai lokasi di Sulawesi Tengah maupun Sulawesi Selatan, serta Sulawesi Utara.

Enam Tahun sudah kejadian itu berlalu. Kini 107 KK yang terdiri atas 54 KK Muslim dan 53 KK Kristen telah hidup berdampingan, rukun dan saling menolong. Warga Kilo 9 mengaku mereka tidak akan lagi mau bertikai.

Menurut mereka pertikaian hanya menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Dengan sederhana warga mengatakan agar keharmonisan hubungan mereka tetap dapat terjaga. Oftis Farlin, misalnya. Perempuan beragama Kristen di Sintuwu lembah ini mengatakan hal yang paling penting bagi mereka adalah rasa aman dan kerukunan.

“Kami tidak mau lagi ada orang-orang yang memprovokasi kamu untuk berkelahi, supaya rusuh lagi. Kami ingin hidup tenang, supaya boleh mencari hidup dengan tenang. Saya mau kehidupan yang seperti dulu lagi,” aku Oftis polos.

Hal senada juga disampaikan oleh Supriati, salah seorang warga Sintuwu Lembah yang menjadi korban konflik di Poso pada tahun 2000.

“Tidak usah baku dendam. Kami di sini sudah hidup damai di Sintuvu Lembah. Kami di sini sudah bisa bekerja lebih tenang,” kata perempuan asal Jawa Tengah itu.

Kerukunan umat beragama di Sintuwu Lembah membawa dampak yang cukup positif bagi warga setempat. Mereka mengaku dengan kehidupan yang damai itu mereka dapat bekerja lebih tenang dan lebih semangat sehingga memberikan penghasilan yang lebih baik kepada mereka. Cita-cita mereka hanyalah bagaimana memberikan anak-anak mereka makan dan sekolah. Mereka mengharapkan agar cita-cita mereka yang sederhana dan mulia itu tidak lagi diganggu oleh pihak-pihak lain yang kerap melakukan provokasi terhadap
warga di Poso, Sulawesi Tengah.

Barak Pengungsi
Ada pula kisah lain dari barak pengungsi tentang mimpi kedamaian. Kisah ini datang Desa Kapompa, Kecamatan Lage, Poso, Sulawesi Tengah. Dari desa itu, Levi Bagu, seorang lelaki tua berusia 60 tahun membangun mimpinya agar Poso kembali damai.

“Saya berani kembali dari barak pengungsi di Tentena, karena yakin Poso sudah aman. Saya takut juga kalo sedikit-dikit ada bom, ada penembakan dan lain-lainnya,” sebut Levi.

Lelaki tua ini Ia adalah salah seorang di antara korban kerusuhan yang saat itu mengungsi ke Tentena, sekitar 56 kilometer dari Poso. Dia memilih ke kampung halamannya yang luluh lantak karena dilanda konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) pada 2006 silam, karena sudah yakin Poso akan kembali aman dan damai.

Ia ditemani istrinya yang juga telah sepuh, tinggal sementara di gubuk beratap dan berdinding rumbia dengan rangka dari bambu sejak April lalu.

Suara senada datang pula dari Grace Pamimbi, perempuan paruhbaya yang sebelumnya juga mengungsi di Tentena.

“Torang so mo hidup tenang. Te usah jo bakalae,” kata Grace singkat.

Adakah harapan damai itu, adalah juga harapan seluruh warga Poso? Semoga!

Konflik Poso, Jalan Tak Berujung

Konflik berujung kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah tidak begitu saja terjadi. Banyak persoalan yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah masalah politik setempat yang kemudian menyeret empati komunal dan melahirkan kekerasan baru. Aparat keamanan juga dianggap memberi sumbangan bagi belum berujung konflik di kota tua di Sulawesi Tengah ini.

Darr…Derr…Dorr…Salakan senjata memecah malam pada Minggu (22/10/2006) di Jalan Pulau Irian Jaya, Kelurahan Gebang Rejo, Poso, Sulawesi Tengah. Sebuah Pos Polisi Masyarakat ditembak orang tak dikenal. Sebanyak 14 anggota Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan dua orang anggota Polmas Kepolisian Resor Poso terjebak di antara desingan peluru. Tak lama kemudian ratusan warga setempat mendatangi dan melempari pos itu. Situasi menjadi kacau balau di antara desingan peluru dan hantaman batu.

Belasan Polisi itu pun terpaksa mesti meminta bantuan melalui pesawat handy talky. Lalu sekitar 1 Satuan Setingkat Kompi Brimob Bawah Kendali Operasi Polres Poso dari Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat pun didatangkan. Mereka datang mengendarai baracuda, kendaraan lapis baja modifikasi milik Polri. Evakuasi pun dilakukan. Sejumlah anggota Polisi pun mengeluarkan tembakan beruntun.

Akibatnya, Syaifuddin alias Udin tewas diterjang peluru anggota Brimob, sementara Muhammad Rizky dan Maslan terluka parah diterjang timah panas pasukan elit Polri itu. Suasana pun makin memanas hingga dinihari. Beruntung sahur memutus amarah warga. Besok harus melaksanakan ibadah puasa lagi.

Esoknya, ketika mengantar jenazah Udin, sejumlah Brimob lepas kendali menembaki pengiring jenazah di Jalan Pulau Seram. Seorang bocah bernama Galih Pamungkas (3,5) terkena peluru nyasar. Saat itu bocah Galih berada di dalam rumahnya.

Selama tiga hari, Poso dalam keadaan tegang dan kemudian mereda kembali setelah perayaan hari raya Idul Fitri pada Selasa (24/10/2006.

Sesungguhnya, benang konflik Poso dimulai sejak 1998. Saat itu, kursi Bupati Poso yang ditinggalkan Arif Patanga lama tak terisi. HB Paliudju, Gubernur Sulteng kala itu, menunjuk Haryono untuk menjadi penjabat bupati. Namun keputusan ini menimbulkan tarik menarik figur pengganti Arif.

Kemudian muncul nama Abdul Muin Pusadan, anggota Fraksi Golkar DPRD Sulteng yang didrop dari atas untuk menjadi calon bupati. Setelah itu, serangkaian kerusuhan pun terjadi.

Entah bagaiamana, masalah agama kemudian terbawa-bawa. Saat itu orang menginginkan Abdul Malik Syahadat, tokoh Islam yang dekat dengan sejumlah pemuka Kristen di Poso. Malik kemudian kebagian menjadi Wakil Bupati Poso.

Masalah muncul lagi, ketika jabatan sekretaris kabupaten lowong. Sebagian masyarakat Kristen menginginkan Nus Pasoreh. Sementara masyarakat Islam menginginkan Awad Alamri.

"Pembagian kekuasaan yang tidak adil menjadi penyebab semua itu," kata Datlin Tamalagi, tokoh masyarakat Poso. Kini dia menjadi Bupati Morowali, daerah pemekaran Poso.

Saat itu, hanya lantaran kesalahpahaman yang terjadi antara Roy Runtu Bisalembah yang kebetulan beragama Kristen dan Ahmad Ridwan yang anggota remaja Islam Masjid Darussalam Poso, Kota Poso memanas. Perang batu terjadi antara warga Kristen dan Islam. Tokoh-tokoh semacam Yahya Mangun, sesepuh Muhammadiyah Poso, Arif Patanga dan Yahya Pattiro mencuat namanya karena berusaha mendamaikan massa.

Tapi api terlanjur dipantik. April 1999, massa Muslim yang marah karena provokasi seorang pemuda membakar permukiman Kristen di Lombogia. Tewasnya dua orang warga akibat tertembak oleh anggota Brimob makin membesarkan nyala api. Lalu tahun 2000, sepasukan warga menyerang permukiman Islam sepanjang Poso Pesisir.

Poso menjadi ladang api dan darah sepanjang Mei – Juli 2000. Dalam catatan Pemerintah Kabupaten Poso kala itu, tak kurang 577 orang tewas terbunuh dalam pertikaian bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan itu. Lalu kerugian materil meliputi, 7.932 buah rumah penduduk terbakar, 1.378 rusak berat dan 690 buah rusak ringan. Sedangkan rumah ibadah yang terbakar tercatat masjid 27 buah, gereja 55
buah dan pura 1 buah. Kerugian materil itu juga ditambah dengan 239 kendaraan bermotor yang terbakar. Kondisi sosial, ekonomi dan politik kabupaten penghasil kayu Ebony seluas 1.443.736 hektare itu pun porak-poranda. Lalu hampir 27 ribu pengungsi menyelamatkan diri ke Palu, Makassar dan Manado.

Konflik baru sedikit mereda setelah Muhammad Jusuf Kalla yang ketika itu masih sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah Pemerintahan Gus Dur menggelar Pertemuan Malino untuk Poso. Sebanyak 44 tokoh Islam dan Kristen termasuk Sofyan Faried Lembah dari Front Solidaritas Islam Revolusioner dan Pendeta Rinaldy Damanik dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah pun berjabatantangan. Tanggal 19-20 Desember 2001 di Malino, Sulawesi Selatan menjadi momentum sejarah teramat penting bagi pulihnya keamanan di Poso. Sayang, banyak aksi-aksi kekerasan yang menciderai.

Salah satu aksi kekerasan terbesar adalah ketika 22 orang tewas akibat peledakan bom di Pasar Tentena pada Sabtu, 25 Mei 2004. Diikuti kemudian oleh sejumlah aksi kekerasan dalam skala yang lebih kecil. Salah satunya adalah peledakan bom di Pasar Hewan Khusus di Palu pada 31 Desember 2005. Tiga orang tewas dan sejumlah lainnya luka-luka.

Kekerasan terus membayangi Sulawesi Tengah sepanjang 1998 – 2006 ini, bahkan makin mengkhawatirkan ketika Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Majelis Sinode GKST tewas ditembak orang tak dikenal, Senin (16/10/2006). Tentu saja banyak yang marah dan meradang, tidak ada tempat aman di wilayah ini.

Sebab Politik
Apa yang sebenarnya terjadi? "Banyak persoalan yang terakumulasi menjadi satu. Salah satunya adalah kecemburuan sosial. Mereka menyaksikan bagaimana masyarakat pendatang begitu maju, sementara penduduk asli cuma jalan di tempat," kata sesepuh Muhammadiyah Poso, Yahya Mangun dalam sebuah wawancara.

Yang dimaksud Yahya adalah bagaimana masyarakat asli Poso yang Kristen dan Islam kemudian tersisih oleh para pendatang dari Makassar dan Gorontalo, juga Jawa. Mereka berhasil karena ulet, sementara masyarakat asli patah semangat.

Bagaimana soal politik? Sebagai catatan, di DPRD Poso saat ini, Partai Damai Sejahtera memiliki 6 kursi disusul oleh Partai Golkar 5 kursi. Selanjutnya Partai Patriot 4 kursi, PDIP dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dengan 2 kursi. Disusul PAN, Partai Demokrat, PPP, PKS dan Partai Pelopor, masing-masing 1 kursi. Ketua DPRD Poso periode 2004-2004 kini adalah Sawerigading Pelima yang naik dengan bendera PDS.

Ada yang menarik menjadi catatan jika membicarakan proses suksesi politik di Poso. Jika sentimen agama mencuat, maka segregasi populasi berdasar agama penting disimak.

Dalam catatan Biro Pusat Statistik Sulteng, Islam menjadi agama mayoritas di kecamatan-kecamatan pesisir, seperti Kecamatan Ampana Kota, Ampana Tete, Tojo, Una-una, Walea Kepulauan, dan Ulubongka (Kabupaten Poso) dan Kecamatan Bungku Selatan, Bungku Tengah, Bungku Barat, Bungku Utara, dan Menui Kepulauan (Kabupaten Morowali).

Sebaliknya, Kristen menjadi agama mayoritas di kecamatan-kecamatan dataran tinggi, seperti Kecamatan Pamona Utara, Pamona Selatan, Pamona Tengah, Lore Utara, Lore Tengah, dan Lore Selatan (Kabupaten Poso) dan Kecamatan Mori Atas dan Lembo (Kabupaten Morowali).

Segregasi juga terlihat di wilayah kecamatan di mana penduduk beragama Islam dan Kristen berimbang. Misalnya, sebelum konflik di dalam wilayah Kecamatan Poso Kota, penduduk beragama Islam mayoritas menghuni kelurahan Kayamanya, Bonesompe, dan Lawanga. Sebaliknya, penganut Kristen mayoritas berada di Kelurahan Kasintuvu, Lombogia, dan Kawua.

Populasi masyarakat Muslim di Poso juga ditambah dengan kedatangan migran Bugis, Makassar dan Gorontalo yang merupakan penganut Islam. Mereka menyebar di kecamatan-kecamatan pesisir yang juga merupakan kecamatan yang didominasi umat Islam. Sebaliknya, migran penganut Kristen asal Minahasa dan Toraja cenderung memilih kecamatan-kecamatan di dataran tinggi yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Pada 1970-an, jumlah pemeluk Kristen separuh dari jumlah pemeluk agama lainnya. Pemeluk Islam bertambah seiring dengan banyaknya masuk migran Gorontalo, Bugis dan Makassar. Kini pemeluk Islam dan Kristen hampir setara.

Ketua Kaukus Daerah Konflik dan Daerah Bekas Konflik, M Ichsan Loulembah, mengatakan solusi bagi adanya konflik berlatarbelakang sentimen agama itu bisa diselesaikan dengan pemekaran wilayah Poso (setelah Morowali dan Tojo Unauna) menjadi Kabupaten Pamona Raya.

Syamsu Alam Agus, penggiat di KONTRAS menilai, kedamaian Poso terletak pada kesadaran para elit. Konflik terjadi jika para politisi membawa-bawa sentimen agama dalam aksi-aksi politik mereka. Terorisme

Minggu (29/10/2006), Wakil Presiden Yusuf Kalla bertemu dengan sejumlah tokoh Islam dan Kristen di Gubernuran Siranindi, Palu, Sulawesi Tengah. Banyak hal yang dibicarakan. Ada beberapa hal penting bisa menjadi catatan. Sebelumnya, pernyataan Kalla agar Polisi menangkap teroris di Poso memantik kecaman. Sebab lagi-lagi Kalla melihat kelompok tertentu di Poso terlibat dalam aksi kekerasan itu.

Soalnya Kalla pernah menuduh Ustadz Adnan Arsal, pimpinan Pondok Pesantren Amanah Poso mengetahui siapa pelaku mutilasi tiga siswi SMU Kristen GKST Poso pada 29 November 2005. Tentu saja Adnan berang dituding seperti itu. Makanya ketika Kalla
mengeluarkan statemen seperti itu, mata semua orang pun menohok Adnan yang jauh-jauh hari sudah mengeluarkan bantahan dirinya terlibat dalam aksi-aksi kekerasan itu. Sebab menurutnya pesantrennya hanya mengajarkan kurikulum yang berbasis pada kurikulum pendidikan agama dari Departemen Agama Republik Indonesia.***

Warga Demo Tarik BKO Brimob, 2 Kompi TNI Siaga

POSO- Tidak kurang dari 1000 massa muslim Poso, Senin (30/10) menggelar demonstrasi. Demonstrasi ini menyusul bentrok warga dengan Satuan Brigade Mobil Minggu malam (22/10) lalu yang mengakibatkan seorang warga tewas dan dua orang lainnya luka-luka terkena tembakan. Warga menuntut Pemerintah segera menarik seluruh anggota Brimob yang di-bawah kendali operasi-kan di Kepolisian Resor Poso.

Koordinator lapangan demonstrasi ini, Sugianto Kaimudin menyatakan bahwa aksi yang mereka gelar merupakan kesepakatan 19 organisasi massa Islam, organisasi kepemudaan (Himpunan Pemuda Alkhairaat, Gerakan Pemuda Ka’bah dan GP Anshor) dan sejumlah partai politik Islam, di antaranya Partai Bulang Bintang, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional. Ratusan Perempuan dan anak-anak juga terlibat dalam aksi ini.

Aksi ini dimulai pukul 09.00 Waktu Indonesia Tengah dari Mesjid Raya Baiturrahman, Poso di Jalan P. Timor menuju Kantor DPRD Poso. “Kenapa kami ke DPRD, itu karena kami minta DPRD untuk pro aktif dengan persoalan ini," kata Sugianto.

Akibat demonstrasi ini, semua kantor, pasar, toko dan tempat aktifitas masyarakat lainnya ditutup

"Hanya UGD Rumah Sakit dan Pompa Bensin yang boleh buka," imbuh Sugianto.

Untuk mengamankan aksi 2 kompi personil TNI dari Batalyon Infanteri 714 Sintuvu Maroso, Poso sejak Minggu (29/10) sudah disiagakan di kompleks DPRD Poso. Tidak ada satu pun personil Kepolisian yang dilibatkan dalam pengamanan aksi ini. Pengamanan dipimpin langsung oleh Dan Yonif 714/SR Letkol Inf Tri Setyo. Personil Kepolisian hanya disiagakan di Kantor Polres Poso dan di sejumlah Gereja.

Di tengah-tengah aksi, sempat terjadi insiden ketika seseorang yang tidak diketahui mengeluarkan tembakan ke arah kerumunan massa. Massa menduga ini adalah anggota Brimob, namun ketika massa mengejar orang itu mereka tidak menemukan lagi siapa penembaknya. Dari kesaksian seorang sopir diketahui bahwa ada seseorang yang menketapel anggota Brimob lalu dibalas dengan tembakan peringatan. Beruntung setelahnya massa dapat dikendalikan.

Sementara itu, di ruangan sidang paripurna DPRD Poso Ustadz Muhammad Adnan Arsal dari Forum Silaturahim dan Perjuangan Umat Islam Poso (FSPUI) dan Sugianto Kaimuddin dari Front Pembela Islam (FPI) diterima oleh Wakil Ketua DPRD Abdul Munim Liputo. Turut hadir juga dalam dialog itu Poso sejumlah perwakilan ormas, OKP dan Parpol Islam. Namun DPRD tidak dapat mengeluarkan keputusan atas tuntutan warga Poso agar seluruh Brimob BKO dipulangkan ke tempat asalnya masing-masing di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Polda Sulawesi Utara dan Polda Kalimantan Timur.

Di luar, massa terus berorasi mengecam ulah Brimob pada bentrok Minggu malam berdarah itu.

“Dulu kita dibantai perusuh, sekarang kita dibantai Brimob. Karena itu kita harus mengusir mereka,” teriak massa.

Terik matahari Poso tidak dipedulikan oleh massa pendemo yang terus mengecam Brimob dan sikap Pemerintah yang dianggap tidak memahami aspirasi masyarakat. Warga pun melambaikan sejumlah poster dan pamflet yang isinya mengecam Brimob BKO.

Pilih Kasih
Ditemui usai aksi yang berakhir sekitar pukul 11.00 WITA, Sugianto mengatakan, umat Islam Poso sangat kecewa dengan prilaku yang dilakukan aparat kepolisian terhadap umat islam. Katanya, aparat kepolisian terlihat tebang pilih dalam memberlakukan proses hukum di Poso. "Umat Islam yang tidak berbuat apa-apa langsung di berondong peluru, tapi kalau umat lain, mereka takut. Padahal jelas mereka (polisi, red) telah dirugikan", papar Sugianto. Ia kemudian mengambil perbandingan, antara kasus Taripa dimana banyak fasilitas polisi dirusak, dan kasus Poso Kota pada Minggu malam.

“Di Taripa masyarakat melempari Kapolda, Kapolres dan Helikopter tadi tidak ada satu pun peluru yang keluar, di sini kami juga berbuat sama tapi diberondong peluru,” tukasnya.

Ustad Muhammad Adnan Arsal pun menyatakan hal serupa. Ia menyatakan, “tidak ada tawar-menawar lagi Brimob BKO harus dikeluarkan dari Poso.” ***

Thursday, October 26, 2006

Enam Ditetapkan Tersangka

[Buntut Brimob vs Warga di Poso]

Palu - Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah akhirnya menetapkan 6 warga Poso sebagai tersangka bentrok antara warga dengan Satuan Brigade Mobil (Brimob) pada Minggu (22/10) malam lalu di Poso, Sulawesi Tengah.

Kepastian penetapan tersangka itu disampaikan oleh Kepala Kepolsian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti, Jumat (27/10) di Markas Polda Sulteng.

Menurutnya keeenam warga tersebut diduga kuat sebagai pemicu bentrokan pada Minggu (22/10) malam yang mengakibatkan tewasnya Udin, dan luka parahnya Kiki dan Tugiharjo akibat diterjang timah panas Polisi setelah mereka menyerang Pos Polisi Masyarakat di Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota.

Mereka yang dietapkan sebagai tersangka adalah Ramli (40), Sunardi (28), Gi, An, Na (39) dan RY. Keenamnya adalah warga Poso yang pada saat bentrok tertangkap tangan membawa senjata tajam.

“Keenam orang tersebut kami tahan sejak Minggu dan setelah melalui pemeriksaan intensif kami kemudian menetapkan mereka sebagai tersangka. Keenamnya dijerat dengan UU Terorisme,” demikian Badrodin Haiti.

Terkait juga dengan insiden Senin (23/10) yang mengakibatkan Maslan dan seorang bocah berumur 3,5 tahun bernama Galih tertembak oleh salah seorang anggota Brimob, pihaknya kini tengah melakukan penyelidikan.

“Sejumlah anggota Brimob sudah menjalani pemeriksan Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulteng,” imbuh Badrodin.

Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Nurmawati Bantilan menyatakan Polisi harus adil dalam mengungkapkan sejumlah kasus-kasus kekerasan di Poso. Ia bahkan menilai Polisi diskriminatif.

“Pada kasus dibunuh dua pedagang ikan asal Masamba, Sulawesi Selatan, para pelaku hanya dikategorikan sebagai tindak kriminal murni. Sementara pada kasus bentrok warga versus Brimob ini para tersangkanya dikenai Undang-Undang Terorisme,” sebut Nurmawati.

Menurutnya, diskriminasi semacam itu berpeluang menimbulkan konflik di tengah kondisi masyarakat Poso yang sesungguhnya mulai kembali membaik pasca kerusuhan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) pada 2000 silam.***

Wednesday, October 18, 2006

Jejak Gembala Pencinta Damai

Pendeta Irianto Kongkoli, terlahir dengan nama lengkap Irianto Salemba Jaya Kongkoli di Poso pada 14 Maret 1963. Lahir dari ayahanda Almarhum L Kongkoli dan ibunda Almarhum Enci Marola. Pendeta yang akrab disapa Anton ini adalah anak kedua dari empat bersaudara.

Ia pergi meninggalkan seorang istri anggota Kepolisian Wanita (Polwan) Ajun Inspektur Polisi Satu Rita Kupa. Buah cintanya dengan Rita Kupa melahirkan tiga orang anak, Gemala Githa Faria (18) yang mengikuti jejak ayahnya menjadi dan kini tengah menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Intim Makassar, Sulawesi Selatan, lalu Geraldi Dwi Risandi (16) dan yang terakhir Galatea Folika Kristata (4).

Pendeta pencinta damai ini menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar GKST 2 di Poso dari 1968-1974, lalu Sekolah Menengah Pertama negeri 1 POso pada 1974-1977. Setemat SMP ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Poso dari 1978-1981. Ia kemudian mengikuti gerak hatinya dengan memilih kuliah di di STT Intim makassar sejak 1981-1987. Kemudian ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan S-2 pada program pasca sarjana Universitar Kristen Duta Wacana (UKSW) Yogyakarta pada 1996-1998. Di sela-sela kuliahnya di UKSW ia berguru pula tentang Islam pada salah seorang Profesor di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Selepas kuliah ia lalu menjalani masa sebagai vikaris di Dewua, Poso Pesisir sejak 1987-1989. Sesudah menerima pengurapan ia kemudian menjadi gembala jemaat Kanaan di Dewua sejak 1089-1991. Lalu pada 1991-1994 ia menjadi gembala jemaat Immanuel Poso dan terakhir hingga akhir hayatnya ia menjadi gembala di Gereja Immanuel Palu.

Pada 1998-2001 ia dipercayakan pula menjadi dosen pada Sekolah Tinggi Teologia GKST di Tentena. Kemudian pada 2000 diangkat menjadi Ketua Sekolah Tinggi Marturia Palu. Almarhum Pendeta Irianto kemudian diberi kepercayaan lagi pada 1 November 2004 menjadi Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Amanah itu mesti dijabatnya hingga November 2006 nanti, namun Tuhan berkehendak lain padanya.

Yang menarik, ketika gelombang reformasi menerjang Indonesia pasca lengsernya Soeharto, ia sempat menjadi Pengurus DPD PDI Perjuangan Sulawesi Tengah. Lalu sempat tertarik mengurusi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada 2002.

Saat meledaknya kerusuhan Poso 2000 silam, ia menjadi koordinator pengungsi Poso untuk wilayah Palu dan sekitarnya.

Kini semua amalannya itu telah menjadi kenangan. Selamat jalan Pendeta pencinta damai. Sorga baka adalah buah jerih lelahmu.***

Jenasah Pendeta Irrianto Dimakamkan

Polisi Tahan Seorang Warga

Palu - Jenasah Pendeta Gereja Kristen Sulawesi Tengah Irianto Kongkoli yang tewas ditembak oleh orang tak dikenal, Senin (16/10) lalu, akhirnya dimakamkan Rabu (18/10) petang kemarin di Pemakaman Umum Kristen di Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah. Ribuan pelayat dari pihak kerabat korban dan masyarakat umum mengantar kepergian pendeta yang rendah hati itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Pelayat datang dari berbagai daerah di luar Sulawesi Tengah. Karangan bunga yang dikirimkan berasal dari Jakarta, Surabaya, Banten dan sejumlah daerah lainnya. Jumlahnya lebih dari 400 karangan bunga. Begitu pun faximile tak kurang dari 300 dikirimkan dari seluruh penjuru Indonesia untuk menyatakan belasungkawa atas kepergian Pendeta Irianto.

Gubernur HB Paliudju dan Wakil Gubernur Sulteng Achmad Yahya bahkan turut sejak prosesi ibadah pelepasan jenazah hingga jenazah masuk ke liang lahat.

Istri Korban Ajun Inspektur Polisi Rita Kupa dan tiga anaknya Gemala Githa Faria (18), Geraldi Dwi Risandi (16), Galatea Folika Kristata terlihat tabah mengantar kepergian ayah mereka. Meski kedukaan mendalam begitu tampak di wajahnya. Bahkan istri korban menyerukan kepada keluarga untuk tidak mengeluarkan isakan tangis di atas kuburan Pendeta Irianto.

“Bapak selalu melarang kami menangis keras-keras di depan jenazah, sebab dia bilang mereka pergi ke dalam damai. Jadi biarkan mereka pergi dengan tenang,” ungkap Rita mengulang pesan suaminya.

Karenanya, pemakaman Pendeta penganjur damai di Poso ini berlangsung tanpa air mata. Hanya do’a yang mengalir dari ribuan pelayat yang terdengar.

“Selamat jalan Pendeta yang murah senyum. Selamat jalan sahabat yang baik hati. Selamat jalan guru yang telaten,” demikian kata-kata penghormatan terakhir dari sahabatnya sesama pendeta, mahasiswa dan jemaatnya yang begitu terkesan atas pribadi Pendeta Irianto.

Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng Muhammad Kilat menyatakan bahwa saat ini Kepolisian telah memeriksa 10 orang saksi dan menahan seorang warga yang diduga mengetahui keberadaan pelaku.

“Namun kami belum dapat menetapkan statusnya sebagai tersangka. Yang bersangkutan tengah diperiksa intensif oleh penyidik,” kata Kilat.***

Pendeta Penganjur Damai itu Sudah Tiada

[In Memoriam Pendeta Drs Irianto Kongkoli, M.Th]

Awan hitam menggayuti langit Sulawesi Tengah, seorang anak negeri meregang nyawa, setelah dua butir timah hitam menembus dari telinga kiri ke batok kepalanya. Seorang pendeta terbunuh, tak terhitung jumlahnya umat berduka.

Palu – Rangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Poso dan Kota Palu adalah upaya provokasi untuk membenturkan umat Islam dan umat Kristen. Penembakan terhadap Pendeta Irianto kongkoli adalah memprovokasi umat Kristen agar marah dan menghantam orang islam, dan pembunuhan dua warga Masamba adalah memprovokasi umat Islam agar marah dan menghantam orang Kristen.

Demikian dikatakan Ketua Forum Silaturahim Perjuangan Umat Islam Poso (FSPUI), Ustad Adnan Arsal.

“Saya yakin kedua pimpinan komunitas kedua umat beragama ini mampu meredam umatnya masing-masing. Hal ini dibuktikan beberapa kali peristiwa kekerasan dan ledakan bom, Poso sampai saat ini aman. Masyarakat Poso sekarang sudah sadar mereka hanya dijadikan alat. Makanya saya yakin mereka tidak akan terprovokasi,” ujarnya saat dihubungi Sinar Harapan.

Bekas Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Rinaldy Damanaik yang mengundurkan diri pasca eksekusi Tibo dan kawan-kawan mengatakan sangat kecewa atas penembakan ini. Ia mengatakan Penembakan ini merupakan ketigakalinya yang terjadi terhadap orang-orang GKST. Mereka adalah Tadjoja, bendahara umum GKST, Pendeta Susianti Tinulele dan Pendeta Irianto Kongkoli.

“Saya kecewa lantaran selama ini aparat tidak bisa memberikan perlindungan kepada warganya dengan menangkap pelakunya, saya sudah tidak tahu harus berkata apa lagi,” katanya gusar.

Sementara itu, sampai hari ini Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah belum berhasil mengidentifikasi pelaku penembakan, yang menewaskan Sekertaris Umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Pendeta Irianto Kongkoli, Senin kemarin. Terkait belum tertangkapnya pelaku, enam warga dimintai keterangan di Polda Sulteng sebagai saksi.

Kapolda mengatakan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di kabupaten Poso dan Kota Palu terkait satu sama lain.

Selasa (17/10) jenazah Pendeta Irianto Kongkoli, masih di semayamkan di rumah duka di Jalan Manimbaya, Lorong Gereja. Rencananya, jenazah akan dikuburkan hari kamis pekan ini pukul 13.00 wita di tempat pemakaman umum Kristen Palu.

Pendeta Irianto Kongkoli dimata istrinya, Rita Kupah, adalah sosok suami sekaligus bapak yang bijaksana. Ia tidak menyangka peristiwa ini akan menimpa suaminya. Tapi ia hanya bisa berserah diri kepada Tuhan. Tidak banyak kata-kata yang terucap dari perempuan yang juga anggota Polri ini.

Saat beberapa anggota DPR Propinsi Sulteng dan Komandan Korem 132 Tadulako Kolonel Husain Malik datang melayat, ibu tiga anak ini, menangis sesegukan. “Terima kasih pak sudah datang melayat suami saya,” ujarnya sambil menyeka darah yang terus keluar dari mulut suaminya.

Pendeta Irianto Kongkoli menyelesaikan S2-nya di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogyakarta. Ia meninggalkan Seorang istri, Rita Kupah dan tiga anak, masing-masing bernama Gemal Gita Faria (18), yang saat ini terdaftar sebagai mahasiswi Sekolah Tinggi Teologia Intim Makassar, Sulawesi Selatan, Geraldi Dwi Risandi (16) dan Galatea Folika Kristata (4).

Namanya mencuat setelah kerusuhan Poso tahun 2000. Semasa hidupnya ia terus mengampanyekan rekonsiliasi dan perdamaian Poso. Ia dekat dengan para penggiat Nahdlatul Ulama (NU) dan GP Anshor, organisasi massa pemuda di bawah NU. Dalam sejumlah kegiatan-kegiatan yang mengampanyekan pluralisme, ia pun selalu terlibat.

Ia bahkan pernah mengajar sebagai dosen di Universitas Alkhaeraat Palu, salah satu lembaga pendidikan Islam di Sulawesi Tengah. Namun tidak lama, karena kemudian ia ditunjuk sebagai Sekertaris Umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Dan akhirnya setelah Pendeta Rinaldi Danamik mengundurkan diri, namanya disebut-sebut akan menggantikan Damanik sebagai Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Periode 2007-2011.

Rupanya Tuhan berkehendak lain, manusia bisa merencanakan tapi Tuhanlah yang menentukan.***

Saturday, September 30, 2006

Polda Sulteng Tambah 4 SSK Brimob di Poso

Palu – Poso kembali bergolak. Jumat (29/9) kemarin sekitar pukul 15.00 WITA, Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Pamona Timur tiba-tiba diserang massa . Selain melakukan pelemparan dengan menggunakan batu, massa juga melakukan pembakaran dan perusakan terhadap 3 mobil milik polisi. Dua mobil dibakar massa adalah mobil truk dan mobil kijang patroli, sementara satu mobil patroli dirusak. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.

Dilaporkan suasana pagi ini di tempat kejadian perkara, terlihat masih mencekam. Polsek Pamona Timur yang mengalami kerusakan cukup parah dijaga oleh aparat TNI dari Batalyon 714 Sintuwu Maroso yang bermarkas di Kompi Pendolo.

Sampai saat ini belum diketahui penyebab dari aksi massa yang tiba-tiba menyerang Mapolsek Pamona Timur. Menurut Wakapolda Sulteng Kombes Pol I Nyoman Sidra, pihaknya sampai saat ini masih menyelidiki motif dibalik penyerangan itu.

“Beberapa warga yang sudah dimintai keterangan, tapi belum ada yang mengarah sebagai tersangka ataupun provokator yang menggerakkan massa untuk menyerang polsek,” jelas Nyoman.

Dugaan sementara, massa yang mengamuk itu disebabkan karena kedatangan Kapolda Sulteng Kombes Pol Badrodin Haiti dengan helicopter yang mendarat di lapangan tidak jauh dari massa yang melakukan pesta rakyat atau padungku (panen raya) . Selain itu dipicu juga dengan pelaksanaan eksekusi mati terhadap tiga terpidan mati kasus Poso, Tibo dan kawan-kawan

Melihat kedatangan Kapolda warga langsung marah dan melempari kendaraan yang ditumpangi Kapolda. Saat kejadian itu massa begitu beringas. Akhirnya Kapolda berhasil diselamatkan. Tidak hanya mobil polisi, massa juga sempat melempar heli. Namun bisa diselamatkan dan langsung terbang menjauhi lokasi. Untuk diketahui kedatangan Kapolda di Desa Taripa tersebut untuk memback-up langsung pencarian terhadap dua warga yang hilang itu.

Sementara itu, untuk mengantisipati meluasnya gangguan keamanan, sebanyak empat Satuan Setingkat Kompi (SSK), yang terdiri dari dua SSK Brimob Polda Kalimantan Timur dan dua SSK Brimob Polda Sulawesi Selatan , Jumat (29/9) malam, sekitar pukul 23.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA), tiba di Bandara Mutiara Palu dan langsung diberangkatkan ke Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.***

Poso Tegang, Jalur Darat Ditutup

Palu – Satu minggu pasca eksekusi mati, Fabianus Tibo Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu, beberapa gangguan keamanan terus saja terjadi di beberapa kecamatan di Kabupaten Poso. Jumat (29/9) sekitar pukul 19.30, dua orang tidak dikenal dengan berboncengan mengendarai motor bebek merk Honda, melemparkan granat nanas ke sekumpulan orang yang sedang berkumpul di bekas pos penjagaan brimob di Kelurahan Sayo, Poso Kota.

Granat yang masih terikat dengan tali rafia warna merah saat dilempar mengenai kaki salah seorang warga Kelurahan Sayo bernama Robert (32). Untung saja Granat itu belum meledak dan berhasil diamankan oleh tim penjinak bom. Pada hari yang sama sekitar pukul 22.00 WITA, ditemukan mayat laki-laki bernama Metro Imbah Tanpasigi (23), di Desa Tambaro Kecamatan Lage, Kabupaten Poso.Dugaan sementara korban dibunuh. Mayat korban saat ini masih berada di kamar mayat Rumah Sakit Umum Daerah Poso.

Sabtu (30/9) dini hari tadi secara berurutan ledakan bom terjadi sekitar pukul 01.00, dua buah bom meledak di terminal. Dan satu jam berikutnya, sebuah bom meledak di Gereja Eklesia. Tidak lama kemudian sebuah bom meledak lagi di pasar ikan di Kelurahan Sayo. Tidak ada korban jiwa dalam ledakan itu. Diduga bom yang meledak itu merupakan bom hampa.

Sebelumnya, Rabu (27/9) dua warga Desa Masamba, Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan, Arham Badarudin (40) dan Rendi Rahman alis Wandi (17) yang berprofesi sebagai penjual ikan, hilang antara Desa Taripa dan Desa Masewe, Kecamatan Pamona Timur 97 km arah selatan Kota Poso. Mobil Suzuki Carry yang yang ditumpangi ditemukan polisi jatuh di dalam jurang di Desa Masewe. Saat ini mobil Suzuki Carry

Awalnya kedua orang yang dinyatakan hilang ini diduga mengalami kecelakaan, namun saat mobil diangkat dari jurang, tidak ditemukan adanya kedua korban. Memasuki hari keempat ini pencarian korban terus dilakukan. Menurut Kapolda Sulawesi Tengah Komisaris Besar Polisi Badrodin Haiti , untuk pencarian korban pihaknya telah melibatkan tim dari tiga polres. Polres Tojo Unauna, Polres Poso dan Polres Luwu Utara.

Ada dugaan, kedua warga Masamba itu dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata. Namun Kapolda belum bisa memastikan apa yang terjadi dengan dua orang tersebut.

“Hilangnya kedua orang ini jangan dikait-kaitkan dengan persoalan SARA dan eksekusi terhadap Tibo dan kawan-kawan, karena sampai saat ini kami masih terus melakukan pencarian dan penyelidikan,” ujar Badrodin.

Sementara itu, suasana Kota Poso sendiri sejak tadi malam terlihat mencekam, semua kendaraan bermotor yang melewati Jalan Trans Sulawesi diperiksa oleh aparat dan disarankan untuk tidak melanjutkan perjalan pada malam hari, mengingat situasi keamanan yang tidak menentu. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan jalur darat khususnya Poso-Tentena-Taripa dan Pendolo untuk sementara ditutup. Mengingat sampai sekarang dua warga Sulsel yang hilang beberapa waktu lalu belum diketahui nasibnya.***

Wednesday, September 27, 2006

Kapolda Sulteng Bantah Tibo dkk Disiksa sebelum Eksekusi

Palu - Kepala Kepolisian Daerah Sulteng Komisaris Besar Badrodin Haiti membantah Polisi dan Kejaksaan telah menyiksa dan memperlakukan tidak wajar terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, sebelum dan saat eksekusi pada Jumat dinihari (22/9) lalu. Pernyataan ini dikeluarkan menyusul keberatan Stevanus Roy Rening, Koordinator Penasehat Hukum Tibo, dkk dari Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia yang menyatakan Tibo dkk diperlakukan tidak wajar. Menurutnya prosedur eksekusi tdak sesuai Penetapan Presiden RI Nomor 2 Tahun 1964 tentang eksekusi mati.

Badrodin menegaskan bantahan soal itu kepada wartawan di Palu, Kamis (28/0) hari ini. Menurutnya, eksekusi atas tiga terpidana mati sudah sesuai dengan prosedur tetap yang dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.

Sesuai Protap, jelas Badrodin, eksekusi mati dilaksanakan oleh satu regu tembak terdiri dari seorang kepala regu dan 12 anggota bersenjata laras panjang. Lalu enam Senjata berisi enam peluru tajam dan enam lainnya hanya peluru hampa.

“Setelah eksekusi Tibo dkk juga langsung divisum tiga dokter dari Dokkes Polda Sulteng dan tiga dokter umum dari Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Jadi semuanya sudah sesuai protap,” terang Bekas Kapolda Banten ini.

Bantahan ini menyusul dugaan keluarga korban bahwa ketiga terpidana mati tersebut disiksa dan diperlakukan tidak wajar sebelum dan sesudah eksekusi. Bahkan pihak keluarga Tibo dan Rinus telah meminta dokter dari Pusat Kesehatan Masyarakat Beteleme, Morowali, Sulteng memeriksa jenazah keduanya.

Pihak keluarga heran atas luka dipunggung kiri Rinus, begitupula luka di dagu bawanya yang tembus hingga ke bibir bagian atas. Bahkan hingga dikebumikan dari hidung Rinus darah segar terus mengucur.

Dari hasil visum yang juga diterima Padma Indonesia dua tulang rusuk belakang sebelah kiri Tibo patah dan pada wajahnya terdapat tiga luka lecet. Pada bagian jantung Marinus juga terlihat luka irisan
sepanjang 3-4 centimeter. Luka itu tembus sampai punggung Marinus.

Namun, Badrodin menyebutkan bahwa kemungkinan irisan luka di jantung Rinus disebabkan oleh pecahan selongsong peluru. “Sebab tidak ada personil regu tembak yang dibekali sangkur,” imbuh Badrodin.***

Kapolda Sulteng Bantah Tibo dkk Disiksa sebelum Eksekusi

Palu - Kepala Kepolisian Daerah Sulteng Komisaris Besar Badrodin Haiti membantah Polisi dan Kejaksaan telah menyiksa dan memperlakukan tidak wajar terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, sebelum dan saat eksekusi pada Jumat dinihari (22/9) lalu. Pernyataan ini dikeluarkan menyusul keberatan Stevanus Roy Rening, Koordinator Penasehat Hukum Tibo, dkk dari Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia yang menyatakan Tibo dkk diperlakukan tidak wajar. Menurutnya prosedur eksekusi tdak sesuai Penetapan Presiden RI Nomor 2 Tahun 1964 tentang eksekusi mati.

Badrodin menegaskan bantahan soal itu kepada wartawan di Palu, Kamis (28/0) hari ini. Menurutnya, eksekusi atas tiga terpidana mati sudah sesuai dengan prosedur tetap yang dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.

Sesuai Protap, jelas Badrodin, eksekusi mati dilaksanakan oleh satu regu tembak terdiri dari seorang kepala regu dan 12 anggota bersenjata laras panjang. Lalu enam Senjata berisi enam peluru tajam dan enam lainnya hanya peluru hampa.

“Setelah eksekusi Tibo dkk juga langsung divisum tiga dokter dari Dokkes Polda Sulteng dan tiga dokter umum dari Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Jadi semuanya sudah sesuai protap,” terang Bekas Kapolda Banten ini.

Bantahan ini menyusul dugaan keluarga korban bahwa ketiga terpidana mati tersebut disiksa dan diperlakukan tidak wajar sebelum dan sesudah eksekusi. Bahkan pihak keluarga Tibo dan Rinus telah meminta dokter dari Pusat Kesehatan Masyarakat Beteleme, Morowali, Sulteng memeriksa jenazah keduanya.

Pihak keluarga heran atas luka dipunggung kiri Rinus, begitupula luka di dagu bawanya yang tembus hingga ke bibir bagian atas. Bahkan hingga dikebumikan dari hidung Rinus darah segar terus mengucur.

Dari hasil visum yang juga diterima Padma Indonesia dua tulang rusuk belakang sebelah kiri Tibo patah dan pada wajahnya terdapat tiga luka lecet. Pada bagian jantung Marinus juga terlihat luka irisan
sepanjang 3-4 centimeter. Luka itu tembus sampai punggung Marinus.

Namun, Badrodin menyebutkan bahwa kemungkinan irisan luka di jantung Rinus disebabkan oleh pecahan selongsong peluru. “Sebab tidak ada personil regu tembak yang dibekali sangkur,” imbuh Badrodin.***

Tuesday, September 26, 2006

Tibo dan Rinus Dimakamkan dengan Cara Adat

Palu - Terpidana mati Poso Fabianus Tibo (60) dan Marinus Riwu (48) akhirnya dimakamkan secara adat Nusa Tenggara Timur di tempat berbeda di Morowali, Sulawesi Tengah, Minggu (24/9). Keduanya bersama Dominggus da Silva ditembak mati regu tembak Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.

Jenazah keduanya sebelumnya disemayamkan di Gereja Khatolik Santa Maria, Morowali, Sulteng sejak Jumat (22/9) setelah diterbangkan dari Bandara Mutiara Palu menuju Beteleme melalui Soroako.

Ribuan umat Khatolik dan warga Flores, NTT setempat mengiringi kepergian kedua jenazah tersebut ke peristirahatan terakhir.

Pastor Jimmy Tumbelaka yang memimpin prosesi ibadah penguburan tersebut menyatakan mereka telah menjadi korban dari kepentingan besar di luar mereka.

"Mereka telah menjadi martir bagi penegakan hukum di Poso. Mereka adalah saksi kunci, sayangnya, mereka harus berhadapan dengan regu tembak," kata Jimmy.

Tibo dikuburkan di Pekuburan Umum Benteng, Beteleme, Biromaru, Sulawesi Tengah. Prosesi penguburan didahului dengan memercikkan air suci ke atas kuburan putra asal Flores itu.

Nurlin Kasiala dan Robertus Tibo, istri dan anak sulung Tibo, terlihat tegar mengikuti prosesi penguburan itu.

"Air mata kami sudah habis. Perjuangan kami sia-sia. Bapak akhirnya menemui akhir hidupnya di depan regu tembak," kata Robertus.

Sementara itu, Marinus dikuburkan di Pekuburan Umum Moroles, Kecamatan Petasia, Morowali. Ribuan pelayat juga mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya.

Dari Kebun Karet ke Ujung Senapan Regu Tembak

Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, sosok yang tak dikenal hingga kemudian menghiasi media cetak nasional dan internasional, terpampang di televisi nasional dan internasional. Berikut rangkuman jejak mereka dari kebun karet ke ujung senapan regu tembak.

23 Mei 2000
Penyerbuan kompleks Gereja Katolik Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, Kabupaten Poso. Tiga orang tewas dan kompleks gereja ludes dilalap si jago merah.

28 Mei 2000
Penyerbuan Pesantren Wali Songo di Desa Sintuwu Lembah dan Desa Kayamaya di Kabupaten Poso. Tidak kurang dari 200 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan ratusan rumah rusak.

25 Juli 2000
Fabianus Tibo ditangkap pasukan Satuan Tugas Teritorial TNI Cinta Damai. Ia dibawah ke Korem 132 Tadulako, kemudian Polda Sulteng dan selanjutnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu.

31 Juli 2000
Dominggus da Silva dan Marinus Riwu menyerahkan diri, lima hari setelah Om Tibo ditangkap. Menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Beteleme, Morowali.

4 Desember 2000
Sidang pertama Tibo, Marinus, dan Dominggus digelar di Pengadilan Negeri Palu. Ketiganya didakwa melakukan pembunuhan berencana di sejumlah tempat di Poso pada pertengahan 2000.

15 Maret 2001
Jaksa penuntut umum A. Latara membacakan tuntutan hukuman mati bagi Tibo, Marinus, dan Dominggus.

4 April 2001
Tibo diperiksa polisi karena mengungkap beberapa nama yang terlibat dalam prahara Poso, Mei 2000.

5 April 2001
Majelis hakim Pengadilan Negeri Palu yang terdiri dari Soedarmo (ketua), Ferdinandus, dan Achmad Fauzi menghukum mati Tibo, Marinus, dan Dominggus.

17 Mei 2001
Pengadilan Tinggi menolak banding ketiga terdakwa dan memperkuat putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palu.

14 Juni 2001
Tim penasihat hukum ketiga terpidana mati mengajukan memori kasasi.

11 Oktober 2001
Mahkamah Agung menolak putusan kasasi Tibo. Marinus, dan Dominggus.

31 Maret 2004
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan ketiga terpidana mati.

September 2005
Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan grasi ke presiden.


10 November 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani penolakan grasi Tibo, Marinus, dan Dominggus.

1 Februari 2006
Keluarga terpidana kerusuhan Poso, Tibo cs, menyerahkan tiga bundel dokumen kepada Mabes Polri sebagai salah satu bukti keterlibatan 16 nama sebagai otak kerusuhan di Poso pada Mei 2000. Diantara 16 orang itu, terdapat nama Ganis Simangunsong dan Paulus Tungkanan.

20 Februari 2006
Tim pengacara Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua.

9 Maret 2006
Persidangan PK ke dua Tibo digelar di PN PALU. Dalam sidang ini, 9 saksi baru mengatakan bahwa Fabianus Tibo bukanlah pelaku dari pembunuhan, pembakaran dan penganiayaan di kompleks Wali Songo kilometer 9.

27 Maret 2006
Keluarga Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan grasi kedua kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

2 April 2006
Sekitar 1.000 warga Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), berkumpul di lapangan Kota Baru Maumere, berdoa bersama,memohon kepada Tuhan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemimpin terkait membatalkan eksekusi mati Fabianus Tibo, Domiggus da Silva dan Marianus Riwu.

3 April 2006
Dua terhukum mati kasus kerusuhan Poso,Sulawesi Tengah, Fabianus Tibo dan Dominggus da Silva, diperiksa tim Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Sulawesi Tengah. Pemeriksaan dilakukan karena Tibo dan kawan-kawan menyebut 16 aktor lapangan dan intelektual di balik rusuh Poso 2000 silam.

04 April 2006
Fabianus Tibo dan dua rekannya, mengajukan grasi yang kedua kalinya di Kejaksaan Agung melalui pengacaranya, Alamsyah Hanafiah. Pengacara meminta eksekusi hukuman mati ditunda karena Tibo menjadi saksi utama bagi penyidikan perkara itu.

9 April 2006
Sekitar 400 warga Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, kembali melakukan doa bersama untuk keselamatan Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48). Mereka berharap rencana eksekusi Tibo dkk dibatalkan karena meyakini bahwa Tibo dkk tidak bersalah dalam kerusuhan Poso III.

Sekitar 1.000 orang dari berbagai elemen masyarakat di Jakarta, Minggu (9/4) malam, menyalakan sejuta lilin di Bundaran Hotel Indonesia, sebagai aksi protes terhadap rencana pemerintah yang ingin secepatnya mengeksekusi mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.


11 April 2006
Rencana eksekusi terhadap tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yakni Fabinaus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu akhirnya ditunda. Alasannya menurut Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Oegroseno, polisi masih akan melakukan konfrontasi terhadap 10 orang lainnya yang disebut oleh Tibo Cs sebagai dalang kerusuhan Poso.

13 April 2006
PK kedua Tibo sudah diterima MA, PK tersebut diregistrasi dengan Nomor 27 PK/Pid/2006.

17 April 2006
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan keputusan pengadilan memberikan hukuman mati kepada terpidana kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo cs, merupakan keputusan pengadilan atau hukum semata, bukan keputusan politik.

9 Mei 2006
Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menerima menolak peninjauan kembali (PK) kedua kasus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Penolakan itu dengan dasar bahwa tiga terpidana telah menggunakan hak hukumnya hingga grasinya ditolak pada November 2005 lalu. Pengajuan PK kedua yang dilakukan oleh tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso menyalahi undang-undang. MA menilai saksi baru yang diajukan oleh pengacara dalam PK kedua itu bukan sebagai novum atau bukti baru.

10 Mei 2006
Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu, mulai menginap di sel isolasi. Ketiganya kini sudah tidak satu bangsal, tapi sudah menempati kamar sendiri-sendiri. Menurut Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kehakiman dan HAM Sulteng, Ma'as Damsik, ketiga terpidana mati tersebut sudah tak bisa ditemui kecuali kalau ada izin dari pihak Kejati Sulteng. Pihaknya, kata dia, sudah tak berwewenang mengeluarkan izin untuk ketemu Tibo cs.

10 Mei 2006
Aparat Kepolisan Poso membongkar kuburan di Desa Tambaro, Sintuwulembah, yang dianggap sebagai kuburan korban konflik Poso Mei 2000. Pembongkaran di daerah yang dikenal sebagai Kilo Sembilan, wilayah Pesantren Walisongo, itu ditemukan

sejumlah tengkorak dan pakaian korban yang masih utuh.
pembongkaran itu sebagai upaya untuk merekonstruksi kasus Kilo Sembilan yang menjadikan Febianus Tibo cs sebagai terpidana mati. Seorang warga mengaku melihat ada enam tengkorak yang diambil dalam lubang yang kini sudah dianggap kuburan. Enam tengkorak itu diambil dari dua lobang kuburan yang berbeda.

8 Agustus 2006
Kejari Palu (Sulawesi Tengah), mengirimkan surat pelaksanaan eksekusi kepada keluarga Fabianus Tibo cs. Isi surat ber-nomor SR.65/R.2.10/Buh.1/8/2006 yang diteken Kajari Mohammad Basri Akib SH, menetapkan bahwa eksekusi mati terhadap Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, akan dilaksanakan Sabtu (12 Agustus) ini, pukul 00.15 WITA.

11 Agustus 2005
Sekitar pukul 23.00 Waktu Indonesia Barat atau 24:00 Waktu Indonesia, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jalan Medan Medeka Utara menyatakan bahwa eksekusi ata Tibo cs ditunda hingga selesai perayaan peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Repubik Indonesia. Kapolri Sutanto mengatakan bahwa eksesusi bukan dibatalkan, namun ditunda. Selain kaena permintaan Muspida Sulawesi Tengah, juga karena peringatan HUT Proklamasi tesebut. Namun dikabarkan bahwa penundaan itu tekait dengan permintaan pemimpin tertinggi umat Katolik Dunia Paus Benedictus XVI kepada Presiden SBY. Paus meminta aga Presiden SBY memberikan klemensi kepada Tibo cs dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.

25 Agustus 2006
Stevanus Roy Rening, tim penasehat hikum Tibo, dkk mengajukan Grasi untuk ketiga kalinya kepada Presiden SBY. Namun permohonan grasi itu tidak mendapat jawaban.

22 September 2006
Tibo, dkk dieksekusi di depan 12 Regu Tembak Brimob Polda Sulteng di Ngata Baru, Kecamatan Biromaru, Sulteng. Jenazah Tibo dan Rinus langsung diterbangkan ke Beteleme, Morowali, Sulteng dengan pesawat milik Mabes Polri melalui Soroako, Luwu. Sementara Dominggus di kuburkan di Taman Pekuburan Umum Poboya, Palu Selatan.

Lalu pada Jumat (22/9) sekitar pukul 20.00 WITA, pihak keluarga membongkar kuburan Dominggus. Dominggus lalu dikremasi di Gereja Katholik Santa Maria , Palu.

23 September 2006
Mayat Dominggus di terbangkan ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, untuk dimakamkan di kampung halamannya.

Martir yang Mati di Ujung Senapan Polisi

“Tuhan akan hukum saya, jika tangan ini saya pakai membunuh.” Itulah kata-kata terakhir Fabianus Tibo, salah seorang terpidana mati Poso yang menemui ajalnya di depan regu tembak Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Jumat (22/9/2009) di dinihari yang pekat. Pengakuanya itu disampaikannya di depan pendamping rohaninya, Pastor Jimmy Tumbelaka, di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A, Petobo, Palu, Sulawesi Tengah

Kini, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu sudah tiada. Nyawa mereka berakhir di ujung senjata SS-1 milik 12 Regu tembak Brimob Polda Sulteng.

Hingga detik terakhir hidupnya, mereka menolak disebut sebagai aktor kerusuhan Poso. Ada 16 nama yang disebut-sebutnya sebagai dalang kerusuhan Poso harus bertanggungjawab atas pecahnya kerusuhan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di Poso pada tahun 2000 itu.

Istri Tibo, Nurlin Kasiala menyatakan suaminya tak patut dihukum mati, sebab ada yang lainnya yang telah mengorbankan mereka.

“Sepanjang hidupnya, bapak suka sekali menolong orang,” kata Nurlin mengenang Tbo.

Pernyataan-pernyataan Tibo, dkk pun diamini oleh Pastro Jimmy yang tetap yakin ketiganya dikorbankan untuk melepaskan tanggung jawab orang lain dalam kerusuhan Poso.

Sebenarnya, eksekusi Tibo cs menyisakan masalah karena Pastor Jimmy seharusnya mendampingi saat ketiganya dieksekusi. Belum lagi menurut Steyvanus Roy Rening, penasihat hokum Tibo cs, eksekusi itu tidak sah, karena mereka tengah menempuh upaya hukum.

Jejak Tibo, dkk
Tibo lelaki yang biasa-biasa saja. Begitu pun Domi dan Rinus. Tak ada yang istimewa dari ketiganya. Namanya melambung dan menghiasai halaman demi halaman media massa dan layar kaca saat Pengadilan Negeri Palu mulai menyidangkan mereka pada September 2000. Mereka didakwa menghilangkan nyawa 191 warga Poso dan menyebabkan kerugian Rp 40 miliar dalam kerusuhan Poso pada Mei-Juni 2000.

Tibo ditangkap diDesa Jamur Jaya, Kecamatan Lembo, Morowali, Sulawesi Tengah pada Selasa, 25 Juli 2000 oleh Satuan Teritotial Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Lalu diserahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah keesokan harinya. Adapun Domi dan Rinus lebih memilih menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Beteleme, Morowali. Keduanya menyerah pada Senin, 31 Juli 2005, lima hari setelah Om Tibo ditangkap.

Sejak saat itu mereka pun menjadi pusat perhatian. Proses pengadilan mereka selalu dipadati massa yang pro dan kontra dengan mereka.

Sampai kemudian pada 5 April 2001, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu yang diketuai Soedarmo menjatuhkan vonis hukuman mati kepada ketiganya. Mereka dipersalahkan melakukan kejahatan pembunuhan berencana, sengaja menimbulkan kebakaran dan penganiayaan yang dilakukan bersama-sama secara berlanjut. Meski mereka menyatakan tetap tidak menerima penetapan itu.

Proses hukum pun terus berjalan. Ketiganya atas putusan Pengadilan Negeri pada
5 April 2001, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah. Namun pada 17 Mei 2001, menyatakan tidak menerima banding mereka. Mereka tak lantas putus asa. Mereka pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sayang, lagi-lagi upaya mereka menemui kegagalan, 11 Oktober 2001 dinyatakan kasasi mereka ditolak. Setelah, dengan dasar bukti hukum baru mereka pun mengajukan Peninjauan Kembali ke MA. Tapi lagi-lagi kandas di tengah jalan, 21 Maret 2004 keputusan vonis mati diperkuar lagi oleh MA. Artinya mereka tetap akan menjalani hukuman mati sesuai putusan PN Palu, 5 April 2001.

Namun lubang hukum tetaplah ada. Pada April 2005, mereka pun mencoba memohon grasi ke Presiden SBY. Sayang, mereka harus kecewa lagi. Kamis (10/11), Presiden SBY melalui Mensekneg Yusril menyatakan tidak menerima permohonan itu.

Tibo, lahir di Flores 60 Tahun lalu. Ia anak ke-6 dari pasangan Orbertus Andapo dan Maria Mosso. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) setempat, namun tidak tamat.

Menginjakan kaki pertama kali di Sulawesi Tengah pada 1973, tepatnya di Luwuk, kota kecil di perut Pulau Sulawesi. Di sana dia menjadi buruh pada PT Marabunta. Di Luwuk pula, dia bertemu tambatan hatinya, Nurlin Kasiala yang memberi tiga anak lelaki dan satu anak perempuan.

Lalu pada 1978, hijrah ke Jamur Jaya, Morowali. Di sana dia bekerja sebagai penyadap karet di PT Perkebunan Nusantara XIV Unit Kebun Beteleme. Di sana ia dituakan. Apalagi dia mempunyai keahlian sebagai dukun.

Adapun Domi lahir di Maumere pada 42 tahun lalu. Domi adalah satu-satunya buah hati Dominicus da Silva dan Maria Dualio. Setelah sebelumnya sempat merantau di Jakarta , Domi yang lulusan Sekolah Teknik Menengah jurusan mesin itu, pada 1991 hijrah ke Morowali. Lalu tahun itu juga, ia memilih bekerja di PT Inco, Soroako, Sulawesi Selatan, namun memilih tinggal di Beteleme. Setiap Senin ia ke Soroako, dan Sabtu kembali ke Beteleme. Ia bekerja sebagai sopir alat-alat berat di perusahaan pertambangan multinasional itu.

Untuk menambah tebal dompetnya, Domi pun mengikuti jejak Om Tibo bekerja di di PT Perkebunan Nusantara XIV Unit Kebun Beteleme. Sampai kemudian, konflik Poso menyeretnya ke Penjara bersama Om Tibo.

Seperti dipertemukan Tuhan, Rinus pun berasal dari jazirah Nusa Tenggara namun bertemu di wilayah Morowali. Rinus yang lahir 48 tahun lalu di Kupang, adalah anak bungsu dari pasangan Daniek Djaga dan Lusiana Bude. Di Molores, kampung orang-orang Nusa Tenggara di Bungku, Morowali, ia menikahi seorang perempuan yang memberinya empat orang anak. Ia pun bekerja di PT Perkebunan Nusantara XIV.

Ketiganya adalah orang-orang yang mudah diajak bergaul. Tidak memandang buluh dalam berteman, bisa jadi karena latarbelakang keluarga mereka yang sangat sederhana.

Umumnya, warga binaan di Lapas Kelas 2 A Palu punya kesan serupa kepada ketiganya. Termasuk para sipir Lapas provinsi itu.

“Selama kami bergaul dengan Om Tibo, Domi dan Rinus, mereka memberi kami banyak pelajaran. Khusus Om Tibo, sudah kami anggap seperti orang tua kami sendiri. Dia selalu memberi kami nasehat-nasehat, dia rajin sekali ke gereja,” aku Vecky, warga binaan yang tinggal sekamar dengan Om Tibo di Blok 4, sebelum tinggal di blok isolasi.

Kini, ketiganya telah pergi menghadap ke hariban Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi kita tidak perlu terlalu bersedih, mereka telah menjadi martir bagi yang lainnya. Tuhan pasti tidak akan menyiakan mereka. ***

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]