Thursday, August 31, 2006

Tibo Cs Ajukan Grasi lagi pada Presiden SBY

Palu - Tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu terus berjuang untuk dapat dibebaskan dari hukuman mati. Melalui Padma Indonesia, tim penasehat hukumnya, ketiganya kembali mengajukan grasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Koordinator tim Penasehat Hukum Tibo cs dari Padma Indonesia Steyvanus Roy Rening menyatakan permohonan grasi Tibo Cs untuk ketiga kalinya ini adalah hak konstitusional mereka.

"Grasi tersebut sudah kita serahkan kepada Juru Bicara Presiden Andi Alfian Malarangeng untuk disampaikan kepada Presiden. Kami berharap permohonan grasi ini dikabulkan Presiden," pinta Roy.

Pengajuan grasi Tibo cs ini sebenarnya terhitung adalah kali ketiganya. Sebelumnya Tibo pernah mengajukan grasi pada November 2005 lalu, namun ditolak Presiden SBY. Saat itu. Tibo Cs masih didampingi oleh Tim Penasehat hukum dari Lembaga Studi Hak Azasi Manusi Palu. Lalu pada awal 2006 pihak keluarga mengajukan grasi, namun lagi-lagi ditolak. Tibo cs sudah didampingi tim PH dari Padma Indonesia. Saat ini, tim PH Padma Indonesia kembali mengajukan grasi untuk kali kedua.

Bagaimana kesudahan kasus Tibo cs ini? kita tunggu saja, kabar selanjutnya!
n>

Wakapolda Sulteng Bantah Korupsi Dana Operasi Poso

Palu - Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Komisaris Besar Polisi I Nyoman Sindra membantah jika pencopotan Wakapolda lama Kombes Pol Syafei Aksal, Rabu (30/8) kemarin, terkait korupsi dana operasi pemulihan keamanan Poso. Kasus dugaan korupsi itu sendiri menjadi perhatian Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.

Saat dihubungi Kamis (31/8), Sindra menjelaskan bahwa kasus ini terjadi lantaran kesalahan penafsiran dari tim Mabes Polri. Adapun mutasi itu biasa di tubuh Polri.

"Soal dugaan korupsi Operasi Lanto Dago, justru saat ini dana tersebut masih disimpan utuh di kas Bendahara Satuan Polda Sulteng. Hanya ada salah penafsiran pada kasus tersebut," aku Sindra.

Menurutnya, Syafei menginginkan dana itu akan dicairkan sesudah ada laporan kegiatan dari masing-masing satuan dan fungsi, Jika laporan sudah ada barulah dana operasi dicairkan.

Nah, upaya Syafei "mengamankan" dana operasi tadilah yang dianggap keliru oleh Mabes Polri.

"Padahal setelah diperiksa, dana itu masih ada," imbuh Sindra.

Untuk diketahui, Rabu (30/8), Wakapolda Kombes Pol Syafey Aksal dicopot dari jabatannya setelah diduga terlibat korupsi dana operasi pemulihan keamanan di Poso senilai tak kurang dari Rp 800 milyar.

Dana sebesar itu juga dipersiapkan bagi persiapan pembentukan Kepolisian Resor Khusus Poso yang membutuhkan kekuatan sekitar 4.500 personil kepolisian.

Menyusul kemudian dimutasinya juga Kapolda Sulteng Brigjen Pol Oegroseno, Kamis (31/8) ini. Ia dipersalahkan karena lalai dalam pengawasan atas pengelolaan dana operasi itu.

Kapolda Sulteng Brigjen Pol Oegroseno dimutasi dengan TR Kapolri Nomor 531/VIII/2006 tanggal 29 Agustus 2006.Oegroseno selanjutnya akan menduduki pos baru sebagai Kepala Pusat Info Lata Divisi Telematika.

Ia akan digantikan oleh Kombes Pol Badrodin Haiti yang sebelumnya sebagai Sekretaris Lembaga Pendidikan dan Latihan Kapolri. ***

Teka-Teki di Balik Pencopotan Kapolda Sulteng

Palu - Ini kali pertama dalam sejarah Kepolisian Daerah. Bagaimana tidak, Kapolda dan Wakapolda dicopot secara bersamaan. Hal ini terjadi di PoldSulteng. Rabu (30/8) Komisaris Besar Syafei Aksal dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Sulawesi Tengah, terkait dugaan korupsi dana Operasi Pemulihan Keamanan Poso bersandi Lanto Dago. Lalu, Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal Oegroseno juga dicopot jabatannya. Serah terima Kapolda direncanakan digelar di Mabes Polri Senin (31/8) ini.

Serah terima jabatan berlangsung pada Rabu (30/8) siang di Kantor Polda Sulteng, dipimpin oleh Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal Oegroseno. Upacara serah terima jabatan itu berlangsung tertutup dan wartawan dilarang meliput.

Pencopotan dua perwira paling bertanggungjawab di Polda Sulteng ini tentu mengejutkan mengingatkan keduanya belum setahun menjabat di posisinya.

Posisi Syafei sendiri digantikan oleh Komisaris Besar I Nyoman Sindra, yang sebelumnya menjabat sebagai Inspektur Pengawasan Kepolisian Daerah Sulteng.

Khusus Syafei, ia diduga melakukan korupsi dana operasi Lanto Dago yang merugikan keuangan negara Rp 800 miliar.

Terkait dugaan korupsi itu, Syafei sempat diperiksa beberapa kali oleh Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri. Ia juga diduga terlibat dalam beberapa kasus pembalakan hutan di Sulawesi Tengah.

Dalam hal ini, Oegroseno juga diperiksa, karena atasan langsung Wakapolda.

Dari informasi yang dikumpulkan diketahui dana operasi Lanto Dago sebesar tak kurang dari Rp 800 milyar. Dana itu diperuntukkan bagi operasional sekitar 2.500 personil kepolisian dalam persiapan pembentukkan Kepolisian Resor Khusus Poso. Dari dana sebesar itu baru sekitar Rp 100 milyar yang disalurkan kepada para anggota Kepolisian itu sebagai uang operasional.

Bagaimana proses pemeriksaan kasus ini, tidak ada satu pun pejabat di Polda Sulteng yang mau memberikan keterangan.

Hambat Penyelesaian Poso
Nah, yang menarik pencopotan Kapolda Oegroseno memancing reaksi dari berbagai kalangan.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Antikekerasan (Kontras) Sulawesi Edmon Leonardo adalah salah satu pihak yang memprotes pencopotan Oegroseno.

Menurut Edmon, Kapolda Oegroseno relatif berhasil dalam penyelesaian kasus Poso. Oegroseno berhasil mengobrak-abrik jaringan koruptor dana kemanusiaan Poso yang mengantar bekas Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele dan bekas Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Andi Azikin Suyuti ke penjara.

Lalu, Oegroseno juga punya komitmen yang kuat bagi perbaikan citra kepolisian dengan menangkap anak buahnya yang terlibat dalam aksi penembakan Sitti Nurain dan Ivonne Nathalia.

Belasan pelaku aksi terorisme juga berhasil ditangkap. Sebutlah Andi Ipong dan Muhammad Yusuf yang kini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Keduanya didakwa terlibat serangkaian aksi terorisme di Poso selama kurun waktu 2000 - 2003.

Bahkan terakhir, ia sangat serius mengungkapkan 10 dari 16 nama yang disebut tiga terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu sebagai dalang kerusuhan Poso. Karena itu pulalah eksekusi atas ketiganya terus ditunda, karena Tibo cs adalah saksi kunci pengungkapan kasus Poso hingga ke akar-akarnya.

"Kami bertanya-tanya ada apa dengan pencopotan mendadak ini. Hal ini justru merusak agenda penyelesaian konflik Poso ke depan yang telah dibangun oleh Oegroseno," sebut Edmon.

Direktur Lembaga Pengembangan dan Studi Hak Azasi Manusia (LPSHAM) Huismant Brant juga berpendapat serupa. Menurut Huismant, Oegroseno benar-benar mempunya komitmen kuat bagi pengungkapan kasus Poso.

"Oegroseno benar-benar serius dalam upaya pengungkapan sejumlah kasus di Poso. Penundaan eksekusi Tibo cs juga adalah bagian dari upayanya mengungkap akar permasalahan di Poso. Namun sebagian orang menganggap dia melecehkan hukum dan tidak tegas," pandang Brant.

Oegroseno sendiri dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa ia terus berupaya mempertemukan Tibo cs dengan 10 nama yang mereka indikasi terkait dengan kerusuhan Poso. Ia juga melihat kasus Poso berbeda dengan daerah lain.

"Konflik Maluku bisa selesai, Aceh pun begitu. Saya heran justru Poso yang tak selesai-selesai. Padahal kita sudah cukup berusaha menyelesaikannya," ungkap mantan Wakapolda Bangka Belitung ini.

Oegroseno yang pernah menjabat sebagai Kabag Ops Polda Metro Jaya ini berharap bisa mempertemukan pihak-pihak terkait di Poso dalam satu meja.

"Kita harus membuka kasus ini selebar-lebarnya. lalu kemudian menyelesaikannya. Para tokoh-tokoh harus bicara lebih intens lagi dalam suatu meja," sebutnya.

Bahkan soal eksekusi Tibo cs, ia punya pendapat sendiri. Ia mengaku heran jika dalam konflik Aceh, Maluku dan Sampit tidak ada yang dihukum mati justru di Poso ada yang terhukum mati.

Yang tak kalah menarik, beragam isu beredar via short message service (SMS) terkait pencopotan ini. Salah satu isi SMS berbunyi jika dia dicopot karena menunda-nunda eksekusi Poso. Ada pula yang memprotes pencopotan itu.

Sementara Oegroseno sendiri jauh-jauh hari sudah menyatakan siap dipindahkan kapan saja terkait situasi pra eksekusi Tibo cs yang selalu mendatangkan pro kontra.

Jadi, seperti yang disebut Huisman, pencopotan Oegroseno jelas-jelas memutus mata rantai kerja-keras Polisi mengungkap kasus Poso setuntasnya.***

Saturday, August 26, 2006

Keluarga Kecewa Dilarang Bertemu Tibo

Palu - Harapan Nurlin Kasiala dan anaknya untuk menemui suaminya Fabianus Tibo, salah seorang terpidana mati kasus Poso lagi-lagi tidak tidak kesampaian. Pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas 2A, Palu, Sulawesi Tengah tidak mengizinkan Nurlin dan keluarganya untuk bertemu Tibo.

Nurlin Kasiala didampingi anaknya Robertus Tibo dan Pastor Jimmy Tumbelaka yang ditunjuk sebagai rohaniawan Tibo Cs, Sabtu (26/8/2006) pagi kembali mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Palu untuk membesuk Tibo//namun setibanya di Lapas, petugas tidak mengizinkan mereka masuk.

Alasan pihak Lapas, Tibo Cs bisa dibesuk keluarga, rohaniawan maupun penasehat hukumnya bila telah mendapat izin dari pihak kejaksaan tinggi Sulawesi Tengah. Memang, sejak Jumat (11/8/2006) lalu, pihak Lapas sudah tidak lagi mengizinkan pihak keluarga maupun yang lainnya untuk membesuk Tibo serta dua terpidana mati lainnya, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu.

Padahal, Menurut Pastor Jimmy Tumbelaka sejak minggu lalu keluarga Tibo sudah mengurusi izinnya. Namun dengan berbagai alasan, mereka juga tetap dilarang bertemu Tibo. Sementara ia yakin pula masih banyak hal yang akan disampaikan Tibo kepada pihak-pihak terkait. Semisal harapan yang disampaikan Tibo berikut ini melalui Pastor Jimmy.

“Saya minta Bapak Presiden dengan segala hormat, tolong dia lihat kasus ini. Eksekusi itu bukan pemecahan masalah. Tidak eksekusi juga bukan pemecahan masalah. Pemecahan masalahnya adalah ungkap yang sebenarnya,” ujar Pastor Jimmy.

Adapun Nurlin Kasiala, istri Tibo mengaku sangat kecewa karena tidak diperkenakan menemui suaminya. Nurlin menuturkan semenjak eksekusi mati yang sedianya dilaksanakan 12 agustus 2006 tertunda, dirinya telah berkali-kali berusaha menemui suaminya. Namun selalu gagal karena tidak pernah diizinkan.

“Saya sangat kecewa tidak bisa bertemu,” aku Nurlin

Meski pelaksanaan eksekusi mati terhadap Tibo cs ditunda, namun hingga kini siapapun tidak diperbolehkan menemui ketiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso ini. Ketiganya kini ditahan terpisah di sel khusus dengan pengamanan ekstra ketat.

Wednesday, August 23, 2006

Ratusan Senjata dan Amunisi Diamankan di Poso

Poso - Satuan tugas teritorial Tentara Nasional Indonesa dari Batalyon Infanteri 714 Sintuvu Maroso, Poso, Sulawesi Tengah mengamankan puluhan pucuk senjata api rakitan, ratusan butir amunisi serta tiga buah granat.

Barang-barang yang lazim digunakan Polisi atau TNI itu didapat dari warga sipil setempat dari Operasi Pemulihan Keamanan yang digelar selama sejak Juli hingga Agustus 2006 ini.

Senjata, amunisi dan bom yang disita dari warga maupun hasil penyerahan serta hasil operasi tersebut terdiri dari 49 pucuk senjata api rakitan laras panjang dan sepucuk senjata api organik laras pendek jenis revolver.

Barang-barang tersebut didapat dari Sulewana dan Pendolo, Kecamatan Pamona Utara, Poso, Sulawesi Tengah. Sebagian besar senjata dan bom ini ditanama warga di kebun-kebun dan hutan setempat.

Panglima Komando Daerah Militer VII Wirabuana, Mayor Jenderal Arief Budi Sampurno menyatakan sesungguhnya kondisi Poso saat ini telah Damai. Namun diakuinya, masih ada warga yang menyimpan senjata, amunisi dan bahan peledak sisa-sisa konflik.

“Kami mengharapkan agar warga yang masih memiliki senjata, amunisi dan bahan peledak illegal itu menyerahkannya kepada aparat keamanan,” kata Arief.

Ditambahkan Pangdam VII Wirabuana juga menyatakan bahwa masih ada sejumlah kelompok yang terus menebar teror di Poso guna menciptakan kondisi yang tidak aman.

“Namun yang menggembirakan secara keseluruhan warga Poso tidak lagi mudah terpancing aksi-aksi yang dilakukan pelaku teror,” demikian Mayjen TNI Arief Budi Sampurno di Poso, Sulawesi Tengah.***

Friday, August 18, 2006

Bom Kembali Guncang Poso

Poso - Sebuah bom berkekuatan low explosive atau berdaya ledak rendah kembali meledak di Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (18/8) pukul 23:45 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Bom tersebut meledak di Jalan Trans Sulawesi, di depan Rumah Yoseph, warga Kelurahan Sayo, Kecamatan Poso Kota. Tidak ada korban jiwa akibat peledakan bom ini.

Ledakan bom berdaya ledak rendah tersebut mengejutkan warga setempat. Ledakan terdengar hingga radius 2 kilometer dari titik ledakan. Bom tersebut menghancurkan pot-pot bunga dan merusak bagian depan rumah Yoseph, warga Kelurahan Sayo. Bom tersebut diletakkan di oleh orang tak dikenal di rumah warga tersebut pada malam hari saat penghuni rumah tengah tertidur lelap.

Beberapa saat setelah kejadian tim penjinak bahan peledak (Jihandak) Satuan Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng) langsung melakukan penyisiran. Untuk menghindari rusaknya tempat kejadian perkara (TKP) Polisi pun langsung memasang police line atau garis polisi.

Menurut Kepala Kepolisian Resor Poso AKBP Rudi Sufahriadi, dugaan sementara bom tersebut adalah bom hampa, karena tidak ditemukan adanya anasir-anasir logam atau semacamnya yang menyebar saat bom tersebut meledak. Bom tersebut dipastikan serupa dengan bom yang meledak pekan lalu di Stadion Kasintuwu, Poso Kota.

"Kami tengah menyelidiki peledakan bom ini. Motif dari aksi ini adalah upaya teror untuk membuat perasaan tidak aman bagi warga setempat," kata Rudi.

Rudi memastikan bahwa pelaku aksi peledakan bom ini masih berada di dalam wilayah Poso.

Sementara itu, situasi Kota Poso Kamis (19/8) hari ini terlihat berjalan lancar seperti biasanya. Aktivitas ekonomi di Pasar Sentral Poso terlihat tetap ramai, begitu pula arus lalu lintas keluar masuk Kota Poso.***

Tuesday, August 15, 2006

Dirgahayu Indonesia

Image Hosted by ImageShack.us
Enam puluh satu tahun. Itu usia kemerdekaan kita. Apakah kita sudah merdeka?

Friday, August 11, 2006

Dan Eksekusi Tibo Cs pun Ditunda

Image Hosted by ImageShack.usImage Hosted by ImageShack.us
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Sutanto, di Kantor Kepresidenan di Jalan Medan Merdeka Utara menyampaikan bahwa eksekusi atas tiga terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu ditunda. Penundaan itu dijadwalkan hingga tiga hari pasca peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus mendatang.

Jumat (11/8/2006). Kesibukan luar biasa terlihat di Kejaksaan negeri Palu, Sulawesi Tengah. Para jaksa telihat berkumpul. Beberapa mobil juga terlihat di parker. Sebuah mobil minibus dengan nomo Polisi DN 7401 A begtu menarik perhatian. Di dalam mobil milik Kejari Palu itu terlihat tiga peti mati dan sejumlah perlatan lain, semisal tali nilon.

Ya, tiga peti mati itu dipersiapkan untuk jenazah tiga terpidana mati Poso yang akan dieksekusi di depan regu tembak Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Dijadwakan, eksekusi mati atas ketiga lelaki asal Flores, Nusa Tenggara Timur itu akan dilakukan Sabtu (12/8/2006) pukul 00:15 WITA.

Malam terasa merangkak pelahan. Bulan penuh rupanya menghias langit. Jarum jam terus beputar. Waktu sudah menunjukkan pukul 23:00 WITA saat tiba-tiba mobil pengangkut peti jenazah itu bergerak melesat laju. Para wartawan pun memburunya hingga ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.

Ternyata, sampai waktu menunjukkan pukul 00:00 WITA, belum ada tanda-tanda tim eksekutor akan segera menjemput Tibo Cs di Lembaga Pemasyarakatan Klas 2 A, Palu.

“Eksekusi ditunda. Lihat saja tinggal 15 menit waktu tersisa dari jadwal yang ada,” demikian celetukan Amran Nawir Amier, wartawan TV7 yang sejak awal mengikuti proses persiapan eksekusi di Kejari Palu dan Kejati Sulteng.

Adapun Kepala Kejari Palu M Basri Akib, ditemani Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Penerangan Hukum Kejati Sulteng Hasman AH terlihat berdiam diri dalam ruangan.

Tiba-tiba dari Jakarta berhembus kabar, eksekusi atas Tibo cs ditunda. Suasana pun berubah senyap sejenak, sampai tiba-tiba Basri meminta Hasman menghubungi Humas Kejagung di Jakarta untuk menanyakan kebenaran kabar itu.

“Ya, memang benar bahwa eksekusi ditunda sampai tiga pasca Proklamasi RI,” kata Basri sesudahnya.

Sementara itu, tersiar kabar penundaan itu terkait dengan permintaan pemimpin tertinggi umat Katolik Dunia Paus Benedictus XVI kepada Presiden SBY. Paus meminta agar Presiden SBY memberikan klemensi kepada Tibo cs dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.

Dai Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, sekitar 275 kilometer dari Palu, ribuan umat Kristiani memadati gereja-gereja setempat. Do’a pengharapan agar eksekusi atas Tibo cs dibatalkan, berubah menjadi do’a suka cita dan kesyukuran.

“Puji Tuhan. Tuhan mendengarkan doa kita semua. Terima kasih buat semuanya,” demikian Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Pendeta Rinaldy Damanik menyatakan kegembiraannya.

Pastor Jimmy Tumbelaka dari Paroki Tentena pun menyatakan serupa. Pastor Jimmy yang merupakan pendamping rohani ketiga terpidana mati tersebut menyatakan bahwa penundaan itu disambut gembira oleh pihak keluarga.

“Mereka sangat bersukacita. Do’a dan harapan meeka dikabulkan Tuhan,” kata Jimmy.

Sudah tentu begitu pula halnya dengan Tibo, Domi dan Rinus.

Akankah permintaan Paus Benedictus XVI agar Presiden SBY memberikan mereka klemensi dikabulkan? Kita Tunggu saja.***

Tibo Cs: Kemuraman Sepanjang 2000 - 2006

23 Mei 2000
Penyerbuan kompleks Gereja Katolik Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, Kabupaten Poso. Tiga orang tewas dan kompleks gereja ludes dilalap si jago merah.

28 Mei 2000
Penyerbuan Pesantren Wali Songo di Desa Sintuwu Lembah dan Desa Kayamaya di Kabupaten Poso. Tidak kurang dari 200 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan ratusan rumah rusak.

25 Juli 2000
Fabianus Tibo pasukan Satuan Tugas Teritorial TNI Cinta Damai. Ia dibawah ke Korem 132 Tadulako, kemudian Polda Sulteng dan selanjutnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu.

31 Juli 2000
Dominggus da Silva dan Marinus Riwu menyerahkan diri, lima hari setelah Om Tibo ditangkap. Menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Beteleme, Morowali.

4 Desember 2000
Sidang pertama Tibo, Marinus, dan Dominggus digelar di Pengadilan Negeri Palu. Ketiganya didakwa melakukan pembunuhan berencana di sejumlah tempat di Poso pada pertengahan 2000.

15 Maret 2001
Jaksa penuntut umum A. Latara membacakan tuntutan hukuman mati bagi Tibo, Marinus, dan Dominggus.

4 April 2001
Tibo diperiksa polisi karena mengungkap beberapa nama yang terlibat dalam prahara Poso, Mei 2000.

5 April 2001
Majelis hakim Pengadilan Negeri Palu yang terdiri dari Soedarmo (ketua), Ferdinandus, dan Achmad Fauzi menghukum mati Tibo, Marinus, dan Dominggus.

17 Mei 2001
Pengadilan Tinggi menolak banding ketiga terdakwa dan memperkuat putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palu.

14 Juni 2001
Tim penasihat hukum ketiga terpidana mati mengajukan memori kasasi.

11 Oktober 2001
Mahkamah Agung menolak putusan kasasi Tibo. Marinus, dan Dominggus.

31 Maret 2004
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan ketiga terpidana mati.

September 2005
Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan grasi ke presiden.


10 November 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani penolakan grasi Tibo, Marinus, dan Dominggus.

1 Februari 2006
Keluarga terpidana kerusuhan Poso, Tibo cs, menyerahkan tiga bundel dokumen kepada Mabes Polri sebagai salah satu bukti keterlibatan 16 nama sebagai otak kerusuhan di Poso pada Mei 2000. Diantara 16 orang itu, terdapat nama Ganis Simangunsong dan Paulus Tungkanan.

20 Februari 2006
Tim pengacara Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua.

9 Maret 2006
PERSIDANGAN PK ke dua Tibo digelar di PN PALU. Dalam sidang ini, 9 saksi baru mengatakan bahwa Fabianus Tibo bukanlah pelaku dari pembunuhan, pembakaran dan penganiayaan di kompleks Wali Songo kilometer 9.

27 Maret 2006
Keluarga Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan grasi kedua kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

2 April 2006
Sekitar 1.000 warga Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), berkumpul di lapangan Kota Baru Maumere, berdoa bersama,memohon kepada Tuhan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemimpin terkait membatalkan eksekusi mati Fabianus Tibo, Domiggus da Silva dan Marianus Riwu.

3 April 2006
Dua terhukum mati kasus kerusuhan Poso,Sulawesi Tengah, Fabianus Tibo dan Dominggus da Silva, diperiksa tim Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Sulawesi Tengah. Pemeriksaan dilakukan karena Tibo dan kawan-kawan menyebut 16 aktor lapangan dan intelektual di balik rusuh Poso 2000 silam.

04 April 2006
Fabianus Tibo dan dua rekannya, mengajukan grasi yang kedua hari ini di Kejaksaan Agung melalui pengacaranya, Alamsyah Hanafiah. Pengacara meminta eksekusi hukuman mati ditunda karena Tibo menjadi saksi utama bagi penyidikan perkara itu.

9 April 2006
Sekitar 400 warga Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, kembali melakukan doa bersama untuk keselamatan Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48). Mereka berharap rencana eksekusi Tibo dkk dibatalkan karena meyakini bahwa Tibo dkk tidak bersalah dalam kerusuhan Poso III.

Sekitar 1.000 orang dari berbagai elemen masyarakat di Jakarta, Minggu (9/4) malam, menyalakan 1.000 lilin di Bundaran Hotel Indonesia, sebagai aksi protes terhadap rencana pemerintah yang ingin secepatnya mengeksekusi mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.


11 April 2006
Rencana eksekusi terhadap tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yakni Fabinaus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu akhirnya ditunda. Alasannya menurut Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Oegroseno, polisi masih akan melakukan konfrontasi terhadap 10 orang lainnya yang disebut oleh Tibo Cs sebagai dalang kerusuhan Poso.

13 April 2006
PK kedua TiBo sudah diterima MA, PK tersebut diregistrasi dengan Nomor 27 PK/Pid/2006.

17 April 2006
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan keputusan pengadilan memberikan hukuman mati kepada terpidana kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo cs, merupakan keputusan pengadilan atau hukum semata, bukan keputusan politik.

9 Mei 2006
Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menerima menolak peninjauan kembali (PK) kedua kasus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Penolakan itu dengan dasar bahwa tiga terpidana telah menggunakan hak hukumnya hingga grasinya ditolak pada November 2005 lalu. Pengajuan PK kedua yang dilakukan oleh tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso menyalahi undang-undang. MA menilai saksi baru yang diajukan oleh pengacara dalam PK kedua itu bukan sebagai novum.bukti baru.

10 Mei 2006
Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu, mulai menginap di sel isolasi. Ketiganya kini sudah tidak satu bangsal, tapi sudah menempati kamar sendiri-sendiri. Menurut Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kehakiman dan HAM Sulteng, Ma'as Damsik, ketiga terpidana mati tersebut sudah tak bisa ditemui kecuali kalau ada izin kari pihak Kejati Sulteng. Pihaknya, kata dia, sudah tak berwewenang mengeluarkan izin untuk ketemu Tibo cs.

10 Mei 2006
Aparat Kepolisan Poso membongkar kuburan di Desa Tambaro, Sintuwulembah, yang dianggap sebagai kuburan korban konflik Poso Mei 2000. Pembongkaran di daerah yang dikenal sebagai Kilo Sembilan, wilayah Pesantren Walisongo, itu ditemukan

sejumlah tengkorak dan pakaian korban yang masih utuh.
pembongkaran itu sebagai upaya untuk merekonstruksi kasus Kilo Sembilan yang menjadikan Febianus Tibo cs sebagai terpidana mati. Seorang warga mengaku melihat ada enam tengkorak yang diambil dalam lubang yang kini sudah dianggap kuburan. Enam tengkorak itu diambil dari dua lobang kuburan yang berbeda.

8 Agustus 2006
Kejari Palu (Sulawesi Tengah), mengirimkan surat pelaksanaan eksekusi kepada keluarga Fabianus Tibo cs. Isi surat ber-nomor SR.65/R.2.10/Buh.1/8/2006 yang diteken Kajari Mohammad Basri Akib SH, menetapkan bahwa eksekusi mati terhadap Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, akan dilaksanakan Sabtu (12 Agustus) ini, pukul 00.15 WITA.

11 Agustus 2005
Sekitar pukul 23.00 Waktu Indonesia Barat atau 24:00 Waktu Indonesia, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jalan Medan Medeka Utara menyatakan bahwa eksekusi ata Tibo cs ditunda hingga selesai perayaan peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Repubik Indonesia. Kapolri Sutanto mengatakan bahwa eksesusi bukan dibatalkan, namun ditunda. Selain kaena permintaan Muspida Sulawesi Tengah, juga karena peringatan HUT Proklamasi tesebut. Namun dikabarkan bahwa penundaan itu tekait dengan permintaan pemimpin tertinggi umat Katolik Dunia Paus Benedictus XVI kepada Presiden SBY. Paus meminta aga Presiden SBY memberikan klemensi kepada Tibo cs dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.***

Thursday, August 10, 2006

Tinggal di Rumah Gubuk dan cuma Makan Sagu

Potret Korban Kerusuhan Poso

Image Hosted by ImageShack.us

Poso - Puluhan kepala keluarga korban kerusuhan di Desa Kapompa, Poso, Sulawesi Tengah terpaksa hidup dalam kondisi memprihatinkan. Mereka hanya tinggal di gubuk-gubuk dan sudah kehabisan makanan selama empat bulan terakhir. Janji pemerintah setempat untuk membangunkan mereka rumah dan menyediakan bahan makanan sampai mereka mandiri tak dikunjung dipenuhi.

Hari masih pagi, puluhan kepala keluarga di Desa Kapompa, Kecamatan Lage, Poso, Sulawesi Tengah sudah terlihat beraktivitas. Ada yang menggendong wadah dari pelepah daun sagu berisi sagu yang baru saja mereka ramu, ada pula yang mencukur kelapa. Rupanya, itulah makanan mereka sehari-hari.

Di antara mereka adalah seorang lelaki tua berusia 60 tahun. Namanya Levi Bagu. Ia adalah salah seorang di antara korban kerusuhan yang saat itu mengungsi ke Tentena, sekitar 56 kilometer dari Poso. Dia memilih ke kampung halamannya yang luluh lantak karena dilanda konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) pada 2006 silam, karena Pemerintah Kabupaten Poso menjanjikan membangunkan rumah tinggal dan mencukupi kebutuhan bahan makanan mereka.

Ia ditemani istrinya yang juga telah sepuh, tinggal sementara di gubuk beratap dan berdinding rumbia dengan rangka dari bambu sejak April lalu.

"Saya ini sudah tua jadi memilih pulang kembali ke kampung halaman setelah Poso sudah agak aman. Saya juga pulang karena dijanjikan rumah dan ditanggung makanan selama kami belum punya, tapi ternyata tidak ada," aku Levi.

Ada pula Grace Pamimbi, perempuan paruhbaya yang juga menanti janji pemerintah tersebut. Ia mengeluh saat ini tinggal bisa memakan sagu yang mereka ramu dari hutan-hutan setempat.

"Dorang (mereka-red) cuma bisa ba janji-janji, tapi tidak ada buktinya," kata Grace penuh kegusaran.

Dua warga itu, adalah potret kehidupan ratusan korban kerusuhan Poso yang hampir lima tahun mengungsi ke daerah lain. Lalu saat mereka kembali ke daerah asalnya, mereka tersadar tidak punya apa-apa lagi.

Adapun Menurut Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Poso, Amirulah Sia, pemerintah tidak lagi bisa memenuhi bantuan pembangunan rumah bagi mereka.

"Mereka sudah bukan pengungsi lagi. Lagi pula sebagian besar mereka sudah diberikan bantuan pembangunan rumah tinggal ketika masih berada di pengungsian," jelas Amirullah.

Tentu saja Amirullah lupa, bahwa hampir Rp 100 miliar dana bantuan bagi pengungsi Poso juga sudah dikorupsi oleh sejumlah pejabat daerah. Sampai-sampai Bekas Kadis Kessos Andi Azikin Suyuti menjadi pesakitan dan bekas Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Poso.

Namun, buru-buru Amirullah menambahkan: "Ya, kalau misalnya mereka benar-benar membutuhkan bantuan, kita akan tetap bantu."

Jadi memang dengan alasan apapun puluhan kepala keluarga korban kerusuhan Poso di Kapompa dan ratusan korban lainnya tetap harus diperhatikan oleh pemerintah setempat.***

Keluarga Terpidana Mati Tetap Menolak Eksekusi

Tibo Minta Dipertemukan dengan Wartawan

Image Hosted by ImageShack.us

Palu - Robertus Tibo, Putra sulung Fabianus Tibo, salah seorah terpidana mati Kasus Poso, Kamis (10/8/2006) menemui ayahnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas 2 A, Palu, Sulawesi Tengah.

Robertus ditemani Ibunya Nurmin Kasiala dan sejumlah anggota keluarganya yang lain. Mereka tiba di Lapas Palu sekitar pukul 10:30 Waktu Indonesia Tengah. Sesampainya di Lapas, sekitar 15 menit mereka mengurus izin menjenguk pada petugas Lapas di loket yang telah disediakan. Usai itu para keluarga dekat Fabianus Tibo langsung memasuki Lapas yang kini makin ketat pengamanannya.

Selain itu, Penasehat Hukum dari Padma Indonesia, Steyvanus Roy Rening juga terlihat menemani keluarga terdekat Tibo ini.

Sesaat sebelum masuk ke Lapas, Robertus kembali menegaskan sikap keluarga mereka. "Sejak proses awal, kami melihat banyak ketidakadilan dalam peradilan atas bapak kami, Om Domi dan Rinus. Karenanya kami sekeluarga menyatakan menolak eksekusi ini," kata Robertus, tandas.

Nurmin Kasiala, istri Tibo pun menyatakan hal serupa. Menurutnya, suami tercinta itu hanyalah dijadikan korban. "Kami berharap agar Presiden bisa mendengar permintaan kami agar eksekusi bapak ditunda," ujar Nurmin, memelas.

Tujuh Jam yang Berharga
Tujuh jam lamanya pertemuan keluarga ini berlangsung di dalam ruangan Kepala Lapas Palu. Para wartawan sama sekali tidak diperbolehkan mengambil gambar, apalagi untuk mewancarai Tibo. Beruntung melalui hubungan telepon seluler milik kuasa hukumnya, Fabianus Tibo sempat menyapa wartawan. Ia berharap bisa menggelar konferensi pers bersama wartawan sebelum ia dieksekusi.

Seperti yang disampaikannya berkali-kali, Tibo menyatakan bahwa mereka tidak bersalah dan ada banyak orang yang mesti bertanggungjawab atas kerusuhan Poso.

"Bukan hanya kami bertiga yang harus dikorbankan," demikian Tibo.

Pesan Terakhir
Steyvanus Roy Rening setelah pertemuan itu menyampaikan beberapa pesan terakhir ketiga terpidana mati Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu.

"Fabianus Tibo meminta agar diberi kesempatan bertemu wartawan. Tibo ingin menyampaikan beberapa hal kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui wartawan," ujar Roy.

Disambung oleh Roy bahwa Dominggus dan Marinus juga meminta beberapa hal.

"Dominggus dan Marinus meminta agar jenazahnya dimakamkan di Flores, di kampung halamannya. Sementara Tibo, sesuai permintaan keluarga akan dimakamkan di Beteleme, Morowali, " sebut Roy.

Khusus kepada Robertus, Tibo berpesan agar ia menjaga keluarga. Meski dengan perasaan sedih, Robertus mengaku menyahuti permintaan ayahnya itu.

Apa yang akan terjadi pada Sabtu (12/8/2006) pukul 00:15 Waktu Indonesia Tengah (Wita) nanti? Kita tunggu saja keajaiban Tuhan.

Gelombang Protes
Sementara itu, gelombang protes menolak eksekusi atas tiga terpidana mati Poso itu terus berlangsung. Kamis (10/8/2006) siang, sejumlah aktivis pemuda dan pastor dari Keuskupan dan Paroki Palu, Sulawesi Tengah mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi, Sulteng. Mereka mendesak agar eksekusi mati tersebut dibatalkan.

"Hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang," teriak para demonstran.

Sayang, tidak ada satu pun pejabat Kejaksaan yang mau menerima mereka, sampai membubarkan diri.

Lalu, Kamis (10/8/2006) sore aktivis Koalisi Masyarakat Antihukuman Mati (Koma) menggelar demonstrasi di Bundaran Hasanuddin I, Palu, Sulawesi Tengah.

Namun, meski gelombang protes terus berdatangan, tampaknya Kejaksaan tetap bersikukuh mengeksekusi Tibo cs.***

Wednesday, August 09, 2006

Menghitung Hari, Menanti Ajal Menjemput

[Kabar Tiga Terpidana Mati Poso dari Penjara]

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak memberikan grasi pada Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, tiga orang yang selama ini dianggap sebagai dalang kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah pada 2000 silam. Presiden menilai tak cukup alasan memberikan grasi kepada para terpidana mati tersebut. Berikut ini laporan dari Lembaga Pemasyarakat Kelas 2 A Palu, Sulawesi Tengah.

Di Palu, Jumat (11/11) di suatu malam silam, di sebuah bilik kecil berpintu dan berjendela jeruji besi, di atas dipan yang terbuat dari beton, seorang lelaki paruh baya terlihat gelisah. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Padahal baru saja ia bercengkrama dan bertanding catur dengan kawan-kawannya. Ia tak dapat menyembunyikan galau hatinya. Laki-laki itu adalah Fabianus Tibo, 60, salah seorang terpidana mati Poso.


Di Jakarta, Kamis (10/11) di Istana Negara, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengumumkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak permohonan grasi tiga terpidana mati Poso, yakni Fabianus Tibo, 60, Dominggus alias Domi, 42, dan Marinus Riwu, 48.

"Presiden telah menandatangani penolakan permohonan grasi kepada tiga orang terpidana tersebut, " demikian Mensekneg Yusril.

Ternyata kabar itulah yang membuat galau hati lelaki kelahiran Flores itu. Hatinya terpukul, karena begitu berharap agar Presiden SBY mengabulkan permohonan grasi yang mereka ajukan April 2005 lalu.

“Sewaktu saya mendengar ditolaknya grasi itu, saya pun terdiam. Sebagai manusia biasa, terus terang saya terkejut,” aku Om Tibo, demikian ia disapa oleh kawan-kawannya di Lapas Palu

Di tempat lain di kompleks Lapas yang terletak di Jalan Dewi Sartika, Kelurahan Birobuli, Palu Selatan itu, ada pula Dominggus yang biasa disapa Domi. Juga ada Marinus, yang lebih suka dipanggil Rinus. Hati keduanya tak kalah galau dari Om Tibo.

“Saya tidak terima penolakan grasi dari Bapak Presiden itu, karena bukan saya yang bersalah,” tukas Domi, saat ditanyai oleh Sinar Harapan, Kamis (17/11) di ruangan Kepala Lapas Kelas 2 A Palu, Purwadi Utomo.

“Saya sudah siap, kalau akhirnya ditembak mati. Tapi saya tetap tidak menerima penolakan grasi itu. Sebab saya tidak tahu apa-apa tentang kerusuhan Poso ini,” sambung Rinus kemudian.

Dibanding Om Tibo, Domi dan Rinus terkesan lebih bereaksi mendengar kabar itu. Domi tampak uring-uringan sejak mendengar kabar itu, Jumat (11/11) lalu.

“Saya stress. Saya seperti mau marah-marah saja,” aku Domi, pada Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan, J Tompodung.

Beruntung ketika ditemui Sinar Harapan, mereka mau menerimanya. Bahkan mereka meminta agar semua perkataannya disampaikan kepada masyarakat.


Vonis Mati PN Palu
Om Tibo lelaki yang biasa-biasa saja. Begitu pun Domi dan Rinus. Tak ada yang istimewa dari ketiganya. Namanya melambung dan menghiasai halaman demi halaman media massa dan layar kaca saat Pengadilan Negeri Palu mulai menyidangkan mereka pada September 2000. Mereka didakwa menghilangkan nyawa 191 warga Poso dan menyebabkan kerugian Rp 40 miliar dalam kerusuhan Poso pada Mei-Juni 2000.

Om Tibo ditangkap diDesa Jamur Jaya, Kecamatan Lembo, Morowali, Sulawesi Tengah pada Selasa, 25 Juli 2000 oleh Satuan Teritotial Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Lalu diserahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah keesokan harinya. Adapun Domi dan Rinus lebih memilih menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Beteleme, Morowali. Keduanya menyerah pada Senin, 31 Juli 2005, lima hari setelah Om Tibo ditangkap.

Sejak saat itu mereka pun menjadi pusat perhatian. Proses pengadilan mereka selalu dipadati massa yang pro dan kontra dengan mereka.

Sampai kemudian pada 5 April 2001, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu yang diketuai Soedarmo menjatuhkan vonis hukuman mati kepada ketiganya. Mereka dipersalahkan melakukan kejahatan pembunuhan berencana, sengaja menimbulkan kebakaran dan penganiayaan yang dilakukan bersama-sama secara berlanjut. Meski mereka menyatakan tetap tidak menerima penetapan itu.

Proses hukum pun terus berjalan. Ketiganya atas putusan Pengadilan Negeri pada
5 April 2001, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah. Namun pada 17 Mei 2001, menyatakan tidak menerima banding mereka. Mereka tak lantas putus asa. Mereka pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sayang, lagi-lagi upaya mereka menemui kegagalan, 11 Oktober 2001 dinyatakan kasasi mereka ditolak. Setelah, dengan dasar bukti hukum baru mereka pun mengajukan Peninjauan Kembali ke MA. Tapi lagi-lagi kandas di tengah jalan, 21 Maret 2004 keputusan vonis mati diperkuar lagi oleh MA. Artinya mereka tetap akan menjalani hukuman mati sesuai putusan PN Palu, 5 April 2001.

Namun lubang hukum tetaplah ada. Pada April 2005, mereka pun mencoba memohon grasi ke Presiden SBY. Sayang, mereka
harus kecewa lagi. Kamis (10/11), Presiden SBY melalui Mensekneg Yusril menyatakan tidak menerima permohonan itu.

Usai sudah upaya hukum yang bisa ditempuh. Tinggal keajaiban yang mungkin bisa mengubahnya.

“Saat ini kami sudah melakukan persiapan, termasuk prosedur pelaksanaan eksekusi. Dengan begitu, saat petikan Kepres kami terima, maka teknis pelaksanaan eksekusi sudah matang,” sebut Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati Sulteng, I Putu Gde Djeladha.

Dari Kebun Karet ke Penjara
Om Tibo, lahir di Flores 60 Tahun lalu. Ia anak ke-6 dari pasangan Orbertus Andapo dan Maria Mosso. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) setempat, namun tidak tamat.

Menginjakan kaki pertama kali di Sulawesi Tengah pada 1973, tepatnya di Luwuk, kota kecil di perut Pulau Sulawesi. Di sana dia menjadi buruh pada PT Marabunta. Di Luwuk pula, dia bertemu tambatan hatinya, Nurlin Kasiala yang memberi tiga anak lelaki dan satu anak perempuan.

Lalu pada 1978, hijrah ke Jamur Jaya, Morowali. Di sana dia bekerja sebagai penyadap karet di PT Perkebunan Nusantara XIV Unit Kebun Beteleme. Di sana ia dituakan. Apalagi dia mempunyai keahlian sebagai dukun.

Adapun Domi lahir di Maumere pada 42 tahun lalu. Domi adalah satu-satunya buah hati Dominicus da Silva dan Maria Dualio. Setelah sebelumnya sempat merantau di Jakarta, Domi yang lulusan Sekolah Teknik Menengah jurusan mesin itu, pada 1991 hijrah ke Morowali. Lalu tahun itu juga, ia memilih bekerja di PT Inco, Soroako, Sulawesi Selatan, namun memilih tinggal di Beteleme. Setiap Senin ia ke Soroako, dan Sabtu kembali ke Beteleme. Ia bekerja sebagai sopir alat-alat berat di perusahaan pertambangan multinasional itu.

Untuk menambah tebal dompetnya, Domi pun mengikuti jejak Om Tibo bekerja di di PT Perkebunan Nusantara XIV Unit Kebun Beteleme. Sampai kemudian, konflik Poso menyeretnya ke Penjara bersama Om Tibo.

Seperti dipertemukan Tuhan, Rinus pun berasal dari jazirah Nusa Tenggara namun bertemu di wilayah Morowali. Rinus yang lahir 48 tahun lalu di Kupang, adalah anak bungsu dari pasangan Daniek Djaga dan Lusiana Bude. Di Molores, kampung orang-orang Nusa Tenggara di Bungku, Morowali, ia menikahi seorang perempuan yang memberinya empat orang anak. Ia pun bekerja di PT Perkebunan Nusantara XIV.

Ketiganya adalah orang-orang yang mudah diajak bergaul. Tidak memandang buluh dalam berteman, bisa jadi karena latarbelakang keluarga mereka yang sangat sederhana.

Umumnya, warga binaan di Lapas Kelas 2 A Palu punya kesan serupa kepada ketiganya. Termasuk para sipir Lapas provinsi itu.

“Selama kami bergaul dengan Om Tibo, Domi dan Rinus, mereka memberi kami banyak pelajaran. Khusus Om Tibo, sudah kami anggap seperti orang tua kami sendiri. Dia selalu memberi kami nasehat-nasehat, dia rajin sekali ke gereja,” aku Vecky, warga binaan yang tinggal sekamar dengan Om Tibo di Blok 4.

“Khusus terpidana mati Tibo, saya pasti akan merasa kehilangan, karena orang tua ini, mengajarkan banyak ketrampilan yang berguna bagi warga binaan lainnya. Saya banyak terbantu dengan kehadirannya,” sambung Muhammad Anis, salah seorang Sipir.

Ya, hampir terlupa, di Lapas, Tibo dan Domi mengajarkan banyak kerajinan tangan kepada warga binaan lainnya. Jika Tibo mengajarkan anyam-menganyam, maka Domi mengajarkan ketrampilan membuat beragam barang mulai dari asbak sampai pigura dan sebuk gergaji.

Anyaman rotan atau bambu yang dibuat Tibo dan kawan-kawannya telah menghiasi rumah Gubernur Sulawesi Tengah Aminuddin Ponulele dan sejumlah pejabat lainnya. Anyamannya bisa berbentuk pot, keranjang tas atau apa saja sesuai permintaan pembeli.

Adapun kerajinan Domi tak kalah menariknya. Patung-patung, asbak dan pigura telah menyebar di sejumlah rumah pejabat, bahkan wartawan yang senang melihat barang kerajinan buatan Domi itu.
Saban peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, beragam buah tangan mereka itu dipamerkan di Kantor Gubernur atau di Lapas. Dan sudah tentu pasti langsung laku terjual.

Kini, ketiganya tengah menghitung hari menanti ajal tiba di hadapan regu tembak. Om Tibo, meski mengaku tidak menerima, pasrah saja dengan keadaannya.

“Allah Bapak di Sorga, dengarkanlah doa kami, agar engkau boleh memberikan keluarga kami kekuatan iman dan ketabahan hati. Jangan membiarkan mereka, sepeninggal kami nantinya,” sayup-sayup doa Tibo di sebuah gereja kecil di kompleks Lapas terbawa sampai jauh oleh angin yang bertiup perlahan.

Lalu, teng…teng…teng…bunyi bel penanda waktu yang dibunyikan setiap jamnya meningkahi irama khusuknya doa lelaki yang selalu berpakaian rapi itu, menembus tembok-tembok kukuh lapas. ***

Menganyam, Mengisi Hari-hari Terakhir Menanti Eksekusi

Palu - Tiga terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, kini tengah menanti detik-detik terakhir hidup mereka. Eksekusi mati atas ketiganya sudah di ambang mata. Namun, hal itu tak membuat mereka patah semangat dan putus asa. Mereka mengisi hari-harinya dengan beragama kegiatan mulai dari membuat kerajinan hingga beribadah.

Kamis (30/3) pagi hari Fabianus Tibo, lelaki yang akrab disapa Opa bersama Marinus di ruangan ketrampilan Lembaga Permasyarakatan KLAS 2 A Petobo, Palu, Sulawesi Tengah tengah asyik masyuk dengan belahan rotan yang siap dianyam menjadi keranjang tudung saji dan berbagai asesories lain.

Tangan tua Opa Tibo tampak trampil menganyam bilah-bilah rotan itu. Maklumlah, di Lapas ini dialah yang mengajar ketrampilan anyaman yang didapatnya di perantauan sejak meninggalkan kampung halamannya Flores di Nusa Tenggara Timur. Dalam sehari Tibo bisa menyelesaikan satu buah keranjang namun bisa lebih bila bahan rotannya tersedia.

”Saya suka menganyam, ini melatih kesabaran. Lagi pula saya sudah tua, ini pekerjaan yang ringan tapi bermanfaat. Bisa juga mendatangkan uang. Makanya saya senang mengajarkan anyam-menganyam ini pada semua anak-anak muda di Lapas ini,” aku Opa Tibo.

Di sudut yang lain dalam ruangan yang sama, Marinus juga tampak ceria dengan anyamannya. Meski tak sepandai Opa Tibo, Marinus pun trampil menganyam. Ia mengaku Opa Tibolah yang mengajarnya menganyam.

”Saya dulu tidak tahu kerja begini. Nanti Opa Tibo yang ajarkan saya. Saya juga jadi suka menganyam. Soalnya bisa tambah-tambah uang rokok,” kata Marinus, sambil tertawa.

Selepas dari ruangan ketrampilan, Opa Tibo dan Marinus segera beranjak ke gereja di halaman tengah Lapas. Bersama narapidana lain, mereka berdua khusyuk beribadah.

Berbeda dengan Opa tibo dan Marinus, Dominggus, terpidana mati termuda dari ketiganya tampak lebih emosional dan tertutup. Apalagi kepada wartawan. Itulah yang tampak ketika para wartawan berusaha menemuinya saat tengah bersama sejumlah biarawati dan penasehat hukumnya.

”Saya tidak suka sama pengacara, cuma janji-janji saja kami bisa bebas, tapi tidak ada buktinya. Begitu juga wartawan,” tandasnya.

Hingga kini, di saat-saat kehidupan mereka mendekati batas akhir ketiganya tetap yakin tak bersalah atas meninggalnya sekitar 200 orang dan lima ribuan lebih rumah yang terbakar dalam Kerusuhan Poso tahun 2000 silam. Menurut mereka, ada orang-orang yang harus bertanggungjawab atas kerusuhan Poso dan itu bukan mereka.***

Wednesday, August 02, 2006

Densus 88 Kejar Tersangka Mutilasi 3 Siswi SMU Poso

Palu – Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia saat ini tengah mengejar BSR, seorang lelaki asal Poso, Sulawesi Tengah. Lelaki itu diduga sebagai tersangka pelaku mutilasi tiga siswi Sekolah Menengah Umum Kristen Gereja Kristen Sulawesi Tengah di Poso pada Sabtu (29/10/2005) tahun silam lalu.

Lelaki berinisial BSR itu diketahui dari pengakuan Hasanudin, Haristo, dan Irwanto Irano, tiga tersangka lainnya yang kini ditahan di Mabes Polri sejak Mei 2006 lalu. Menurut mereka, BSR adalah salah seorang eksekutor dalam aksi mutilasi yang menewaskan Alvita Polowiwi (19), Yusriani Sampoe (15) dan Theresia Morangke (16).

Berdasarkan keterangan ketiga orang yang ditangkap di Tolitoli, Sulawesi Tengah pada Mei 2006 lalu itu, Densus kemudian memburu BSR ke Poso, Sulawesi Tengah.

Tim yang dipimpin oleh Wakil Kepala Intelejen dan Keamanan Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Azikin itu, saat ini sudah berusaha mendekati sejumlah tokoh agama di Poso, semisal Ustadz Mohammad Adnan Arsal. Ustad Adnan selama ini memang dikenal sebagai tokoh sentral yang memiliki keterkaitan dengan sejumlah tersangka aksi kekerasan di Poso semisal ketiga orang tadi serta juga Ipong dan Yusuf yang kini perkaranya tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Itu karena Ustads Adnan adalah pimpinan Pondok Pesantren Amanah yang terkenal di Poso pasca kerusuhan Poso tahun 2000. Pada beberapa kesempatan Ustadz Adnan mengakui mengenal para tersangka itu secara pribadi.

“Karena saya yang mendidik mereka pengetahuan agama. Tapi saya tidak mengajarkan mereka tentang kekerasan dan sebagainya,” ungkap Adnan.

Nah, karenanya tim Densus 88 terus berusaha mendekati Adnan agar BSR dapat menyerahkan diri secara sukarela, sebelum diambil tindakan tegas sesuai hukum yang berlaku.

Namun, tidak ada satu pun perwira dari Polda Sulteng dan Densus 88 mau memberikan keterangan resmi atas soal ini. Hanya saja, sumber koran ini di Polda Sulteng dan Densus 88 sudah menyatakan bahwa jika proses negosiasi gagal, mereka akan mengambil tindakan repressif.

“Kami sudah mengupayakan pendekatan kekeluargaan agar mereka bisa menyerahkan BSR kepada kami. Kalau upaya ini gagal, kami harus mencari cara lain,” sebut sumber itu.

Untuk diketahui, saat ini, untuk memasuki kompleks Pesantren Alamanah, Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Redjo, Poso Kota kita harus mengantongi izin dari Ustadz Adnan Arsal.

Beberapa wartawan sempat lolos dan melakukan peliputan namun beberapa lainnya harus pulang menggigit jari, karena ketatnya pengawasan.

Dari penelusuran, ternyata pesantren yang disamakan Wakil Presiden Yusuf Kalla dengan pesantren Al Islam Ngruki, Jawa Tengah, ini berisi 16 santri putri, 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kanak dan 65 orang santri putra seusia anak-anak sekolah menengah pertama alias abege.

Pesantren ini didirikan tanggal 4 Mei 2001 untuk menampung mantan santri Pesantren Walisongo, di Kilo 9 Lage, Poso, yang dibakar dan sekitar 200 santrinya dibunuh para perusuh dalam konflik Poso Mei 2000.

Saat ini, pesantren Amanah berdiri di dua lokasi berbeda. Pesantren Amanah di Tanah Runtuh menjadi tempat belajar 16 santri putri dan 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kana. Lalu yang satu lagi di Landangan, Poso Pesisir yang menjadi tempat belajar 65 santri putra.

Tidak ada kegiatan lain yang mencolok dari para santri kecuali belajar agama. Pengajaran agamanya disesuaikan dengan kurikulum nasional. Adapun pengajian kitab kuning dilaksanakan di luar jadwal jam pelajaran sekolah.

Memang kini pesantren itu terkesan tertutup dari orang luar. Itu terjadi lantaran setiap peristiwa kekerasan terjadi di Poso, pesantren ini selalu menjadi sasaran penggeledahan polisi. Makanya, mereka terkesan sangat berhati-hati menerima tamu. Sebab polisi yang biasa datang selain memakai seragam juga ada yang tidak.***

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]