Saturday, September 30, 2006

Polda Sulteng Tambah 4 SSK Brimob di Poso

Palu – Poso kembali bergolak. Jumat (29/9) kemarin sekitar pukul 15.00 WITA, Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Pamona Timur tiba-tiba diserang massa . Selain melakukan pelemparan dengan menggunakan batu, massa juga melakukan pembakaran dan perusakan terhadap 3 mobil milik polisi. Dua mobil dibakar massa adalah mobil truk dan mobil kijang patroli, sementara satu mobil patroli dirusak. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.

Dilaporkan suasana pagi ini di tempat kejadian perkara, terlihat masih mencekam. Polsek Pamona Timur yang mengalami kerusakan cukup parah dijaga oleh aparat TNI dari Batalyon 714 Sintuwu Maroso yang bermarkas di Kompi Pendolo.

Sampai saat ini belum diketahui penyebab dari aksi massa yang tiba-tiba menyerang Mapolsek Pamona Timur. Menurut Wakapolda Sulteng Kombes Pol I Nyoman Sidra, pihaknya sampai saat ini masih menyelidiki motif dibalik penyerangan itu.

“Beberapa warga yang sudah dimintai keterangan, tapi belum ada yang mengarah sebagai tersangka ataupun provokator yang menggerakkan massa untuk menyerang polsek,” jelas Nyoman.

Dugaan sementara, massa yang mengamuk itu disebabkan karena kedatangan Kapolda Sulteng Kombes Pol Badrodin Haiti dengan helicopter yang mendarat di lapangan tidak jauh dari massa yang melakukan pesta rakyat atau padungku (panen raya) . Selain itu dipicu juga dengan pelaksanaan eksekusi mati terhadap tiga terpidan mati kasus Poso, Tibo dan kawan-kawan

Melihat kedatangan Kapolda warga langsung marah dan melempari kendaraan yang ditumpangi Kapolda. Saat kejadian itu massa begitu beringas. Akhirnya Kapolda berhasil diselamatkan. Tidak hanya mobil polisi, massa juga sempat melempar heli. Namun bisa diselamatkan dan langsung terbang menjauhi lokasi. Untuk diketahui kedatangan Kapolda di Desa Taripa tersebut untuk memback-up langsung pencarian terhadap dua warga yang hilang itu.

Sementara itu, untuk mengantisipati meluasnya gangguan keamanan, sebanyak empat Satuan Setingkat Kompi (SSK), yang terdiri dari dua SSK Brimob Polda Kalimantan Timur dan dua SSK Brimob Polda Sulawesi Selatan , Jumat (29/9) malam, sekitar pukul 23.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA), tiba di Bandara Mutiara Palu dan langsung diberangkatkan ke Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.***

Poso Tegang, Jalur Darat Ditutup

Palu – Satu minggu pasca eksekusi mati, Fabianus Tibo Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu, beberapa gangguan keamanan terus saja terjadi di beberapa kecamatan di Kabupaten Poso. Jumat (29/9) sekitar pukul 19.30, dua orang tidak dikenal dengan berboncengan mengendarai motor bebek merk Honda, melemparkan granat nanas ke sekumpulan orang yang sedang berkumpul di bekas pos penjagaan brimob di Kelurahan Sayo, Poso Kota.

Granat yang masih terikat dengan tali rafia warna merah saat dilempar mengenai kaki salah seorang warga Kelurahan Sayo bernama Robert (32). Untung saja Granat itu belum meledak dan berhasil diamankan oleh tim penjinak bom. Pada hari yang sama sekitar pukul 22.00 WITA, ditemukan mayat laki-laki bernama Metro Imbah Tanpasigi (23), di Desa Tambaro Kecamatan Lage, Kabupaten Poso.Dugaan sementara korban dibunuh. Mayat korban saat ini masih berada di kamar mayat Rumah Sakit Umum Daerah Poso.

Sabtu (30/9) dini hari tadi secara berurutan ledakan bom terjadi sekitar pukul 01.00, dua buah bom meledak di terminal. Dan satu jam berikutnya, sebuah bom meledak di Gereja Eklesia. Tidak lama kemudian sebuah bom meledak lagi di pasar ikan di Kelurahan Sayo. Tidak ada korban jiwa dalam ledakan itu. Diduga bom yang meledak itu merupakan bom hampa.

Sebelumnya, Rabu (27/9) dua warga Desa Masamba, Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan, Arham Badarudin (40) dan Rendi Rahman alis Wandi (17) yang berprofesi sebagai penjual ikan, hilang antara Desa Taripa dan Desa Masewe, Kecamatan Pamona Timur 97 km arah selatan Kota Poso. Mobil Suzuki Carry yang yang ditumpangi ditemukan polisi jatuh di dalam jurang di Desa Masewe. Saat ini mobil Suzuki Carry

Awalnya kedua orang yang dinyatakan hilang ini diduga mengalami kecelakaan, namun saat mobil diangkat dari jurang, tidak ditemukan adanya kedua korban. Memasuki hari keempat ini pencarian korban terus dilakukan. Menurut Kapolda Sulawesi Tengah Komisaris Besar Polisi Badrodin Haiti , untuk pencarian korban pihaknya telah melibatkan tim dari tiga polres. Polres Tojo Unauna, Polres Poso dan Polres Luwu Utara.

Ada dugaan, kedua warga Masamba itu dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata. Namun Kapolda belum bisa memastikan apa yang terjadi dengan dua orang tersebut.

“Hilangnya kedua orang ini jangan dikait-kaitkan dengan persoalan SARA dan eksekusi terhadap Tibo dan kawan-kawan, karena sampai saat ini kami masih terus melakukan pencarian dan penyelidikan,” ujar Badrodin.

Sementara itu, suasana Kota Poso sendiri sejak tadi malam terlihat mencekam, semua kendaraan bermotor yang melewati Jalan Trans Sulawesi diperiksa oleh aparat dan disarankan untuk tidak melanjutkan perjalan pada malam hari, mengingat situasi keamanan yang tidak menentu. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan jalur darat khususnya Poso-Tentena-Taripa dan Pendolo untuk sementara ditutup. Mengingat sampai sekarang dua warga Sulsel yang hilang beberapa waktu lalu belum diketahui nasibnya.***

Wednesday, September 27, 2006

Kapolda Sulteng Bantah Tibo dkk Disiksa sebelum Eksekusi

Palu - Kepala Kepolisian Daerah Sulteng Komisaris Besar Badrodin Haiti membantah Polisi dan Kejaksaan telah menyiksa dan memperlakukan tidak wajar terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, sebelum dan saat eksekusi pada Jumat dinihari (22/9) lalu. Pernyataan ini dikeluarkan menyusul keberatan Stevanus Roy Rening, Koordinator Penasehat Hukum Tibo, dkk dari Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia yang menyatakan Tibo dkk diperlakukan tidak wajar. Menurutnya prosedur eksekusi tdak sesuai Penetapan Presiden RI Nomor 2 Tahun 1964 tentang eksekusi mati.

Badrodin menegaskan bantahan soal itu kepada wartawan di Palu, Kamis (28/0) hari ini. Menurutnya, eksekusi atas tiga terpidana mati sudah sesuai dengan prosedur tetap yang dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.

Sesuai Protap, jelas Badrodin, eksekusi mati dilaksanakan oleh satu regu tembak terdiri dari seorang kepala regu dan 12 anggota bersenjata laras panjang. Lalu enam Senjata berisi enam peluru tajam dan enam lainnya hanya peluru hampa.

“Setelah eksekusi Tibo dkk juga langsung divisum tiga dokter dari Dokkes Polda Sulteng dan tiga dokter umum dari Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Jadi semuanya sudah sesuai protap,” terang Bekas Kapolda Banten ini.

Bantahan ini menyusul dugaan keluarga korban bahwa ketiga terpidana mati tersebut disiksa dan diperlakukan tidak wajar sebelum dan sesudah eksekusi. Bahkan pihak keluarga Tibo dan Rinus telah meminta dokter dari Pusat Kesehatan Masyarakat Beteleme, Morowali, Sulteng memeriksa jenazah keduanya.

Pihak keluarga heran atas luka dipunggung kiri Rinus, begitupula luka di dagu bawanya yang tembus hingga ke bibir bagian atas. Bahkan hingga dikebumikan dari hidung Rinus darah segar terus mengucur.

Dari hasil visum yang juga diterima Padma Indonesia dua tulang rusuk belakang sebelah kiri Tibo patah dan pada wajahnya terdapat tiga luka lecet. Pada bagian jantung Marinus juga terlihat luka irisan
sepanjang 3-4 centimeter. Luka itu tembus sampai punggung Marinus.

Namun, Badrodin menyebutkan bahwa kemungkinan irisan luka di jantung Rinus disebabkan oleh pecahan selongsong peluru. “Sebab tidak ada personil regu tembak yang dibekali sangkur,” imbuh Badrodin.***

Kapolda Sulteng Bantah Tibo dkk Disiksa sebelum Eksekusi

Palu - Kepala Kepolisian Daerah Sulteng Komisaris Besar Badrodin Haiti membantah Polisi dan Kejaksaan telah menyiksa dan memperlakukan tidak wajar terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, sebelum dan saat eksekusi pada Jumat dinihari (22/9) lalu. Pernyataan ini dikeluarkan menyusul keberatan Stevanus Roy Rening, Koordinator Penasehat Hukum Tibo, dkk dari Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia yang menyatakan Tibo dkk diperlakukan tidak wajar. Menurutnya prosedur eksekusi tdak sesuai Penetapan Presiden RI Nomor 2 Tahun 1964 tentang eksekusi mati.

Badrodin menegaskan bantahan soal itu kepada wartawan di Palu, Kamis (28/0) hari ini. Menurutnya, eksekusi atas tiga terpidana mati sudah sesuai dengan prosedur tetap yang dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.

Sesuai Protap, jelas Badrodin, eksekusi mati dilaksanakan oleh satu regu tembak terdiri dari seorang kepala regu dan 12 anggota bersenjata laras panjang. Lalu enam Senjata berisi enam peluru tajam dan enam lainnya hanya peluru hampa.

“Setelah eksekusi Tibo dkk juga langsung divisum tiga dokter dari Dokkes Polda Sulteng dan tiga dokter umum dari Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Jadi semuanya sudah sesuai protap,” terang Bekas Kapolda Banten ini.

Bantahan ini menyusul dugaan keluarga korban bahwa ketiga terpidana mati tersebut disiksa dan diperlakukan tidak wajar sebelum dan sesudah eksekusi. Bahkan pihak keluarga Tibo dan Rinus telah meminta dokter dari Pusat Kesehatan Masyarakat Beteleme, Morowali, Sulteng memeriksa jenazah keduanya.

Pihak keluarga heran atas luka dipunggung kiri Rinus, begitupula luka di dagu bawanya yang tembus hingga ke bibir bagian atas. Bahkan hingga dikebumikan dari hidung Rinus darah segar terus mengucur.

Dari hasil visum yang juga diterima Padma Indonesia dua tulang rusuk belakang sebelah kiri Tibo patah dan pada wajahnya terdapat tiga luka lecet. Pada bagian jantung Marinus juga terlihat luka irisan
sepanjang 3-4 centimeter. Luka itu tembus sampai punggung Marinus.

Namun, Badrodin menyebutkan bahwa kemungkinan irisan luka di jantung Rinus disebabkan oleh pecahan selongsong peluru. “Sebab tidak ada personil regu tembak yang dibekali sangkur,” imbuh Badrodin.***

Tuesday, September 26, 2006

Tibo dan Rinus Dimakamkan dengan Cara Adat

Palu - Terpidana mati Poso Fabianus Tibo (60) dan Marinus Riwu (48) akhirnya dimakamkan secara adat Nusa Tenggara Timur di tempat berbeda di Morowali, Sulawesi Tengah, Minggu (24/9). Keduanya bersama Dominggus da Silva ditembak mati regu tembak Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.

Jenazah keduanya sebelumnya disemayamkan di Gereja Khatolik Santa Maria, Morowali, Sulteng sejak Jumat (22/9) setelah diterbangkan dari Bandara Mutiara Palu menuju Beteleme melalui Soroako.

Ribuan umat Khatolik dan warga Flores, NTT setempat mengiringi kepergian kedua jenazah tersebut ke peristirahatan terakhir.

Pastor Jimmy Tumbelaka yang memimpin prosesi ibadah penguburan tersebut menyatakan mereka telah menjadi korban dari kepentingan besar di luar mereka.

"Mereka telah menjadi martir bagi penegakan hukum di Poso. Mereka adalah saksi kunci, sayangnya, mereka harus berhadapan dengan regu tembak," kata Jimmy.

Tibo dikuburkan di Pekuburan Umum Benteng, Beteleme, Biromaru, Sulawesi Tengah. Prosesi penguburan didahului dengan memercikkan air suci ke atas kuburan putra asal Flores itu.

Nurlin Kasiala dan Robertus Tibo, istri dan anak sulung Tibo, terlihat tegar mengikuti prosesi penguburan itu.

"Air mata kami sudah habis. Perjuangan kami sia-sia. Bapak akhirnya menemui akhir hidupnya di depan regu tembak," kata Robertus.

Sementara itu, Marinus dikuburkan di Pekuburan Umum Moroles, Kecamatan Petasia, Morowali. Ribuan pelayat juga mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya.

Dari Kebun Karet ke Ujung Senapan Regu Tembak

Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, sosok yang tak dikenal hingga kemudian menghiasi media cetak nasional dan internasional, terpampang di televisi nasional dan internasional. Berikut rangkuman jejak mereka dari kebun karet ke ujung senapan regu tembak.

23 Mei 2000
Penyerbuan kompleks Gereja Katolik Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, Kabupaten Poso. Tiga orang tewas dan kompleks gereja ludes dilalap si jago merah.

28 Mei 2000
Penyerbuan Pesantren Wali Songo di Desa Sintuwu Lembah dan Desa Kayamaya di Kabupaten Poso. Tidak kurang dari 200 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan ratusan rumah rusak.

25 Juli 2000
Fabianus Tibo ditangkap pasukan Satuan Tugas Teritorial TNI Cinta Damai. Ia dibawah ke Korem 132 Tadulako, kemudian Polda Sulteng dan selanjutnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu.

31 Juli 2000
Dominggus da Silva dan Marinus Riwu menyerahkan diri, lima hari setelah Om Tibo ditangkap. Menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Beteleme, Morowali.

4 Desember 2000
Sidang pertama Tibo, Marinus, dan Dominggus digelar di Pengadilan Negeri Palu. Ketiganya didakwa melakukan pembunuhan berencana di sejumlah tempat di Poso pada pertengahan 2000.

15 Maret 2001
Jaksa penuntut umum A. Latara membacakan tuntutan hukuman mati bagi Tibo, Marinus, dan Dominggus.

4 April 2001
Tibo diperiksa polisi karena mengungkap beberapa nama yang terlibat dalam prahara Poso, Mei 2000.

5 April 2001
Majelis hakim Pengadilan Negeri Palu yang terdiri dari Soedarmo (ketua), Ferdinandus, dan Achmad Fauzi menghukum mati Tibo, Marinus, dan Dominggus.

17 Mei 2001
Pengadilan Tinggi menolak banding ketiga terdakwa dan memperkuat putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palu.

14 Juni 2001
Tim penasihat hukum ketiga terpidana mati mengajukan memori kasasi.

11 Oktober 2001
Mahkamah Agung menolak putusan kasasi Tibo. Marinus, dan Dominggus.

31 Maret 2004
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan ketiga terpidana mati.

September 2005
Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan grasi ke presiden.


10 November 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani penolakan grasi Tibo, Marinus, dan Dominggus.

1 Februari 2006
Keluarga terpidana kerusuhan Poso, Tibo cs, menyerahkan tiga bundel dokumen kepada Mabes Polri sebagai salah satu bukti keterlibatan 16 nama sebagai otak kerusuhan di Poso pada Mei 2000. Diantara 16 orang itu, terdapat nama Ganis Simangunsong dan Paulus Tungkanan.

20 Februari 2006
Tim pengacara Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua.

9 Maret 2006
Persidangan PK ke dua Tibo digelar di PN PALU. Dalam sidang ini, 9 saksi baru mengatakan bahwa Fabianus Tibo bukanlah pelaku dari pembunuhan, pembakaran dan penganiayaan di kompleks Wali Songo kilometer 9.

27 Maret 2006
Keluarga Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan grasi kedua kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

2 April 2006
Sekitar 1.000 warga Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), berkumpul di lapangan Kota Baru Maumere, berdoa bersama,memohon kepada Tuhan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemimpin terkait membatalkan eksekusi mati Fabianus Tibo, Domiggus da Silva dan Marianus Riwu.

3 April 2006
Dua terhukum mati kasus kerusuhan Poso,Sulawesi Tengah, Fabianus Tibo dan Dominggus da Silva, diperiksa tim Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Sulawesi Tengah. Pemeriksaan dilakukan karena Tibo dan kawan-kawan menyebut 16 aktor lapangan dan intelektual di balik rusuh Poso 2000 silam.

04 April 2006
Fabianus Tibo dan dua rekannya, mengajukan grasi yang kedua kalinya di Kejaksaan Agung melalui pengacaranya, Alamsyah Hanafiah. Pengacara meminta eksekusi hukuman mati ditunda karena Tibo menjadi saksi utama bagi penyidikan perkara itu.

9 April 2006
Sekitar 400 warga Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, kembali melakukan doa bersama untuk keselamatan Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48). Mereka berharap rencana eksekusi Tibo dkk dibatalkan karena meyakini bahwa Tibo dkk tidak bersalah dalam kerusuhan Poso III.

Sekitar 1.000 orang dari berbagai elemen masyarakat di Jakarta, Minggu (9/4) malam, menyalakan sejuta lilin di Bundaran Hotel Indonesia, sebagai aksi protes terhadap rencana pemerintah yang ingin secepatnya mengeksekusi mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.


11 April 2006
Rencana eksekusi terhadap tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yakni Fabinaus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu akhirnya ditunda. Alasannya menurut Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Oegroseno, polisi masih akan melakukan konfrontasi terhadap 10 orang lainnya yang disebut oleh Tibo Cs sebagai dalang kerusuhan Poso.

13 April 2006
PK kedua Tibo sudah diterima MA, PK tersebut diregistrasi dengan Nomor 27 PK/Pid/2006.

17 April 2006
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan keputusan pengadilan memberikan hukuman mati kepada terpidana kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo cs, merupakan keputusan pengadilan atau hukum semata, bukan keputusan politik.

9 Mei 2006
Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menerima menolak peninjauan kembali (PK) kedua kasus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Penolakan itu dengan dasar bahwa tiga terpidana telah menggunakan hak hukumnya hingga grasinya ditolak pada November 2005 lalu. Pengajuan PK kedua yang dilakukan oleh tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso menyalahi undang-undang. MA menilai saksi baru yang diajukan oleh pengacara dalam PK kedua itu bukan sebagai novum atau bukti baru.

10 Mei 2006
Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu, mulai menginap di sel isolasi. Ketiganya kini sudah tidak satu bangsal, tapi sudah menempati kamar sendiri-sendiri. Menurut Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kehakiman dan HAM Sulteng, Ma'as Damsik, ketiga terpidana mati tersebut sudah tak bisa ditemui kecuali kalau ada izin dari pihak Kejati Sulteng. Pihaknya, kata dia, sudah tak berwewenang mengeluarkan izin untuk ketemu Tibo cs.

10 Mei 2006
Aparat Kepolisan Poso membongkar kuburan di Desa Tambaro, Sintuwulembah, yang dianggap sebagai kuburan korban konflik Poso Mei 2000. Pembongkaran di daerah yang dikenal sebagai Kilo Sembilan, wilayah Pesantren Walisongo, itu ditemukan

sejumlah tengkorak dan pakaian korban yang masih utuh.
pembongkaran itu sebagai upaya untuk merekonstruksi kasus Kilo Sembilan yang menjadikan Febianus Tibo cs sebagai terpidana mati. Seorang warga mengaku melihat ada enam tengkorak yang diambil dalam lubang yang kini sudah dianggap kuburan. Enam tengkorak itu diambil dari dua lobang kuburan yang berbeda.

8 Agustus 2006
Kejari Palu (Sulawesi Tengah), mengirimkan surat pelaksanaan eksekusi kepada keluarga Fabianus Tibo cs. Isi surat ber-nomor SR.65/R.2.10/Buh.1/8/2006 yang diteken Kajari Mohammad Basri Akib SH, menetapkan bahwa eksekusi mati terhadap Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, akan dilaksanakan Sabtu (12 Agustus) ini, pukul 00.15 WITA.

11 Agustus 2005
Sekitar pukul 23.00 Waktu Indonesia Barat atau 24:00 Waktu Indonesia, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jalan Medan Medeka Utara menyatakan bahwa eksekusi ata Tibo cs ditunda hingga selesai perayaan peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Repubik Indonesia. Kapolri Sutanto mengatakan bahwa eksesusi bukan dibatalkan, namun ditunda. Selain kaena permintaan Muspida Sulawesi Tengah, juga karena peringatan HUT Proklamasi tesebut. Namun dikabarkan bahwa penundaan itu tekait dengan permintaan pemimpin tertinggi umat Katolik Dunia Paus Benedictus XVI kepada Presiden SBY. Paus meminta aga Presiden SBY memberikan klemensi kepada Tibo cs dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.

25 Agustus 2006
Stevanus Roy Rening, tim penasehat hikum Tibo, dkk mengajukan Grasi untuk ketiga kalinya kepada Presiden SBY. Namun permohonan grasi itu tidak mendapat jawaban.

22 September 2006
Tibo, dkk dieksekusi di depan 12 Regu Tembak Brimob Polda Sulteng di Ngata Baru, Kecamatan Biromaru, Sulteng. Jenazah Tibo dan Rinus langsung diterbangkan ke Beteleme, Morowali, Sulteng dengan pesawat milik Mabes Polri melalui Soroako, Luwu. Sementara Dominggus di kuburkan di Taman Pekuburan Umum Poboya, Palu Selatan.

Lalu pada Jumat (22/9) sekitar pukul 20.00 WITA, pihak keluarga membongkar kuburan Dominggus. Dominggus lalu dikremasi di Gereja Katholik Santa Maria , Palu.

23 September 2006
Mayat Dominggus di terbangkan ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, untuk dimakamkan di kampung halamannya.

Martir yang Mati di Ujung Senapan Polisi

“Tuhan akan hukum saya, jika tangan ini saya pakai membunuh.” Itulah kata-kata terakhir Fabianus Tibo, salah seorang terpidana mati Poso yang menemui ajalnya di depan regu tembak Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Jumat (22/9/2009) di dinihari yang pekat. Pengakuanya itu disampaikannya di depan pendamping rohaninya, Pastor Jimmy Tumbelaka, di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A, Petobo, Palu, Sulawesi Tengah

Kini, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu sudah tiada. Nyawa mereka berakhir di ujung senjata SS-1 milik 12 Regu tembak Brimob Polda Sulteng.

Hingga detik terakhir hidupnya, mereka menolak disebut sebagai aktor kerusuhan Poso. Ada 16 nama yang disebut-sebutnya sebagai dalang kerusuhan Poso harus bertanggungjawab atas pecahnya kerusuhan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di Poso pada tahun 2000 itu.

Istri Tibo, Nurlin Kasiala menyatakan suaminya tak patut dihukum mati, sebab ada yang lainnya yang telah mengorbankan mereka.

“Sepanjang hidupnya, bapak suka sekali menolong orang,” kata Nurlin mengenang Tbo.

Pernyataan-pernyataan Tibo, dkk pun diamini oleh Pastro Jimmy yang tetap yakin ketiganya dikorbankan untuk melepaskan tanggung jawab orang lain dalam kerusuhan Poso.

Sebenarnya, eksekusi Tibo cs menyisakan masalah karena Pastor Jimmy seharusnya mendampingi saat ketiganya dieksekusi. Belum lagi menurut Steyvanus Roy Rening, penasihat hokum Tibo cs, eksekusi itu tidak sah, karena mereka tengah menempuh upaya hukum.

Jejak Tibo, dkk
Tibo lelaki yang biasa-biasa saja. Begitu pun Domi dan Rinus. Tak ada yang istimewa dari ketiganya. Namanya melambung dan menghiasai halaman demi halaman media massa dan layar kaca saat Pengadilan Negeri Palu mulai menyidangkan mereka pada September 2000. Mereka didakwa menghilangkan nyawa 191 warga Poso dan menyebabkan kerugian Rp 40 miliar dalam kerusuhan Poso pada Mei-Juni 2000.

Tibo ditangkap diDesa Jamur Jaya, Kecamatan Lembo, Morowali, Sulawesi Tengah pada Selasa, 25 Juli 2000 oleh Satuan Teritotial Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Lalu diserahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah keesokan harinya. Adapun Domi dan Rinus lebih memilih menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Beteleme, Morowali. Keduanya menyerah pada Senin, 31 Juli 2005, lima hari setelah Om Tibo ditangkap.

Sejak saat itu mereka pun menjadi pusat perhatian. Proses pengadilan mereka selalu dipadati massa yang pro dan kontra dengan mereka.

Sampai kemudian pada 5 April 2001, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu yang diketuai Soedarmo menjatuhkan vonis hukuman mati kepada ketiganya. Mereka dipersalahkan melakukan kejahatan pembunuhan berencana, sengaja menimbulkan kebakaran dan penganiayaan yang dilakukan bersama-sama secara berlanjut. Meski mereka menyatakan tetap tidak menerima penetapan itu.

Proses hukum pun terus berjalan. Ketiganya atas putusan Pengadilan Negeri pada
5 April 2001, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah. Namun pada 17 Mei 2001, menyatakan tidak menerima banding mereka. Mereka tak lantas putus asa. Mereka pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sayang, lagi-lagi upaya mereka menemui kegagalan, 11 Oktober 2001 dinyatakan kasasi mereka ditolak. Setelah, dengan dasar bukti hukum baru mereka pun mengajukan Peninjauan Kembali ke MA. Tapi lagi-lagi kandas di tengah jalan, 21 Maret 2004 keputusan vonis mati diperkuar lagi oleh MA. Artinya mereka tetap akan menjalani hukuman mati sesuai putusan PN Palu, 5 April 2001.

Namun lubang hukum tetaplah ada. Pada April 2005, mereka pun mencoba memohon grasi ke Presiden SBY. Sayang, mereka harus kecewa lagi. Kamis (10/11), Presiden SBY melalui Mensekneg Yusril menyatakan tidak menerima permohonan itu.

Tibo, lahir di Flores 60 Tahun lalu. Ia anak ke-6 dari pasangan Orbertus Andapo dan Maria Mosso. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) setempat, namun tidak tamat.

Menginjakan kaki pertama kali di Sulawesi Tengah pada 1973, tepatnya di Luwuk, kota kecil di perut Pulau Sulawesi. Di sana dia menjadi buruh pada PT Marabunta. Di Luwuk pula, dia bertemu tambatan hatinya, Nurlin Kasiala yang memberi tiga anak lelaki dan satu anak perempuan.

Lalu pada 1978, hijrah ke Jamur Jaya, Morowali. Di sana dia bekerja sebagai penyadap karet di PT Perkebunan Nusantara XIV Unit Kebun Beteleme. Di sana ia dituakan. Apalagi dia mempunyai keahlian sebagai dukun.

Adapun Domi lahir di Maumere pada 42 tahun lalu. Domi adalah satu-satunya buah hati Dominicus da Silva dan Maria Dualio. Setelah sebelumnya sempat merantau di Jakarta , Domi yang lulusan Sekolah Teknik Menengah jurusan mesin itu, pada 1991 hijrah ke Morowali. Lalu tahun itu juga, ia memilih bekerja di PT Inco, Soroako, Sulawesi Selatan, namun memilih tinggal di Beteleme. Setiap Senin ia ke Soroako, dan Sabtu kembali ke Beteleme. Ia bekerja sebagai sopir alat-alat berat di perusahaan pertambangan multinasional itu.

Untuk menambah tebal dompetnya, Domi pun mengikuti jejak Om Tibo bekerja di di PT Perkebunan Nusantara XIV Unit Kebun Beteleme. Sampai kemudian, konflik Poso menyeretnya ke Penjara bersama Om Tibo.

Seperti dipertemukan Tuhan, Rinus pun berasal dari jazirah Nusa Tenggara namun bertemu di wilayah Morowali. Rinus yang lahir 48 tahun lalu di Kupang, adalah anak bungsu dari pasangan Daniek Djaga dan Lusiana Bude. Di Molores, kampung orang-orang Nusa Tenggara di Bungku, Morowali, ia menikahi seorang perempuan yang memberinya empat orang anak. Ia pun bekerja di PT Perkebunan Nusantara XIV.

Ketiganya adalah orang-orang yang mudah diajak bergaul. Tidak memandang buluh dalam berteman, bisa jadi karena latarbelakang keluarga mereka yang sangat sederhana.

Umumnya, warga binaan di Lapas Kelas 2 A Palu punya kesan serupa kepada ketiganya. Termasuk para sipir Lapas provinsi itu.

“Selama kami bergaul dengan Om Tibo, Domi dan Rinus, mereka memberi kami banyak pelajaran. Khusus Om Tibo, sudah kami anggap seperti orang tua kami sendiri. Dia selalu memberi kami nasehat-nasehat, dia rajin sekali ke gereja,” aku Vecky, warga binaan yang tinggal sekamar dengan Om Tibo di Blok 4, sebelum tinggal di blok isolasi.

Kini, ketiganya telah pergi menghadap ke hariban Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi kita tidak perlu terlalu bersedih, mereka telah menjadi martir bagi yang lainnya. Tuhan pasti tidak akan menyiakan mereka. ***

Saturday, September 09, 2006

Bom Kembali Guncang Poso, Satu Tewas

Poso - Warga Kota Poso, Sulawesi Tengah kembali dikejutkan sebuah ledakan bom pada Sabtu (9/9) sekitar pukul 20:25 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Bom yang meledak di Jalan Tabatoki, Kelurahan Kawua, Poso Kota tersebut mengakibatkan Nella (20) tewas dalam perjalanan ke Rumah Sakit Umum Daerah Poso. Bom tersebut meledak di depan rumah kediamannya..

Bom tersebut adalah bom low explossive dan serupa dengan bom-bom yang meledak sebelumnya. Termasuk bom yang menewaskan John Tobeli (50) Rabu (6/9) lalu di Tangkura, Poso Pesisir Utara. Bom tersebut meledak sekitar 100 meter dari Kompi Bantuan Yonif 714 Sintuvu Maroso.

Dari kesaksian Jamal, keluarga korban, semula Nella berjalan-jalan di Depan rumahnya. Lalu ia melihat sebuah benda berupa lampu senter. Ia pun menyentuhnya, ternyata benda yang dikiranya senter itu adalah bom yang kemudian meledak di tangannya. Akibatnya lengan kanan staf Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Poso itu putus dan dadanya terkoyak.

“Pertama senter itu sudah dipegang oleh Opa Saya. Lalu ditaruhnya kembali. Saya tidak tahu ternyata kemudian Nella ambil. Saat dia nyalakan senter itu meledak. Ternyata itu bom,” tutur Jamal.

Kepala Kepolisian Resor Poso AKBP Rudi Sufahriadi mengatakan bahwa tim penjinak bahan peledak (Jihandak) Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah saat ini sudah melakukan penyisiran untuk mengumpulkan serpihan-serpihan bom. Police line pun dipasang untuk mengamankan tempat kejadian perkara.

Namun situasi keamanan dapat dikendalikan oleh aparat keamanan setempat. Jalur keluar masuk Kota Poso, Sulawesi Tengah diperketat pengawasannya. Lalu lintas kendaraan penumpang dan barang diperiksa dengan ketat.***

Thursday, September 07, 2006

Polisi Selidiki Bom Poso sebagai Bom Bunuh diri

Poso – Tim Laboratorium Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dan Makassar, Sulawesi Selatan dan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah hingga Kamis (7/9/2006) sore masih menyelidiki apakah ledakan bom di Desa Tangkura, Poso Pesisir Utara adalah bom bunuh diri atau bom yang diledakkan dari jauh dengan remote control. Selain melakukan olah tempat kejadian perkara, polisi juga memeriksa intensif sejumlah saksi.

Kapolda Sulawesi Tengah Kombes Badrodin Haiti, meski ada dugaan dari sejumlah pihak bahwa itu adalah bom bunuh diri, namun Polisi polisi belum bisa menyimpulkannya.

“Untuk memastikannya, pihak Laboratorium Forensik masih harus melakukan penyelidikan dan olah TKP dengan seksama,” sebut Badrodin.

Yang bisa dipastikan, kata Kapolda, jika dilihat dari dampak ledakan bom terhadap korban tewas John Tobeli bahwa saat itu ia memegang bungkusan bom ini.

Kapolda menyatakan dilihat dari lokasi ledakan kemungkinan sasaran ledakan bom ini bukan kepada kelompok tertentu sebab lokasi ledakan terjadi di sebuah pondok yang biasa dijadikan tempat istirahat warga
yang melakukan perjalanan masuk keluar Kota Poso.

Sampai Jumat (8/9/2006) polisi telah memeriksa enam saksi, termasuk Rose Sancu’u, isteri korban. Namun, sejauh ini motif peledakan ini belum diketahui.

Bom Tangkura adalah ledakan bom ketiga dalam dua bulan terakhir. Pada awal dan pertengahan Agustus lalu terjadi ledakan bom di Stadion Olahraga Kasintuwu dan Cafe Victoria, di Kelurahan Sayo. Namun tak ada korban jiwa dalam dua ledakan ini. ***

Ribuan Warga Do’a Bersama Tolak Hukuman Mati atas Tibo, dkk

Poso – Tidak kurang dari 4000 orang di Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Kamis (7/9/2006) sejak pagi hingga malam menggelar demonstrasi dan do’a bersama menuntut penghapusan mati hukuman di Indonesia. Mereka juga menyatakan menolak hukuman mati atas terpidana kasus Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu dan meminta Pemerintah mengungkapkan konflik Poso secara tuntas.

Aksi damai ribuan orang dari 4 kecamatan di wilayah Kabupaten Poso ini berlangsung tertib sejak pukul 09.00 – 19.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Ribuan warga itu berasal dari Pamona Utara, Pamona Selatan, Pamona Barat dan Pamona Timur.

Aksi massa tersebut digagas oleh Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Ketua Majelis Sinode Pendeta Rinaldy Damanik sendirilah yang memimpin massa tersebut.

”Kami meminta memerintah menghapuskan hukuman mati dari Bumi Indonesia. Kami juga meminta agar Pemerintah membentuk tim gabungan pencari fakta independent untuk mengungkapkan kasus Poso setuntas-tuntasnya,” tandas Damanik dalam orasinya di depan ribuan massa tersebut.

Damanik menyatakan bahwa tim gabungan itu nantinya akan bekerja mengungkapkan keterlibatan warga sipil, aparat pemerintah, serta aparat keamanan dalam konflik Poso.

“Dan jangan lupa, kami meminta Pemerintah denga otoritasnya membubarkan kelompok-kelompok paramiliter atau lascar-laskar sipil di Tanah Poso. Lalu berlakukan hukum adapt bagi penyelesaian kasus Poso,” imbuh Damanik.

Walaupun aksi massa ini dipusatkan di terminal penumpang umum Tentena, namun arus lalu lintas yang melintasi jalan Trans Sulawesi tetap
berjalan lancer.

Untuk pengamanan aksi massa ini, Kepolisian setempat menerjunkan tidak kurang dari 180 personil.

Aksi yang dimulai dengan long march dan orasi-orasi itu baru berakhir pukul 19.00 WITA dan ditutup dengan do’a bersama di Gereja Sion, Tentena.

Pasar dan Perkantoran Tutup
Akibat aksi massa menentang pemberlakuan hukuman mati di Indonesia itu, pasar, perkantoran di Tentena lumpuh dari aktifitas.

Pasar Tentena yang setiap harinya ramai dengan aktifitas jual beli, terlihat lengang. Kios-kios tempat berjualan terkunci rapat. Sementara itu meja dan kursi pedagang terlihat dibiarkan bertumpuk dipinggir jalan.

Hampir seluruh pedagang bergabung dalam aksi massa itu. Salah satunya adalah Ibu Iis, pedadang setempat.


”Torang juga ikut karena memang sepakat dengan tuntutan penghapusan hukuman mati dan menolak eksekusi mati pada Opa Tibo, Dominggus dan Marinus,” akunya.

Selain pasar, situasi yang hampir sama juga terjadi di kantor-kantor pemerintahan. Kantor Cabang Kejaksaan Negeri Poso di Tentena pun ditutup.

Namun demikian situasi keamanan di daerah ini tetap dalam keadaan yang stabil. ***

Polisi Periksa Enam Saksi Bom Poso

Palu - Kepolisian Resor Poso sampai Kamis (7/9/2006) ini telah memeriksa enam orang saksi terkait ledakan bom di Tangkura, Poso Pesisir Utara yang menewaskan John Tambeli (50), Selasa (6/9/2006) kemarin.

Demikian disampaikan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Komirasi Besar Polisi Badrodin Haiti, Kamis (7/9/2006) kepada wartawan di Markas Polda Sulteng di Palu, Sulawesi Tengah.

Badrodin menyatakan untuk keperluan pengungkapan kasus ini, Polisi telah memeriksa Rose Sancu'u, istri korban John. Rose diperiksa karena saat itu ia bersama suaminya. Sementara lima orang saksi lainnya adalah warga Tangkura yang berada di dekat lokasi saat ledakan itu terjadi.

"Sejauh ini baru enam orang yang diperiksa termasuk istrinya. Namun belum diketahui motif maupun pelaku atau pemilik bom itu," kata Badrodin.

Ini adalah ledakan bom pertama sehari setelah Kapolda Sulteng diserahterimakan dari Brigadir Jenderal Polisi kepada Kombes Pol Badrodin Haiti.

Apakah ini terkait eksekusi atas tiga terpidan mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu? Kapolda menyatakan, "ini tidak ada sangkut pautnya dengan eksekusi Tibo dan kawan-kawan. Bom ini tidak ditujukkan kepada kelompok tertentu karena diduga adalah bom lama yang kemungkinan disimpan pemiliknya di dalam rumah tersebut dan meledak ketika ditemukan oleh korban."

Kelompok Lama
Bom yang meledak di Tangkura ini adalah bom hampa yang berwadahkan chasing dari pipa besi yang dipasangi sumbu bakar. Dari penyelidikan tim penjinak bahan peledak (Jihandak) Satuan Brigade Mobil Polda Sulteng diketahui bom tersebut serupa dengan bom-bom yang meledak selama ini di Poso. Bom tersebut tidak berisi gotri atau lempengan logam lainnya. Bahan-bahannya terdiri dari black powder dan sulfur.

Bom ini diduga milik kelompok-kelompok lama yang pertama bertikai di Poso. Namun belum diketahui apakah bom itu disimpan sejak lama di rumah kebun itu atau baru saja diletakkan.

Dari hasil otopsi di Rumah Sakit Umum Daerah Poso diketahui bahwa chasing bom dari pipa besi itu yang menghantam dada John hingga tembus ke punggung dan memutuskan tangan kanan serta meremukkan kedua kakinya.

Sejauh ini, Polisi masih terus menyelidiki motif dan pelaku atau pemilik bom tersebut. Untuk diketahui pada tahun 2001, Tangkura dan desa-desa sepanjang jalur Poso-Napu-Palu rata dengan tanah akibat amuk massa bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di Poso, Sulawesi Tengah. Wilayah itu dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan, lalu Islam dan Hindu.***

Tuesday, September 05, 2006

Bom Kembali Meledak di Poso, Satu Tewas

Poso – Sebuah bom kembali meledak di Poso, Sulawesi Tengah, Rabu (6/9/2006) pagi, sekitar pukul 10.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Bom yang meledak di permukiman penduduk Desa Tangkura, Kecamatan Poso Pesisir Selatan itu menewaskan seorang lelaki yang belum diketahui identitas.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Komisaris Besar Polisi Badrodin Haiti yang dihubungi Sinar Harapan membenarkan terjadinya peristiwa peledakan bom tersebut.

“Polisi sudah melakukan penyisiran dan penyelidikan di lokasi kejadian. Identitas korban yang dilaporkan meninggal itu sementara diselidiki. Bom tersebut diduga serupa dengan bom-bom sebelumnya. Untuk lebih rincinya, hal itu sementara diselidiki,” sebut Badrodin.

Badrodin menyatakan komunikasi ke daerah tersebut hanya bisa dilakukan dengan pesawat Handi Talky (HT) karena jaringan telepon biasa dan selular belum menjangkau wilayah itu.

Kepala Kepolisian Resor Poso AKBP Rudi Sufahriadi juga belum memberikan keterangan lengkap terkait aksi peledakan bom ini, karena pihaknya tengah menggelar rapat dengan Kapolda Sulteng yang baru.

“Saya baru mendapat informasi ada ledakan lagi di Tangkura, Poso dan benar dilaporkan satu orang tewas, Cuma kita belum mengetahui identitasnya. Tim Jihandak sudah melakukan penyisiran dan penyelidikan di lokasi. Lengkapnya kita tunggu saja hasil penyelidikan mereka,” demikian Rudi menjawab Sinar Harapan.

Dari informasi sumber Kepolisian setempat, bom tersebut berwadahkan chasing dari pipa paralon dilengkapi sumbu bakar. Diduga bom-bom tersebut serupa dengan bom-bom yang meledak selama ini di Poso. Namun belum diketahui apakah bom tersebut berisikan gotri dan lempengan logam atau bom hampa.

Situasi Kota Poso sendiri, Rabu (6/9/2006) hari ini terlihat berjalan normal. Aktivitas masyarakat di pusat perekonomian di Pasar Sentral Poso terlihat berjalan seperti biasanya. Arus lalu lintas keluar masuk Kota Poso juga berjalan lancar.

Hanya saja pemeriksaan arus lintas di pos-pos pengamanan sepanjang jalur Trans Sulawesi Poso-Tentena-Morowali dan Makassar terlihat diperketat. Mobil dan penumpang diperiksa di pos-pos keamanan setempat.

Kejaksaan Jadwal Ulang Eksekusi Tibo, dkk

Palu – Eksekusi atas tiga terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu akan segera dijadwalkan kembali. Rabu (6/9/2006) pihak Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri Palu dan Kepolisian Daerah Sulawes Tengah direncanakan akan menggelar rapat koordinasi untuk penjadwalan ulang eksekusi atas Tibo dan kawan-kawan.

Penegasan ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Mahfud Mannan, Selasa (5/9/2006) siang ketika menerima ratusan pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam di Palu yang menggelar unjuk rasa mendesak eksekusi atas Tibo, dkk.

Menurut Mahfud, pihaknya akan menjadwal ulang pelaksaan eksekusi atas Tibo, dkk. “Besok (Rabu, 6/9--red), kami akan meminta waktu Kapolda Sulteng yang baru untuk menggelar rapat koordinasi untuk membahas masalah ini,” ujar Mahfud.

Pihak Kejaksaan sendiri sudah mempersiapkan hal-hal teknis terkait eksekusi atas Tibo, dkk.

“Keputusan hukumnya, adalah keputusan final. Jadi eksekusi tetap akan dilaksanakan. Mengenai kapan, itu akan dikoordinasikan dulu dengan pihak Kepolisian,” imbuhnya lagi.

Adapun Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Komisaris Besar Polisi Badrodin Haiti menyatakan siap melaksanakan eksekusi jika sudah ada surat perintah dari Kejaksaan.

Ditanya soal kewenangan Kepolisian menentukan jadwal dan lokasi eksekusi, Badrodin menyatakan hal itu tergantung dari surat perintah Kejaksaan.

“Tidak ada intruksi khusus dari Kapolri Jenderal Sutanto berkaitan dengan eksekusi Tibo, dkk. Namun yang jelas bahwa hukum harus ditegakan,” tandas Badrodin.

Komandan Korem 132 Tadulako Palu Kolonel Infanteri Hussein Malik menyatakan bahwa tidak perlu ada kekhawatiran munculnya konflik baru terkait eksekusi Tibo, dkk.

“Kami siap mendukung Kepolisian sepenuhnya. Kami harapkan juga masing-masing pihak di Poso bisa menahan diri dan tidak menunjukkan arogansi kelompoknya masing-masing,” tekan Hussein.

Sementara itu, direncanakan pada Senin (9/9/2006) ribuan warga Pamona Selatan dan Pamona Utara, Poso, Sulawesi Tengah akan menggelar unjuk rasa mendesak dibatalkannya eksekusi atas Tibo, dkk.***

Kejaksaan Jadwal Ulang Eksekusi Tibo, dkk

Palu – Eksekusi atas tiga terpidana mati Poso Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu akan segera dijadwalkan kembali. Rabu (6/9/2006) pihak Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri Palu dan Kepolisian Daerah Sulawes Tengah direncanakan akan menggelar rapat koordinasi untuk penjadwalan ulang eksekusi atas Tibo dan kawan-kawan.

Penegasan ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Mahfud Mannan, Selasa (5/9/2006) siang ketika menerima ratusan pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam di Palu yang menggelar unjuk rasa mendesak eksekusi atas Tibo, dkk.

Menurut Mahfud, pihaknya akan menjadwal ulang pelaksaan eksekusi atas Tibo, dkk. “Besok (Rabu, 6/9--red), kami akan meminta waktu Kapolda Sulteng yang baru untuk menggelar rapat koordinasi untuk membahas masalah ini,” ujar Mahfud.

Pihak Kejaksaan sendiri sudah mempersiapkan hal-hal teknis terkait eksekusi atas Tibo, dkk.

“Keputusan hukumnya, adalah keputusan final. Jadi eksekusi tetap akan dilaksanakan. Mengenai kapan, itu akan dikoordinasikan dulu dengan pihak Kepolisian,” imbuhnya lagi.

Adapun Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Komisaris Besar Polisi Badrodin Haiti menyatakan siap melaksanakan eksekusi jika sudah ada surat perintah dari Kejaksaan.

Ditanya soal kewenangan Kepolisian menentukan jadwal dan lokasi eksekusi, Badrodin menyatakan hal itu tergantung dari surat perintah Kejaksaan.

“Tidak ada intruksi khusus dari Kapolri Jenderal Sutanto berkaitan dengan eksekusi Tibo, dkk. Namun yang jelas bahwa hukum harus ditegakan,” tandas Badrodin.

Komandan Korem 132 Tadulako Palu Kolonel Infanteri Hussein Malik menyatakan bahwa tidak perlu ada kekhawatiran munculnya konflik baru terkait eksekusi Tibo, dkk.

“Kami siap mendukung Kepolisian sepenuhnya. Kami harapkan juga masing-masing pihak di Poso bisa menahan diri dan tidak menunjukkan arogansi kelompoknya masing-masing,” tekan Hussein.

Sementara itu, direncanakan pada Senin (9/9/2006) ribuan warga Pamona Selatan dan Pamona Utara, Poso, Sulawesi Tengah akan menggelar unjuk rasa mendesak dibatalkannya eksekusi atas Tibo, dkk.***

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]