Sunday, September 21, 2008

Pelukis Peringati Hari Perdamaian di atas Kanvas 50 Meter



Palu - Sejumlah pelukis, seniman music, penggiat hak azasi dan anak-anak korban konflik Poso, Minggu (21/09) sore menggelar peringatan Hari Perdamaian Sedunia, di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka memperingati hari perdamaian yang kali pertama digagas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa itu dengan menggelar aksi lukis di atas kain sepanjang 50 meter dan pertunjukkan musik tradisional.

Potret penganjur damai dari India, Mahatma Gandhi menjadi latar depan aksi lukis di atas kain sepanjang 50 meter yang dilakukan oleh lima pelukis di taman budaya dan olahraga Kota Palu, Sulawesi Tengah. Mereka mengekspresikan gagasan damai mereka di atas kanvas itu untuk memperingati Hari Perdamaian Sedunia yang jatuh pada 21 September ini. Beragam bentuk lukisan mereka tuangkan di atas kanvas dari kain katun itu

Sementara, sejumlah seniman musik mempertunjukkan music tradisional suku Kaili, suku asli di Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Mereka memainkan lalove atau seruling panjang dan juga gimba atau gendang. Mereka mengiringi aksi para pelukis itu dengan irama lembut dan cepat.

Penggagas peringatan hari perdamaian itu adalah Koalisi Perdamaian yang anggota terdiri dari beragama orang dan organisasi di Kota Palu.

Menurut Nurlaela AK Lamasitudju, koordinator koalisi tersebut, aksi lukis di atas kain 50 meter itu sengaja hanya dilakukan oleh lima pelukis agar mereka bebas mengeskpresikan ide-ide mereka tentang perdamaian.

“Setiap pelukis mendapat ruang kanvas sepanjang sepuluh meter untuk megekpresikan ide-ide tentang perdamaian secara bebas dan lapang,” kata Nurlaela.

Kegiatan ini didukung oleh United Nation of Developtment Programme (UNDP) dan Peace Trought Depeveloptment (PTD) Kota Palu.

Sejumlah anak-anak korban konflik Poso juga dilibatkan dalam aksi ini. Mereka membagikan selebaran anjuran damai bagi para pengendara kendaraan bermotor yang melintas di depan taman budaya dan olahraga Kota Palu.***

Thursday, September 18, 2008

Masyarakat Serahkan Senjata Api dan Amunisi

Poso – Masyarakat Poso Pesisir, Poso, Sulawesi Tengah kembali menyerahkan sejumlah senjata api dan amunisi ke pihak Kepolisian. Senjata-senjata api dan amunisinya tersebut adalah sisa-sisa konflik di daerah tersebut.

Kepala Kepolisian Resor Poso AKBP Adeni Muhan Dg Pabali mengatakan kesadaran masyarakat semakin tinggi untuk tidak lagi menyimpan senjata api dan amunisi yang mereka kuasai di luar kewenangannya.

“Masyarakat Poso semakin sadar, apalagi mereka bisa diancam dengan Undang-Undang Darurat tentang Kepemilikan Senjata Api,” kata Kapolres Adeni, Selasa (16/08).

Kali ini, masyarakat menyerahkan empat pucuk senjata rakitan laras pendek, dua pucuk senjata rakitan laras panjang dan 92 butir amunisi caliber 5,56 milimeter.

Menurut Adeni, senjata-senjata api dan amunisi itu diserahkan masyarakat kepada anggota Kepolisian Masyarakat setempat, kemudian menyerahkannya kepada Kepolisian Sektor Poso Pesisir dan setelah itu ke Polres.

“Ini bukti keberhasilan dari pembinaan anggota Kepolisian Masyarakat yang berada di tengah-tengah mereka. Ini hasil hubungan komunikasi yang terus-menerus sehingga terjalin hubungan yang baik dengan masyarakat,” ujar Adeni.

Untuk keamanannya, identitas warga yang menyerahkan senjata-senjata api dan amunisi itu dirahasiakan oleh Polres Poso.

Saat ini, kondisi keamanan dan ketertiban umum di Poso makin kondusif. Tidak ada lagi upaya-upaya teror, berupa peledakan bom atau penembakan misterius terdengar seperti sebelumnya.***

Sunday, August 03, 2008

Kapolres: Ada yang Tidak Ingin Poso Aman


Poso- Kepala Kepolisian Resor Poso AKBP Adeni Muhan Dg Pabali menyatakan ada orang-orang yang tidak ingin Poso berkembang dan maju serta aman sehingga masih terus melakukan teror di bekas daerah konflik tersebut.

Pernyataan itu disampaikannya pasca ledakan bom rakitan Kamis (31/07) dinihari pukul 01.30 WITA lalu, di Poso, Sulawesi Tengah. Adeni memastikan bahwa ledakan tersebut adalah teror yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung. Mantan Kepala Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Utara tersebut menyatakan bahwa belum diketahui secara pasti apa motif dari ledakan itu.

”Saya belum bisa memastikan motif peledakan itu karena belum ada tersangkanya, Kami baru melakukan pemeriksaan terhadap dua orang saksi,” kata Adeni. Kamis malam.

Saat ini, Kepolisian setempat sudah memeriksa saksi berin isial Pt dan Mn, mereka adalah karyawan Stasiun Pengisian BMM yang tak jauh dari lokasi kejadian.

Ledakan yang terjadi pada Kamis dinihari tepat di depan rumah Ismail Akil, seorang purnawirawan TNI AD di Jalan Tabatoki, Kelurahan Sayo, Kecamatan Poso Kota Selatan, Kabupaten Poso.

Dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) Adeni mengatakan bom rakitan tersebut hanya untuk menimbulkan efek bunyi yang keras. Bom tersebut diletakkan di bawah mobil Toyota Avanza berwarna silver dengan nomor polisi DN 617 E yang diparkir tepat di depan rumah Ismail Akil. Dari TKP, Tim penyelidik mendapatkan beberapa bukti diantaranya paralon sepanjang kurang lebih 10 cm dengan diameter 3,5 cm, lakban, bekas amunisi berupa belerang, sulfur dan potassium.

Sejauh ini, dari keterangan kedua saksi, Polisi belum bisa memastikan cirri-ciri pelaku. Kedua saksi mengaku saat itu berada di dalam rumah dan hanya mendengar ada ledakan keras.

Adapun terkait dua orang saksi yang diperiksa, belum didapat keterangan berarti yang mengarah kepada tersangka. Police line yang mengitari TKP sudah dicabut. Warga setempat juga kembali beraktivitas seperti biasa.

“Kedua saksi berada dalam rumah ketika ledakan terjadi, Jika sudah ada tersangka, saya akan segera memberitahunya. Saya tidak mau berandai-andai, apakah kelompok lama atau kelompok baru. Situasi kamtibmas di Poso kan sudah kondusif. Kita tunggu saja hasil penyelidikan,” kata Adeni.

Adeni mengimbau agar masyarakat melaporkan jika mengetahui informasi-informasi terkait tindak kejahatan segera melaporkannya ke Polisi.

Sementara. Ketua Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Burhanuddin Hamzah kepada SH mengatakan bahwa tugas Polisilah untuk mengungkapkan siapa dibalik peledakan bom tersebut, di tengah-tengah situasi keamanan Poso yang sudah kondusif.

“Saya tidak bisa mengatakan ini kelompok mana, kelompok lama atau kelompok baru, tapi sudah tugas Polisilah untuk mengungkapkannya. Kepada masyarakat kami juga mengimbau untuk segera melaporkan ke Polisi jika ada hal-hal yang mencurigakan di wilayahnya,” kata Burhanuddin.

Ia memandang, ada pihak-pihak lain atau pihak ketiga di luar Poso yang tidak ingin Poso aman. Apalagi ke depan, kita akan menghadapi puasa ramadhan dan Pemilu.

“Untuk itu saya meminta agar masyarakati tidak terprovokasi, tidak terpengaruh hal-hal seperti itu. Dan saya pikir juga masyarakat Poso selama ini sudah benar-benar paham soal itu. Buktinya, pasca kejadian ini tidak ada kejadian susulan atau reaksi berlebihan dari masyarakat. Masyarakat sudah sadar bahwa itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab,” tekan Burhanuddin.

Sabtu pagi situasi Kota Poso dalam keadaan aman. Aktivitas jual beli di Pasar Sentral Poso berlangsung seperti biasa. Arus lalu lintas dari dan keluar Kota dalam keadaan lancar. Kepolisian setempat juga tidak melakukan pengamanan ekstra.***

Thursday, June 12, 2008

Mengais Bukti di Tanah yang Terbakar Konflik


Deklarasi Malino untuk Poso sudah berbilang lebih dari enam tahun usianya. Kesepakatan yang diteken 24 tokoh Kristen dan 25 tokoh Muslim Poso ini sudah jadi catatan sejarah upaya rekonsiliasi konflik. Tentu, cerita di baliknya sudah berulang kali diceritakan, oleh banyak orang pula. Jadi adakah yang menarik dari cerita upaya damai yang dimediasi Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang kala itu menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat? Ada! Yakni, soal pengembalian hak-hak keperdataan ratusan warga pascakonflik.

KONFLIK Poso yang membuat ribuan orang meregang nyawa dan kehilangan harta benda boleh jadi sudah selesai. Api konflik kemanusiaan itu sudah padam. Tapi jangan lupa, api biasanya tiba-tiba menyala dalam sekam yang menumpuk. Ini soal hak-hak keperdataan warga yang belum terpulihkan sepenuhnya.

Saat wilayah ini dilanda konflik kemanusiaan, ribuan hektare tanah dan lahan-lahan perkebunan ditinggalkan mengungsi. Saat konflik usai, mereka kembali, namun kerap tanah maupun lahan yang mereka punya dikuasai orang lain. Lalu mereka pun terpaksa mendiami tanah milik orang lain pula.

Saat Deklarasi Malino untuk Poso diteken Kamis, 20 Desember 2001 silam, di Malino, Sulawesi Selatan, pengembalian keperdataan menjadi bahasan penting. Poin ketujuh Deklarasi ini menyebutkan; Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.

Berbilang tahun hal itu terabaikan. Peledakan bom, penembakan misterius dan aksi-aksi kekerasan lainnya mewarnai hari-hari pasca deklarasi kemanusiaan itu dan menyita perhatian banyak orang.

Lalu tibalah masa di mana triliunan rupiah bantuan kemanusiaan mengalir ke Poso. Mulai dari dana jatah hidup, bekal hidup, bantuan bahan baku rumah dan banyak lagi bantuan lainnya turun seperti hujan dari langit. Tibalah juga musim panen bagi para pengemplang uang milik orang banyak itu. Miliaran rupiah tidak jelas mengalir ke mana. Memang, ada satu dua para pengemplang uang itu yang dibui, tapi masa hukumannya tidak sebanding perbuatannya. Ada pula yang bebas percuma.

Yang terakhir Pemerintah Pusat menggelontorkan bantuan recovery Poso sebesar Rp58 miliar. Cerita baru pun mengalir lagi. Untuk urusan pengembalian hak-hak keperdataan sekitar Rp950 juta dianggarkan dari dana recovery itu.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Poso, Sulawesi Tengah pun bekerja, tentu karena mereka adalah lembaga pemerintah yang berwenang mengurusi hal itu. Pekerjaan pun dimulai sejak 1 April – 31 Desember 2007. Mereka bekerja di 90 desa dan 23 kelurahan di 11 kecamatan,. Hasilnya, tidak kurang 300 sertifikat pengganti sudah diterbitkan bagi warga korban konflik Poso. Lalu diterbitkan lagi 101 sertikat perumahan bagi warga di Tiwa’a, Poso Pesisir Utara, Bukit Bambu, Poso Kota dan Kawua, Poso Kota Selatan.

Untuk itu, “dana yang telah terpakai sebesar Rp 500 juta, dari total Rp 950 juta yang dianggarkan dalam Dana Recovery. Sisa dananya masih ada di Bappeda Poso," kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha BPN Poso B.S Monepa.

Dana itu dipergunakan untuk penyuluhan kepada masyarakat terkait program pengembalian hak-hak keperdatan ini. Lalu inventarisasi terhadap sertifikat yang hilang atau terbakar, tanah yang diokupasi dan peralihan tanah di bawah tangan. Setelah itu barulah diterbitkan sertifikat penggantinya.

Monepa mengakui proses pengecekan ulang usai inventarisasi harus dilakukan secermat mungkin.

“Suatu saat ada warga yang mengakui sertifikatnya terbakar saat kerusuhan. Lalu kita kirimkan datanya ke bank-bank untuk jadi pemberitahuan dan diumumkan di media selama seminggu. Ternyata sebelum masa sebulan lewat, ada pengurus koperasi yang datang menyampaikan bahwa sertifikat warga tersebut dijaminkan di koperasinya,” tutur Monepa.

Jadi, "Sebelum menerbitkannya, kami telah melakukan pemeriksaan di lapangan untuk membuktikan bahwa tanah itu ada dan luasnya sesuai dengan yang dilaporkan masyarakat," kata Monepa.

Untuk hal tersebut pihak BPN Poso memang mengakui harus hati-hati sebab bisa-bisa akan menimbulkan konflik baru.

Itulah yang disebutkan oleh pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Tadulako Palu, Harun Nyak Itam Abu.

“Saya sendiri sebelumnya punya tanah di Tentena yang diokupasi oleh orang lain. Tentu masih ada kasus lain yang serupa. Ini akan memancing konflik jika pihak yang menguasai tanah itu sudah merasa nyaman dan mengklaim tanah itu sebagai miliknya, dan kemudian mengurus sertifikat. Jadi sudah semestinya, setelah proses penegakan hukum selesai, masalah ini diseriusi Pemerintah Kabupaten Poso,” kata Harun dalam sebuah percakapan.

Soal peralihan di bawah tangan, menurut Harun, lantaran desakan ekonomi dan faktor psikologis di mana warga yang mengungsi tidak berani lagi kembali ke daerah asalnya. Jadi, kata Harun, ini persoalan yang benar-benar serius, selain urusan penegakan hukum.

Harun wajar kuatir. Simak saja data yang ada di BPN Poso. Tercatat ada 35 kasus okupasi tanah. Tanah-tanah ini milik orang lain yang kini sudah didiami oleh bukan pemilik sah tanah itu. Untuk membuktikannya tentu perlu sertifikat atau surat-surat keterangan kepemilikan lainnya. Ini terjadi lantaran segregasi penduduk pada saat konflik, di mana warga Muslim akan berkumpul dengan sesamanya, begitu pula warga yang beragama Kristen. Sampai kemudian setelah fajar damai terbit, ketika mereka kembali tanah-tanah mereka dikuasai oleh orang lain. Ada pula yang tidak ingin kembali ke daerah asalnya.

Belum lagi sertifikatnya yang terbakar. Dari inventarisasi BPN Poso tercatat sekitar 107 sertifikat warga Manyajaya, Pamona Selatan terbakar. Lalu, adapula di Desa Uelene, masih di Pamona Selatan sebanyak 61 sertifikat. Menyusul di Masamba sebanyak 39 sertifikat dan sebanyak 34 sertifikat warga di Masani, Poso Pesisir juga terbakar.

Soal peralihan tanah atau lahan di bawah tangan, jangan ditanya lagi, mencapai 334 kasus. Ada yang hanya memakai kuitansi, ada pula yang tanpa bukti apa-apa. Hal-hal seperti inilah yang rawan memicu konflik kata Harun kemudian.

Memang, “menangani kasus keperdataan sangat sulit. Sampai saat ini hak-hak keperdataan belum selesai. Sampai saat ini baru 70 persen berjalan,” aku Frits Abbas, dari Satkorlak Sulawesi Tengah.

Ketua DPRD Poso Sawerigading Pelima juga mengatakan, kasus hak-hak keperdataan di Poso yang masih tersisa harus sesegera mungkin diselesaikan karena rentan akan timbulnya permasalahan baru.

Menurutnya, korban konflik di pengungsian sudah lama merindukan kembali ke tanah atau pun rumahnya yang sudah beberapa tahun ditinggalkan sejak konflik Poso memanas pada tahun 2000 hingga 2002.

Tapi, lanjutnya, mereka terkejut begitu melihat kenyataan bahwa tanahnya sudah diokupasi orang lain sehingga mereka enggan untuk kembali.

"Daripada muncul permasalahan baru lebih baik mereka tetap berada di pengungsian. Jadi, kasus ini harus lebih diperhatikan pemerintah selain masalah lainnya," kata Pelima.

Lalu bagaimana masalah tanah dan lahan-lahan warga yang masih tersisa dan belum bersertifikat?

Seperti yang diakui Monepa, sebenarnya pihak BPN Poso menargetkan mampu menerbitkan sebanyak 500 sertifikat tanah baru sampai akhir 2007 lalu.

Namun, "keterbatasan waktulah yang menyebabkan target tidak terpenuhi. Apalagi ada beberapa warga yang kurang bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah," ujarnya.

Selain itu, BPN tidak memiliki program untuk mengatasi hak keperdataan masyarakat korban konflik.

"Kami tidak ada anggaran untuk hal itu," katanya, dan berharap agar pemerintah pusat mampu memberi dana serta memperpanjang pelaksanaan penyelesaian hak-hak keperdataan, karena masih banyak tanah atau bangunan yang sampai saat ini bermasalah akibat lama ditinggalkan pemiliknya.

"Hak-hak keperdataan masyarakat harus segera dikembalikan ke pemilik aslinya. Masalah lahan adalah masalah yang rumit sekaligus rawan sehingga pemerintah tidak menghendaki terjadi konflik baru yang diakibatkan perebutan tanah atau keperdataan," imbuh Monepa.

Tapi Monepa tidak boleh lupa masih ada sebesar Rp450 juta dari Dana Recovery yang belum terpakai. Jadi ini hanya soal kemauan, itikad baik BPN Poso untuk benar-benar menyelesaikan masalah urusan rentan konflik ini.

Tentu saja, urusan ini adalah pekerjaan berat bagi Pemerintah Poso selain hal-hal lain yang juga menguras tenaga, dana dan pikiran.

Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi pun mengakui hal itu. Apalagi saat ini mereka harus bekerja keras mengentaskan kemiskinan. Di daerah yang kaya dengan potensi sumber daya alam itu, tercatat ada sekitar sekitar 50.000 jiwa warga miskin dari 194.241 jiwa total penduduk Poso saat ini. Jumlah rumah tangga miskin mencapai sekitar 20.000 RTM, dan angka pengangguran terbesar adalah para tamatan SLTA sekitar 2.000 orang.

Pascakonflik Poso, memang hak-hak keperdataan merupakan wilayah paling rentan memicu konflik baru. Banyak tanah dan lahan perkebunan warga yang ditinggal mengungsi kemudian digarap oleh warga lain. Begitu pula rumah-rumah penduduk yang ditinggal mengungsi atau rumah yang hangus terbakar, kemudian ditempati penduduk lain.

Ada yang berujung pada sengketa di Pengadilan, ada pula yang adu fisik dan ada pula yang sudah patah semangat untuk mengurusi tanah dan lahannya.

Jadi ini, memang benar-benar seperti mengais bukti di tanah yang terbakar konflik.

Wajar pula Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah yang saat ini menggelar Operasi Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat bersandi Siwagilemba juga memberi perhatian lebih pada pemulihan hak-hak keperdataan ini.***

Tuesday, June 10, 2008

Anggota Polisi Ditangkap Main Judi

TIM Judisila Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah, Sulawesi Tengah menggerebek sebuah lokasi perjudian di kawasan Jalan Sisingamagaraja, Palu Timur, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (1/5) malam. Dalam penggerebekan tersebut, seorang anggota Polres Palu berinisial Brigadir Dua OH berhasil dibekuk bersama seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di polda sulteng. Dua warga lainnya juga ikut ditangkap.

Sebelumnya Polisi sempat terlibat kejar-kejaran dengan para tersangka karena berusaha kabur. Sejumlah warga yang berada di sekitar lokasi perjudian menolak diamankan petugas dengan alasan hanya sekadar menonton perjudian. Meski demikian mereka tetap dibawa petugas.

Tak hanya sampai disitu, operasi penyergapan yang dipimpin kepala unit (Kanit) Judi dan Asusila Reskrim Polda Sulteng, Ajun Komisaris Polisi Lukman juga berhasil menemukan sebuah kamar yang didalamnya disembunyikan ratusan botol minuman keras dan jerigen berisi minuman tradisional cap tikus.

Seluruh barang bukti kemudian disita petugas. Selain itu petugas juga mengamankan sejumlah kendaraan roda dua yang sudah ditinggalkan pemiliknya yang diduga tersangka penjudi.

“Anggota Polri dan PNS di lingkungan Polri sudah kita tahan. Begitu pula dengan warga lainnya,” kata Lukman.
Selanjutnya petugas membawa para tersangka beserta barang bukti ke polda sulteng. Setibanya di Polda Sulteng para tersangka diperiksa dan kemudian langsung ditahan.***

Tidak Ada Unsur Sabotase dalam Kebakaran Polda Sulteng

MARKAS Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, terbakar lagi pada Jumat (23/5) malam. Kali ini kebakaran melanda ruang tim penyidik Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse dan Kriminal. Beruntung api cepat dipadamkan. Kebakakaran diduga akibat arus pendek. Sementara itu, Laboratoriu Forensik Mabes Polri, Jumat (23/5) sore telah membeberkan hasil penyelidikannya atas kebakaran yang melanda Markas Polda pada Selasa (22/5) malam lalu.

Jumat (23/5) sore, Kapolda Sulteng Komisaris Besar Polisi Suparni Parto, di ruang Direktorat Reserse dan Kriminal menyampaikan hasil pemeriksaan sementara Labfor Mabes Polri, namun pada Jumat malam, kebakaran nyaris menghabiskan lagi ruang Tipikor Direskrim.
Terkait dengan kebakaran Selasa malam lalu, Kapolda Suparni menyatakan pemeriksaan Labfor baru mencapai 95 persen. Berita acara hasil pemeriksaan kebakaran akan dibawa ke Jakarta dan akan ditandatangani.

Dijelaskan Suparmi dari hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) ditemukan pola kerusakan dan kebakaran atau penjelagaan itu yang menunjukan adanya tanda bahwa asal api itu di dinding yang berada di ruang Biro Operasional.

“Api dipicu oleh hubungan arus pendek karena pemanasan tinggi dari PABX atau pembagi otomatik telepon di ruang Biro Ops. Jadi dari hasil pemeriksaan ditemukan bahwa diantara alat pembagi itu terjadi kebocoran arus, karena ada arsip di yang sangat dekat jaraknya dengan kabel yang korslet itu maka terjadi kebakaran,” beber Suparni.

PABX adalah (Private Automatic Branch Exchange) merupakan sebuah sentral telepon mini yang dipasang di perkantoran, sekolah maupun bangunan-bangunan dengan kapasitas jalur terbatas. Pada sebuah instansi PABX ini dapat tehubung dengan yang lainnya aupun sentral Telkom melalui jalur telepon incoming dan outgoingnya. Masing-masing pesawat yang terhubung ke PABX mempunyai nomor ekstensi, yang merupakan nomor unik yang diberikan oleh alat tersebut. Setiap nomor ekstensinya dapat dihubungi oleh, atau menghubungi pesawat telepon di luar PABX tersebut dengan bantuan operator, baik secara manual maupun otomatis.

Dari pemeriksaan Forensik tersebut diketahui kebakaran yang paling parah terjadi di ruang Biro Operasional.

Seperti diketahui, Selasa malam lalu, sekitar pukul 21.45 Waktu Indonesia Tengah, si jago merah mengamuk dan meluluhlantakan Gedung Utama Polda Sulteng. Sejumlah ruangan di lantai dua habis terbakar. Ruangan yang terbakar adalah ruangan kerja Kapolda dan Wakapolda, Biro Personalia, Keuangan, Ruang Rapat Utama, Biro Perencanaan dan Pengembangan dan ruangan Asisten Pribadi Pejabat Polda.

Sebelumnya, ada pihak yang menduga, kebakaran ini adalah aksi sabotase untuk menutupi dan menghilangkan berkas-berkas atau arsip kasus-kasus tertentu yang sedang ditangani Polda Sulteng, semisal kasus illegal logging yang melibatkan sejumlah pejabat lokal dan pengusaha di Palu.

Namun, hal itu dibantah Kapolda Sulteng Kombes Pol Suparni Parto. “Sama sekali tidak ada unsur sabotase dalam kebakaran ini.” Demikian Suparni.***

Polres Palu Terjunkan 104 Personil Jaga SPBU

MENJELANG pengumuman kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Kepolisian Resor Palu memperketat penjagaan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Personil Kepolisian yang menjaga SPBU pun ditambahkan. Demikian disampaikan Kapolres Palu AKBP Sunarto, Jumat (23/5).

Pengetatan penjagaan tersebut lantaran dalam penyelidikan Polisi selama sepekan terakhir ditemukan 7 SPBU nakal yang melanggar aturan.

“Mereka masih tetap menjual BBM utamanya premium kepada konsumen yang datang dengan membawa jerigen. Padahal itu sesuai aturan Depot Pertamina dilarang, karena bisa mengakibatkan stok habis. Kami sudah melaporkan tujuh SPBU nakal itu ke Depot,” kata Sunarto.

Sunarto menduga pembelian dengan jerigen itu dilakukan pada malam hari, setelah konsumen sepi. Para pembeli bekerja sama dengan petugas SPBU.

Karenanya, “kita sudah menambah penjagaan dari 4 personil menjadi 8 personil setiap SPBU,” imbuh Sunarto.

Jadi total personil yang diterjunkan untuk menjaga SPBU sebanyak 104 orang di 13 SPBU di Kota Palu. Jumlah ini kemungkinan akan bertambah tergantung situasi. Mengingat di waktu-waktu sebelumnya, menjelang dan di saat kenaikan harga BBM, antrean konsumen akan memadati SPBU. Perwira menengah Polres Palu itu juga mengimbau agar masyarakat tidak panik, sehingga melakukan aksi borong BBM dengan jerigen atau memadati SPBU. Karena stok masih cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumen.***

Ratusan Juta Pajak Penerangan Tak Disetor ke Kas Daerah

PAJAK Penerangan Jalan (PPJ) Kota Palu selama kurun waktu 2006-2008 diduga tidak disetor ke kas daerah. Padahal setiap tahun ditargetkan dana yang bisa dikumpulkan tidak kurang dari Rp8 miliar. Kasus ini melibatkan Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPPKD) Kota Palu. Senin (02/06/2008) siang, aparat Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah menggeledah sejumlah ruangan di BPKKD Kota Palu. Sejumlah dokumen pun disita.

Dalam penggeledahan tersebut, aparat Kejati dipimpin oleh Asisten Pidana Khusus Sampe Tuah. Mereka diterima Kepala Sub Dinas Bidang Anggaran Bakran. Seluruh ruangan diperiksa. Dokumen-dokumen terkait PPJ pun diperiksa. Tidak kurang dari 10 dokumen disita oleh para Jaksa tersebut. Dokumen yang disita antara lain buku Kas Umum 2007 sebanyak empat bundel dan buku APBD Kota Palu 2006 sebanyak dua bundel.

Sampe Tuah belum bersedia memberi penjelasan rinci tentang penggeledahan di Kantor BKPPD Kota Palu.

“Penggeledahan ini kita lakukan untuk kepentingan hukum. Kami menyita sejumlah dokumen untuk diperiksa,” kata Sampe singkat usai bertemu Walikota Palu Rusdi Mastura, Senin siang.

Sumber CatatanPoso di Kejati menjelaskan bahwa bahwa PJP ditarik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Palu. Selama ini, PT PLN menarik PJP sebesar 10 persen setiap bulan saat pelanggan membayar biaya listrik. Selain memeriksa BPPKD Kota Palu, Kejati juga meminta keterangan BPPKD Poso dan Parigi Moutong. Kota Palu, Poso dan Parigi Moutong merupakan wilayah pemasaran PT PLN Cabang Palu.

Dari penelusuran Kejaksaan di BKPPD Parigi Moutong diketahui dalam laporan realisasi anggaran Pemkab Parigi Moutong Tahun Anggaran 2006 pendapatan dari PPJ dianggarkan lebih dari Rp1,1 miliar. Sementara yang terealisasi sekitar Rp82.925.455. Lalu dari laporan hasil pemungutan PPJ yang disampaikan PT PLN Ranting Parigi dan Moutong sebesar Rp1.683.037.570. Itu adalah realisasi pada Oktober-Desember 2005 dan Januari-November 2006. Sedang hasil pemungutan PPJ sampai akhir tahun 2006 sebesar Rp161.773.105 belum disetor ke Kas Daerah oleh PLN Ranting Parigi dan Moutong. Bahkan sekitar Rp1.600.112.115 digunakan langsung oleh kedua PLN ranting tersebut. Adapula pengunaan untuk upah pungut tagihan pemakaian listrik Pemkab dan tagihan rekening lampu jalan tidak dipertanggungjawabkan ke Bagian Keuangan Sekretariat Kabupaten.

Sementara di Poso hal serupa juga terjadi. Dalam dokumen anggaran Satuan Kerja Dinas Pendapatan Daerah Poso, PPJ dianggarkan Rp900.460.000 dengan realisasi Rp874.741.605. Hasil pemeriksaan atas realisasi PPJ pada Dispenda Poso diketahui bahwa realisasi penerimaan PPJ yang dikelola PT PLN Ranting Poso sebesar Rp125.860.490 tidak disetor ke kas daerah.

Sementara, untuk Kota Palu saat ini masih ditaksir berapa dana yang belum disetor ke Kas Daerah. Yang jelas Kota Palu menanggarkan pendapatan dari PJP sebesar Rp8 miliar setiap tahunnya.***

Tokoh Agama Poso Protes Fit and Proper Test KPU

TOKOH agama Kristen dan Islam Poso, memprotes penyimpangan yang dilakukan oleh tim seleksi Komite Pemilihan Umum Daerah setempat,dalam proses fit and proper test serta adanya dugaan penyuapan selama proses seleksi anggota kpu setempat. Mereka juga melaporkan tim seleksi ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah

Kedua tokoh agama tersebut adalah Pendeta Rinaldy Damanik dan Ustadz Muhammad Adnan Arsyal. Mereka memrotes proses fit and proper test yang dilakukan oleh tim seleksi KPU Poso yang diketuai oleh Haris Rengga. Menurut mereka proses fit and proper test tersebut bertentangan dengan keputusan KPU Pusat yang menjelaskan bahwa fit and proper test KPU Kota dan Kabupaten dilakukan oleh KPUD terpilih periode 2008-2013 bukan oleh KPU Lama.

Selain itu, keduanya menyoal kasus penyuapan yang dilakukan peserta seleksi KPU atas nama Iskandar Lamuka dan Marten Rompas sebesar Rp10 juta kepada salah seorang anggota KPU Sulteng Periode 2003 – 2008.

“Saya mendengarkan rekaman pembicaraan yang menyebutkan bahwa Iskandar Lamuka dan Marten Rompas memberikan uang kepada Nelly Muhriani, anggota KPUD Provinsi yang lama sebesar sepuluh juta rupiah. Itu dilakukan sebelum fit and proper test,” kata Damanik.

Namun, Iskandar sudah membantah adanya suap itu. “Itu fitnah. Tidak ada soal suap-menyuap itu,” tandas Iskandar. Nelly pun demikian. “Saya tidak pernah menerima suap dari siapapun terkait pelaksanaan seleksi anggota KPU Poso,” aku Nelly.

Selain itu, Damanik dan Arsyal menyoal masuknya nama Matius Neloe, Kepala Bappeda Poso yang bertanggung jawab atas penyaluran Rp58 miliar dana recovery untuk pemulihan sosial, ekonomi warga korban konflik Poso yang kini dalam penyidikan polisi karena diduga sarat korupsi.

“Sebagai Kepala Bappeda, apakah dia sudah mendapat izin dari Bupati Poso? Dan sebagai pejabat pembuat komitmen yang mengelola dana recovery, apakah dia sudah mendapat izin dari Menkokesra? Itu yang harus diperhatikan oleh KPU Provinsi. Apalagi saat ini, Polisi masih mengusut dugaan korupsi dana recovery,” tekan Damanik.**

Polres Gelar Razia Buru 6 DPO

PULUHAN personil gabungan Intelejen dan Keamanan, Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Poso, Senin (26/5) malam menggelar razia besar-besaran untuk memburu 6 orang yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Mabes Polri terkait aksi-aksi kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah. Selain mengejar DPO, sasaran operasi juga adalah untuk mencari bahan peledak dan senjata tajam yang masih dimiliki warga di luar kewenangannya.

Puluhan personil gabungan polisi ini menggelar razia di jalan raya depan markas Polres Poso. Setiap kendaraan yang melintas baik roda dua maupun roda empat diperiksa satu persatu. Untuk memudahkan pemeriksaan, setiap kendaraan diarahkan masuk ke halaman kantor Mapolres kemudian diperiksa. Setiap pengendara diperiksa dan dimintai identitasnya. Sasaran utama razia ini adalah mengejar enam orang DPO kasus kekerasan Poso. Selain itu sasaran lain adalah senjata tajam dan senjata api serta barang berbahaya lainnya.

Namun, dalam razia yang berlangsung selama 1,5 jam ini, Polisi tidak menemukan orang yang dicari serta barang berbahaya.

Menurut Kepala Bagian Operasi Polres Poso Komisaris Polisi Agung Suyono, razia dengan sandi Siwagilemba ini untuk mencari dan mengejar enam DPO yang saat ini diduga masih berada di wilayah Sulawesi Tengah. Selain itu sasaran razia juga adalah senjata tajam, senjata api dan barang berbahaya lainnya.

“Kita terus melakukan operasi penegakan hukum, termasuk mencari enam orang tersangka pelaku aksi-aksi kekerasan di Poso selama ini. Seperti kita ketahui, masih ada enam DPO yang kita duga masih berada di wilayah Sulawesi Tengah,” kata Agung.

Saat ini, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah nasih mengejar enam DPO tersangka pelaku kekerasan di Poso. Mereka antara lain adalah Iwan Asapa alias Ale, Hamdara Tahmil alias Papa Yus alias Man Labuan, Nanto Alias Bojel, Taufik Buraga alias Upik dan Iin Alias Brur.***

Polisi Penembak Warga Terancam Dipecat

BRIGADIR Kepala (Bripka) Panindai, pelaku penembakan warga sipil di komplek lokalisasi Kelurahan Baru Kabupaten Tolitoli, terancam dipecat. Perbuatan Bripka Panindai dinilai telah menodai institusi kepolisian, tidak saja lingkungan di Kepolisian Resor Tolitoli tapi lembaga kepolisian di tanah air. “Kita akan tindak tegas, kalau perlu kita pecat,” tegas Kapolda Sulawesi Tengah, Komisaris Besar Polisi Suparni Parto. Selasa (27/5) pagi.

Kapolda mengatakan, saat ini Bripka Panindai sudah ditahan dan sedang menjalani pemeriksaan intensif di Mapolres Tolitoli. Kapolda mendapat laporan bahwa, Bripka Panindai datang ke lokalisasi dalam keadaan mabuk.

“Dia mabuk ketemu orang mabuk di lokalisasi, terjadilah insiden penembakan,” Katanya. Juru bicara Polda Sulteng, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Irfaizal Nasution mengatakan penembakan Bripka Panindai terhadap Abdul Muin alias Mangkasa murni kelalaian oknum polisi tersebut.

Pihak Polda Sulteng katanya sudah merintahkan pihak Polres Tolitoli untuk mengusut tuntas kasus penembakan itu.Dia menyebutkan oknum anggota polisi itu melanggar pasal 359 soal kelalaian dan pasal 351 soal penganiayaan. Kasus ini akan ditangani Polres Tolitoli untuk diproses hukum dan akan diarahkan ke peradilan umum. Jika di pengadilan nanti oknum polisi itu terbukti bersalah dan mendapat putusan hukum tetap, maka oknum itu terancam pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH.

Hingga Selasa (27/5), Abdul Muin alias Mangkasa korban penembakan oknum polisi, masih dirawat di ruang Bougenvil Rumah Sakit Umum Mokopido Tolitoli. Meski dalam kondisi sadar, korban Abdul Muin belum bisa bergerak. Leher kanannya yang tertembus peluru kaliber 3,28 milik Bripka Panindai, masih diperban.

Kapolres Tolitoli AKBP Nurfalah mengakui, hingga saat ini pihak Polres Tolitoli masih memeriksa secara intensif oknum polisi Bripka Panindai. Oknum polisi itu diperiksa oleh Unit P3D Polres Tolitoli.

“Kami sudah berkunjung dan meminta maaf kepada pihak keluarga korban. Dan semua urusan soal biaya perawatan korban kami tanggung. Yang jelas, kami tidak menolerir seluruh tingkah anggota yang tidak sesuai dengan prosedur apalagi yang melanggar hukum. Kami menyerahkan sepenuhnya ke peradilan umum,” terang Nurfalah.

Soal ancaman pemecatan, Kopolres Nurfalah menyerahkan sepenuhnya kepada peradilan nanti. “Jika sudah mendapat kekuatan hukum tetap yang menyatakan tersangka bersalah, maka akan direkomendasikan untuk dipecat,” katanya.

Seperti diketahui, Abdul Muin alias Mangkasa (23), seorang warga di Tolitoli Sulawesi Tengah, Sabtu malam ditembak seorang oknum polisi. Sebuah peluru menembus leher bagian kanannya. Pelaku itu tak lain adalah oknum polisi berinisial Brigadir Polisi Kepala (Bripka) Pinandai, Komandan Pos di Kecamatan Dakopamean, Tolitoli. Saksi mata, Hamid (54) mengatakan, kejadian itu begitu cepat.

Saat itu ia sedang berada di dekat tempat kejadian perkara (TKP). Hamid melihat korban Abdul Muin dan Bripka Pinandai sedang berada di rumah seorang warga bernama Elet, komplek lokalisasi di Kecamatan Baru, Tolitoli, sekitar pukul 24.00 WITA. Berselang beberapa saat, terdengar letusan keras yang diduga berasal dari moncong pistol Polisi tersebut. Usai bunyi letusan itu, korban Abdul Muin, berlari keluar rumah dengan leher bersimbah darah sambil berteriak menyebut nama pelaku.

“Tiba-tiba saja terdengar letusan senjata lalu saya keluar rumah dan melihat korban lari keluar pak elet sambil sebut nama Pak Panindai,” terang Hamid yang tinggal bersebelahan dengan TKP.

Korban langsung jatuh tersungkur 15 meter dari TKP sambil mengerang kesakitan akibat luka tembak yang bersarang di leher kanannya. Beberapa anggota polisi yang juga berada di sekitar TKP langsung bertindak, dan membawa korban dengan mobil patroli ke Rumah Sakit Umum Mokopido Tolitoli.

Kapolres Tolitoli Ajun Komisaris Besar Polisi Nur Falah, mengatakan, penyebabnya hanya masalah sepele saja. Dari keterangan pelaku, kejadiannya berawal dari cekcok mulut antarkeduanya dan kemudian korban menantang Bripka Panindai berkelahi.

“Karena merasa jengkel, Bripka Pnd langsung mengancungkan pistol ke arah korban Abdul Hamid dan menembaknya. Peluru dari pistol oknum polisi ini mengenai leher bagian kanan korban,’’ jelas Kapolres AKBP Nur Falah. Aksi penembakan itu terjadi di komplek lokalisasi di Tolitoli. “Keduanya, baik pelaku maupun korban salam keadaan mabuk saat itu,” tambah Nur Falah.***

Kontras Desak Mabes Polri Selidiki Kebakaran Polda Sulteng

Palu – Selama sepekan ini, kebakaran dua kali melanda markas Polda Sulteng, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi menduga bahwa hal itu adalah kesengajaan. Kebakaran pertama terjadi Selasa (22/5) malam menghabiskan seluruh gedung utama Polda Sulteng. Kemudian kebakaran kedua terjadi Jumat (23/5) malam di ruang Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse dan Kriminal.

Hal itu disampaikan oleh Edmon Leonardo Siahaan, Koordinator Kontras Sulawesi saat dihubungi,Sabtu (24/5).

“Kapolda Sulteng yang baru diketahui memiliki track record yang bagus buat pemberantasan illegal logging. Saya pikir Mabes Polri harus menyelidiki dengan serius kasus kebakaran ini. Saya menduga Kapolda Suparni merupakan ancaman bagi para penjahat-penjahat illegal logging,” tekan Edmon.

Selama ini, Polda Sulteng memang telah menggelar Operasi Balak Maleo I untuk memberantas illegal logging. Bahkan sebulan lalu, dua orang Polisi diduga terlibat illegal logging. Operasi melibatkan semua Polres di jajaran Polda Sulteng.

Rata-rata hasil illegal logging itu diselundupkan melalui jalur perairan laut menuju Tawau, Malaysia.

Sementara, terkait kebakaran ruang Tipikor Direksrim, Jumat malam, Kapolda Sulteng Suparni Parto tidak bersedia memberikan keterangan. Menurutnya, kebakaran ini akan diselidiki.***

Sunday, April 13, 2008

Bukan Pengikut Ajaran Sesat, Tiga Warga Dibebaskan



Palu - Tiga warga Salena, Aminuddin, Sania dan Lumi, akhirnya dibebaskan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah setelah tidak terbukti sebagai pengikut Madi. Ketiganya ditangkap tidak jauh dari lokasi penyergapan yang menewaskan Madi, pimpinan spiritual ajaran ikat kepala putih di Palu, Sabtu (05/04) sore lalu.

Aminuddin (50), yang juga mertua Madi terlihat senang setelah kembali berkumpul dengan keluarganya di Dusun Salena, Kecamatan Palu Barat. Aminuddin mengaku tidak pernah menjadi pengikut ajaran sesat seperti yang dibawa Madi.

Menurut Aminuddin, dirinya ditangkap saat berada di sebuah kebun untuk mencari bambu di pegunungan Lompu. Tiba-tiba datang polisi. Aminuddin langsung diminta menyerahkan diri kemudian diborgol.

Saat Madi diberondong tembakan, Aminuddin dalam keadaan tiarap. Aminuddin mengaku tidak melihat langsung saat madi ditembak. Tetapi Aminuddin mengaku mendengar suara rentetan tembakan yang tidak terhitung. Saat itu Madi sama sekali tidak melakukan aksi perlawanan, seperti yang dikatakan oleh pihak kepolisian.

”Saya tidak lihat Madi melawan. Yang saya dengar hanya rentetan tembakan. Setelah tembakan berhenti, saya kemudian disuruh lihat apa benar itu Madi. Saya bilang benar. Saat itu Madi sudah mati,” Ungkap Aminuddin.

Pengakuan yang sama juga disampaikan oleh Sania dan Lumi. Saat kejadian itu terjadi mereka tidak melihat Madi melakukan perlawanan.

Sementara itu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menurunkan tim pencari fakta, memperlihatkan puluhan selongsong peluru yang ditemukan di tempat penyergapan Madi, Sabtu sore (05/04) lalu.

Mereka masih meragukan fakta-fakta yang disampaikan kepolisian terutama saat penyergapan yang menyebutkan jika Madi melakukan perlawanan.

Mereka memastikan akan menyampaikan sejumlah fakta yang bertentangan dengan informasi, yang disampaikan kepolisian ke Komisi Hak Asasi Manusia.

Menurut Erwin Laudjeng dari salah satu LSM itu, mereka berencana menggugat kepolisian terkait kasus ini.

“Dari data sementara kami menduga polisi melakukan tindakan tidak procedural saat penyergapan tersebut. Polisi menyatakan bahwa Madi melakukan perlawanan, sementara dari kesaksian yang kami kumpulkan ternyata Madi diberondong di dalam pondoknya,” kata Erwin.

Terkait rencana gugatan tersebut, Kepala Bidang Humas Polda Sulteng AKBP Irfaizal Nasution mengatakan tidak ada masalah, itu hak mereka.

“Tindakan polisi sudah sesuai prosedur, tapi jika masih ada orang-orang yang tidak puas dengan ini, silahkan saja mereka menggugat kami, “ tandas Irfaizal.***

Monday, April 07, 2008

Setelah Madi Tewas Ditembak Polisi



Palu – Madi (41), pemimpin spiritual 'ajaran ikat kepala putih' di Salena, Buluri, Palu Barat, Sulawesi Tengah akhirnya ditembak aparat Detasemen Khusus 88 Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Sabtu (5/4) sekitar pukul 18.00 Waktu Indonesia Tengah. Lelaki yang sudah diburu lebih dari dua tahun ini, terpaksa ditembak setelah melakukan perlawanan kepada aparat Kepolisian yang menyergapnya di Dusun Lompu, di kawasan pegunungan Gawalise. Madi pun tewas, padahal dia disebut-sebut memiliki ilmu kekebalan tubuh.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan bahwa Madi yang bernama asli Arifin ditembak karena hendak membacok aparat Kepolisian yang menyergapnya.

“Dia awalnya ditembak di kaki, namun masih melawan, karenanya kemudian ditembak di bahu. Karena masih melawan lagi, akhirnya kita melumpuhkannya,” terang Badrodin.

Adapun jenazah Madi setelah diotopsi dan diinapkan semalam di Kamar Jenazah Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulteng, akhirnya pada Minggu (6/4) diserahkan kepada keluarga. Madi pun dikebumikan di tanah lahirnya di Salena.

Sekadar diketahui, Madi dengan sejumlah pengikutnya pada 2005 sempat meresahkan warga Palu Barat, Sulawesi Tengah dengan ajarannya. Mereka selalu mengenakan ikat kepala putih dari kain kafan dan berselempang kain kuning.

Lalu pada Sabtu, 22 Oktober 2005, Polisi yang dipimpin Kepala Kepolisian Sektor Kota AKP Bayu Wijanarko mengadakan pertemuan dengan Madi dan kelompoknya. Polisi meminta agar Madi memberikan keterangan kepada Polisi terkait ajarannya yang dianggap meresahkan itu. Namun ia menolak mengikuti kemauan Polisi.

Lantaran suasana sempat menegang, apalagi Madi dikawan dengan pengawal bersenjata tombak dan parang, Polisi pun mengambil langkah mundur. Madi pun tidak ditahan.

Namun, pada Selasa, 25 Oktober 2005, sejumlah aparat Kepolisian dari Samapta, Reserse dan Intelijen mendatangi Madi di padepokannya di Dusun Salena II. Sayang, bukan sambutan hangat yang diterima para Polisi itu justru perlawanan sengit dari Madi dan kelompoknya.

Akhirnya tiga Polisi tewas. Mereka adalah Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Kota Palu AKP Fuadi Chalis, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan AKP Imam Dwi Haryadi dan Kepala Unit Reserse dan Intelijen Polsekta Palu Barat Brigadir Polisi Satu Arwansyah. Sementara sejumlah Polisi lainnya luka-luka.

Sejak saat itu, Madi dan pengikutnya pun diburu Polisi. Sebanyak 13 pengikutnya ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Palu. Mereka mendapat hukuman 4-6 tahun kuruangan penjara. Namun Madi sendiri raib entah kemana, sampai kemudian ditembak Sabtu sore lalu.

Ajaran aneh yang dikembangkan Madi sendiri sebenarnya hanyalah padepokan ilmu bela diri. Mereka mempunyai kitab bertajuk 'Karangan Dentete 10 Kungfu Anak Ramah Membela Masyarakat Kaili.'

Meski itu sepintas terlihat seperti kitab ilmu beladiri, namun di dalamnya berisi sejumlah pegangan. Dalam kitab itu disebutkan lima hal yang harus ditinggalkan kelompoknya. Pertama. jaga ketaatan kepada amir (pimpinan). Kedua, tinggalkan mengharap daripada Allah. Ketiga, tinggalkan meminta kepada Allah. Keempat, tinggalkan memakai barang teman tanpa seizin, dan kelima tinggalkan sifat boros dan mubazir.

Selain mengharamkan hal-hal di atas, ada beberapa hal yang harus dikurangi oleh pengikut Mahdi. Pertama, kurangi masa makan dan minum. Dua, kurangi masa tidur dan istrirahat. Tiga, kurangi berbicara sia-sia. Dan empat, kurangi keluar masjid.

Apakah Madi sendiri taat dengan aturan ini? Ketika polisi mendatangi Madi dan berdialog beberapa hari sebelum terjadi bentrokan, Mahdi malah tidak puasa. Ia tetap makan, minum dan mengunyah sirih saat puasa. Padahal, ajarannya mengurangi masa makan dan minum.

Bagaimana pula komentar Misna, yang ditinggalkan Madi lima orang anak? “Biarlah saya sudah iklas. Saya sudah ingatkan dia jangan lagi buka-buka perguruan itu. Tapi dia tetap buka. Akhirnya begini jadinya,” kata Misna.

Sementara itu, tiga orang yang ditangkap bersama Madi, yakni Sania, Lumi dan Aminuddin, Senin (7/4) pukul 12.15 WITA dibebaskan Polisi. Mereka tidak terbukti sebagai pengikut Madi.

Saat ini, situasi di Salena, kembali tenang. Meski tim reserse dan intelijen Kepolisian masih terus mondar-mandir di sana. Setelah Madi tewas ditembak, rasa-rasanya masalah ini belum selesai. Lembaga Pengembangan dan Studi Hak Azasi Manusia (LPSHAM) berencana menggugat Polda Sulteng karena diduga melakukan tindakan inprosedural dalam penangkapan Madi. Kita tunggu!

Tuesday, February 26, 2008

Tuntut Dana Recovery, Warga Poso Serbu Kantor Gubernur dan Kejati Sulteng

Palu – Tidak kurang dari 100 orang warga Poso, dibantu sejumlah lembaga swadaya masyarakat Sulawesi Tengah, Senin (25/2/2008) pukul 11.00 Waktu Indonesia Tengah, menyerbu Kantor Gubernur dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah. Mereka menuntut pengungkapan dugaan korupsi dana recovery Poso senilai Rp 58 miliar.

Dana tersebut adalah bantuan Kementerian Kesejahteraan Rakyat yang dikucurkan ke Poso pada 2006 lalu. Namun dalam penyalurannya ditemukan sejumlah penyimpangan. Dana tersebut diperuntukkan bagi pemulihan sosial dan ekonomi warga Poso pasca kerusuhan suku, agama, ras dan antargolongan yang melanda Poso sejak 2000.

Seratusan warga tersebut sebelumnya berkumpul di Taman Gor Palu, lalu kemudian menggelar long march di sejumlah jalan protokol di Palu hingga ke Kantor Gubernur dan Kejati Sulteng. Sepanjang jalan hingga tiba di kedua kantor Pemerintahan tersebut, mereka menggelar orasi yang menuntut aparat hukum mengusut tuntas penyelewengan dana recovery.

Muhammad Nasir Said, koordinator lapangan aksi warga Poso yang menamakan diri Aliasi Advokasi Bantuan Kemanusiaan Poso (AABKP) tersebut mendesak Kejaksaan untuk segera memeriksa Bupati Poso Piet Inkiriwang dan satuan-satuan kerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten Poso. Mereka dinilai bertanggung jawab atas penyelewengan dana bantuan kemanusiaan tersebut.

“Kami mencium adanya konspirasi antara penegak hukum dengan orang-orang yang diduga melakukan korupsi dana bantuan kemanusiaan itu, karenanya kami juga mendesak Jaksa Agung untuk memecat Jaksa Tinggi Sulawesi Tengah jika tidak bisa mengungkapkan kasus ini,” tandas Nasir.

Di Kantor Gubernur Sulteng, warga Poso ini diterima Wakil Gubernur Sulteng Ahmad Yahya. Wagub Ahmad juga membubuhkan tanda tangan di atas sehelai kain putih sebagai pernyataan sikapnya mendukung pengungkapan dugaan korupsi dana recovery ini.

Warga Poso mengancam akan menduduki Kantor Kejaksaan Tinggi Sulteng sampai kasus ini diselidiki.

Kasus ini pertama kali mencuat pada Mei 2007, setelah mantan Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Pendeta Rinaldy Damanik melaporkan dugaan korupsi Bupati Poso Piet Inkiriwang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pendeta Rinaldy menyatakan bahwa dana sebesar itu diterima oleh Bupati Piet dalam dua tahapan. Tahap pertama diterima sebesar Rp 30 miliar dan tahap kedua sebesar Rp 28 miliar.

“Mestinya dana tersebut menjadi bagian perkuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Poso, tapi ternyata tidak ada. Itu berarti bahwa proses perencanaan dan implementasi dana packa bencana tersebut tidak melalui proses pembahasan dan tanpa sepengetahuan DPRD,” jelas Damanik.

Menurutnya, jika memang dana tersebut dipergunakan semestinya, harus ada bukti yang jelas.

“Sampai saat ini sekitar 300 kepala keluarga pengungsi korban Kerusuhan asih bermukim di kompleks Lapangan Terbang Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Mereka belum memiliki tanah dan rumah yang layak untuk menetap dan masih banyak hal lainnya yang semestinya sudah tertanggulangi dengan dana sebesar itu,” kata Damanik.***

Saturday, January 05, 2008

Polda Sulteng Gelar Operasi Siwagilemba di Poso

Palu - Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah sejak 1 Januari 2008, resmi memberlakukan Operasi pemulihan keamanan dan ketertiban sipil di Poso dengan sandi Operasi Siwagilemba. Operasi ini digelar setelah Operasi Lantodago pada 31 Desember 2007 kemarin.

Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan bahwa Operasi Siwagilemba sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polda Sulteng.

Sebelumnya, Operasi Lantodago dikoordinir oleh Mabes Polri dengan anggaran dari pusat serta menurunkan sedikitnya 1200 personel termasuk Bawah Kendali Operasi (BKO). Sementara, Operasi Siwagilemba dikoordinir langsung oleh Kapolda Sulteng, dengan anggaran dari daerah dan hanya melibatkan sedikitnya 500 personel polisi dari Polda Sulteng dan Polres Poso.

"Operasi Siwagilemba mengedepankan pendekatan persuasif dengan melakukan pembinaan kepada masyarakat," kata Kapolda Badrodin Haiti.

Kapolda Sulteng menyatakan, operasi keamanan di Poso ini menjadi penting. Saat ini tercatat masih ada sekitar tujuh orang pelaku terorisme di Poso, yang telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) belum berhasil ditangkap.

Mereka ditengarai masih berada di Poso dan beberapa di antaranya di luar Poso, termasuk di Philipina. Antara lain para DPO itu berinsial M, Id, U, I dan S.

Bukan hanya itu, Kapolda menyatakan masih ada sekelompok orang secara diam-diam terus melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mengganggu keamanan di Poso.

"Masih ada sebagian wilayah dalam Kota Poso yang kami anggap rawan, sehingga operasi keamanan dalam skala kecil masih terus dilakukan," tegas Kapolda Badrodin.

Sumber CatatanPoso di Intelijen Kepolisian menyatakan bahwa saat ini masih ada pula 167-200 orang yang diidentifikasi sebagai pendukung DPO. Lalu, sebanyak 100 pemuda potensial menjadi pendukung gerakan radikal, termasuk sebanyak 5 orang diduga sebagai anggota Jamaah Islamiyah masih berada di Poso dan menyebarkan ajaran radikalisme. Sebanyak 100 pemuda potensial itu diduga pernah dilatih oleh Basri, salah seorang terpidana terorisme Poso yang divonis 20 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka disebut-sebut sebagai "anak bebek." Kelompok ini ahli dalam menembak jitu dan merakit bom.

Karenanya, menurut Kapolda, Poso masih memerlukan penanganan sampai kondisi keamanan dan ketertiban menjadi benar-benar membaik. Apalagi saat ini pemerintah sedang melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi pasca konflik.

Persoalan lain yang masih membutuhkan campur tangan aparat keamanan, adalah belum terealisasinya kesepakatan soal pengembalian hak-hak keperdataan masyarakat. "Kami menilai bahwa pengembalian hak-hak keperdataan sesuai kesepakatan Deklarasi Malino itu belum jalan, sehingga ini juga akan menjadi masalah. Maka, Operasi Siwagilemba menjadi sangat penting," tandasnya.

Bupati Poso Piet Inkiriwang juga menyampaikan agar warga Poso bahu-membahu membangun kembali Poso. "Suasana Poso sudah makin kondusif, saatnya kini membangun kembali Poso dan melupakan dendam di antara kita," pinta Piet.

Sementara itu, selama kurun waktu Januari - Desember 2007, Kepolisian berhasil menyita tidak kurang dari 140 senjata api organik dan rakitan, 606 detonator dan sekitar 11.626 butir amunisi dari berbagai kaliber.***

Gua Latea, Makam Leluhur orang Poso

Suku Pamona, suku asli Poso, Sulawesi Tengah mempunyai kebiasaan unik saat menguburkan keluarganya yang meninggal dunia. Jenazah diletakan di dalam peti kayu yang kemudian disimpan di dalam gua hingga tinggal kerangkanya. Sisa-sisa tradisi suku Pamona ini masih bisa kita saksikan di Gua Latea, Tentena, sekitar 57 kilometer arah barat daya Kota Poso atau 267 kilometer dari Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

Suasana magis langsung terasa ketika kita hendak memasuki kawasan Perbukitan Peruru di mana Gua Latea berada. Konon kabarnya bahkan untuk berfoto pun kadang-kadang tidak jadi ketika dicetak. Meski terasa suasana magisnya, perasaan kita terobati dengan pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang segar.

Gua Latea, adalah gua alam berupa bukit kapur yang usia genesisnya ditaksir tidak kurang dari 30 juta tahun silam. Gua ini digunakan sebagai kuburan suku Pamona. Leluhur orang Pamona yang juga biasanya disebut orang Poso itu, dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu, baru berakhir sekitar abad ke-19 Masehi, setelah para penginjil dari Belanda menyebarkan agama Kristen di wilayah ini. Gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam.

Gua ini terdiri dari dua kamar utama. Kamar pertama terletak di kaki bukit di mana terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 tengkorak manusia beserta rangkanya.

Lalu, kamar kedua terletak di atas bukit berisi di mana terdapat 17 pasang peti jenazah, 47 buah tengkorak dan lima buah gelang tangan.

Gua ini adalah kuburan leluhur suku Pamona. Cara penguburan zaman dulu masyarakat Pamona ini, sama seperti yang dilakukan di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Memang, menurut Yustinus Hoke (60), budayawan Pamona, berdasarkan historisnya, orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat.

“Karena masih ada hubungan kekerabatan itulah, sehingga beberapa tradisi nyaris sama, termasuk salah satunya adalah cara penguburan jenazah dengan menaruhnya di gua-gua,” kata Yustinus.

Menurut Budayawan Pamona ini, tata cara dan tempat penguburan juga dipengaruhi kelas sosialnya. Diduga kaum bangsawan dikuburkan di kamar utama di atas bukit di mana didapat pula gelang-gelang dari besi dan kuningan.

Selain di Latea, situs penguburan serupa juga dapat ditemukan di Gua Pamona di tepian Danau Poso dengan 12 kamar.

Seiring perkembangan zaman, kedua tempat itu kemudian menjadi lokasi wisata, bahkan seringkali menjadi tempat anak-anak bermain.

Hengki Bawias (30), warga Tentena, menceritakan bagaimana asyiknya mereka bermain dalam gua itu.

“Guanya sampai di bawah aliran Danau Poso. Kalau masuk harus bawa senter, karena setelah kamar ketiga, cahaya sudah tidak ada lagi. Makin jauh juga kita sudah susah bernapas. Tapi saat anak-anak kami suka bermain-main di dalamnya, karena menantang rasa ingin tahu kami,” tutur Hengki, yang kini sudah menjadi pendeta.


Jembatan Rusak
Gua yang merupakan pekuburan kuno ini dapat dicapai langsung dari jalan utama Kota Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer. Sepeda motor dapat dipakai sampai kilometer pertama lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki sampai di mulut gua.

Tapi jangan bersusah hati dulu, suara serangga hutan seperti orkestra, alrian sungai dan tipuan hawa yang segar bisa mengobati kepenatan kita.

Jalan setapak menuju gua ini sudah dibeton dan dibuat berundak-undak. Tapi tetap harus hati-hati karena jalannya agak licin karena berlumut.

Dua jembatan akan kita lewati sebelum sampai ke mulut gua. Sayang, kondisinya rusak, sehingga papan-papan kayu jembatan sudah berganti jadi pokok-pokok bambu.

“Jembatan ini pernah diperbaiki pada 1994, kemudian tidak pernah lagi sampai kayunya menjadi lapuk. Mudah-mudahan setelah ini, setelah Poso sudah aman kembali kita bisa perbaiki lagi dua jembatan menuju gua Latea,” Viktor Nggasi, seorang juru pelihara Gua Latea.

Pemerintah setempat memang agak melupakan pemeliharaan situs ini, setelah 1998-2000, hampir seluruh wilayah Kabupaten Poso dilanda konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Kini, setelah masa damai tiba makam leluhur orang Poso ini kembali dikunjungi.***

TNI Musnahkan Puluhan Senpi dan Ratusan Amunisi

Poso – Puluhan senjata api organik dan rakitan, Jumat (4/1) hari ini, di Poso Sulawesi Tengah dimusnakan. Pemusnahan ini dilakukan di Markas Batalyon Infanteri 714 Sintuvu Maroso dan dipimpin langsung oleh Panglima Kodam VII Wirabuana, Mayor Jenderal TNI Djoko Susilo Hutomo. Senjata, bahan peledak dan amunisi tersebut adalah hasil Operasi Teritorial TNI selama 2007, selain ditemukan langsung, sebagiannya adalah hasil penyerahan secara sukarela oleh warga.

Senpi, bahan peledak dan amunisi yang dimusnahkan tersebut terdiri dari 2 pucuk senpi laras panjang, 5 pucuk senpi laras pendek, ditambah 20 pucuk senpi laras panjang rakitan dan 11 pucuk senpi laras pendek rakitan. Kemudian ditambah dengan 406 butir amunisi dari berbagai kaliber, 1 bom rakitan dan 2 magazen.

Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Djoko Susilo Hutomo mengatakan bahwa senpi, handak dan amunisi tersebut adalah hasil operasi TNI dan penyerahan warga selama 2007.

Menjawab apakah akan menggelar Operasi selain operasi pemulihan bersandi Siwagilemba yang digelar Polri, Pangdam Djoko mengatakan bahwa TNI akan tetap menggelar Ops Teritorial.

“TNI akan tetap melanjutkan operasi teritorial yang sudah dilakukan selama dua tahun terakhir, dan 2008 ini akan kami lanjutkan kembali. Itu sebagai upaya mendukung pemulihan keamanan dan ketertiban yang dilakukan oleh Polri,” kata Djoko menjawab CatatanPoso.

Menyinggung pengungkapan kasus terorisme di Poso dan masih adanya 7 tersangka yang sudah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO), Djoko mengatakan bahwa pihaknya tetap mendukung dan membantu Polri dalam pengungkapannya.***

Bambu Nasi Jaha Laku, Asap Dapur pun Mengepul

Palu - Menjelang perayaan hari-hari besar agama di Palu, Sulawesi Tengah, utamanya Natal dan Tahun baru ada pasar dadakan di Jalan Nusa Indah, Palu Selatan. Tapi tidak semua kebutuhan Anda di jual di sana , yang dijual hanya bambu untuk penganan tradisional yang dinamai nasi jaha (sejenis lemang), daun pisang pembungkus burasa (nasi yang dikukus dengan cari dibungkus daun pisang) dan janur pembungkus kalopa (sejenis ketupat).

Adalah Hayati, salah seorang perempuan penjual bungkus kalopa dan daun pisang pembungkus burasa di Jalan Nusa Indah itu. Sejak pagi hari ia sudah mulai membuat bungkus kalopa. Jika pembeli dating, bungkus-bungkus kalopa dari janur itu tinggal ditawarkan. Harganya hanya Rp 100 per buah.

Tangan hayati begitu telaten, menjalin dua helai janur kelapa menjadi sebuah bungkus kalopa yang apik. Jika tidak ada kesibukan lain, dalam sehari, biasanya dia bisa membuat tidak kurang dari 100 bungkus kalopa. Lalu setelah itu dijualnya ke pasar dadakan yang hanya ada saat menjelang hari-hari besar agama ini.

Keuntungannya menurut hayati lumayan juga. Bisalah untuk mengepulkan asap dapur. Apalagi ia juga menjual daun pisang buat bungkus burasa atau pepes ikan.

”Kalau tidak untung, mana mungkin saya mau jualan tiap tahun. Ini sudah hampir sepuluh tahun, saya jualan kalo mau hari raya,” aku Hayati.

Selain Hayati, ada pula Saleh. Lelaki ini adalah penjual bambu untuk nasi jaha, penganan tradisional yang dibuat dari beras ketan yang dibumbu aneka rupa lalu dimasak dalam bambu dan tiap 1 centimeter ketebalannya dilapisi daun pisang.

Lelaki ini mengaku menjadi penjual bambu hampir sejak tahun 1980-an. Ia pun adalah pengisi setia pasar dadakan. Bambu yang dijualnya berasal dari dataran Palolo, lembah subur di selatan Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Untuk tiap ruasnya, Saleh memberi harga Rp 500. Tapi kalau ada yang menawar tentu boleh juga dilepas di bawah harga. Sama dengan Hayati, ia pun berharap bisa mengepulkan asap dapur dari berjualan bambu, agar bisa dipakai buat lebaran.

“Kalo mau tahun baru banyak orang bikin nasi jaha. Biasanya mereka sudah pesan duluan sama saya jauh-jauh hari. Bisalah hasilnya dibawa pulang buat anak istri,” kata Saleh, sambil terus mengukur ruas-ruas bamboo dan menggergajinya.

Nah, jika suatu saat anda ke Jalan Nusa Indah dan berharap pasar dadakan ini ada, datanglah di saat menjelang perayaan hari-hari besar agama, utamanya Natal dan Tahun Baru. Di luar waktu itu, jangan harap Anda akan bersua dengan pasar dadakan ini.***

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]