Monday, July 31, 2006

Kado Akhir Tahun untuk Komnas HAM

Jalan Panjang Konflik Poso (3)

UNTUK menyelesaikan kasus Poso pemerintah pun tak mau ambil resiko lagi. Digelarlah Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Terpadu. Tapi banyak yang sangsi akankah itu menyelesaikan masalah.

Kesangsian itu jelas tergambar pada wajah-wajah orang-orang yang mengantar sesosok jenazah yang terbujur kaku di kantong plastik transparan Rabu siang (5/12/01). Di antaranya bermata sembab dan memerah. Mungkin karena kesedihan yang bercampur dendam. Mereka mengantar jenazah sanak keluarganya yang mati terbunuh hari itu. Di atas mereka matahari Ramadhan sedang terik-teriknya. Tapi seperti terpayungi, mereka terus berjalan mengiringi anak muda malang yang telah terbujur kaku itu. Jenazah anak muda yang diiring itu adalah Syuaib Lamarati. Belia berusia 16 tahun, yang ditemukan dengan kepala dan kaki tangan terpisah dari tubuhnya.

Beratus pasang mata pun menyaksikan kekejian yang memaksa anak muda itu meninggalkan hari mudanya. Dia adalah salah seorang korban penculikan Toyado di dinihari Ramadhan ini.

Iringan pengantar jenazah pada Rabu (5/12) tak urung membuat tim Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) terkejut. BN. Marbun, Soegiri dan Andi N. Nurusman, tiga orang wakil dari Komnas HAM itu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya di hadapan sejumlah masyarakat muslim Poso dan tokoh masyarakat Poso.

Sungguh kita pun tak akan mampu menyaksikan kekejian itu. Dan Syuaib hanyalah salah satu korbannya. Kurun Mei-Juni 2000, lalu pada awal 2001, kekejian serupa memakan puluhan korban tak berdosa. Di antaranya adalah anak-anak dan perempuan.

Karenanya banyak pihak selain masyarakat Poso sendiri menghendaki pertikaian yang berdarah-darah itu segera usai. Sementara pada pekan-pekan ini pertikaian suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) itu kian meruyak. Selama pekan ini saja korban yang tewas dari kedua kelompok bertikai mencapai sembilan jiwa, tujuh orang mengalami luka tembakan dan saat berada dalam kondisi kritis. Dua orang korban itu adalah anggota TNI dari Batalyon Infanteri 711 Kompi B Poso.

Hal itu kian menambah deretan jumlah korban yang tewas selama konflik Poso sejak Desember 1998-Desember 2001 ini. Dari laporan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Poso, per 5 Desember 2001 ini korban yang tewas mencapai 577 jiwa. Meski menurut Koordinator Front Solidaritas Islam Revolusioner (FSI-Rev) H. Sofyan Faried Lembah, SH, MH, korban yang tewas mencapai angka 2.000 jiwa. “Jumlah itu kami hitung berdasarkan data demografi sejumlah desa yang dilanda konflik,” terangnya kepada detikcom

Sementara kerugian materil meliputi, 7.932 buah rumah penduduk terbakar, 1.378 rusak berat dan 690 buah rusak ringan. Sedangkan rumah ibadah yang terbakar tercatat masjid 27 buah, gereja 55 buah dan pura 1 buah. Kerugian materil itu juga ditambah dengan 239 kendaraan bermotor yang terbakar..

Sampai dengan hari ini, kondisi keamanan Kabupaten penghasil kayu Ebony seluas 1.443.736 hektare itu, masih tetap saja mencekam. Kondisi perekenomian berjalan tersendat-sendat. Pasar kota satu-satunya di Kabupaten Poso lenggang. Sementara salakan senjata api dan rakitan serta dentuman bom saban malam terdengar.

Kepada detikcom Bupati Poso Abd. Muin Pusadan menyebutkan, pertikaian itu telah meluluhlantakan sejumlah sarana perumahan penduduk, kantor pemerintah dan rumah-rumah ibadah. Diakuinya, roda pemerintahan dan ekonomi Kabupaten Poso belum berjalan normal hingga hari ini. Meski, “kami sudah mengupayakan berbagai jalan untuk kembali ke situasi normal ini. Kami sangat berterima kasih, atas perhatian dari pemerintah pusat atas Poso,” kata Muin.

Karenanya, Muin mengaku benar-benar berharap pada Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Terpadu yang digelar di Poso sejak Senin (10/12/01) pekan ini.

Muin jelas sungguh-sungguh berharap. Soalnya sesuai keterangan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Susilo Bambang Yudhoyono, pada detikcom operasi pemulihan yang digelar di Poso itu ditargetkan selesai hingga enam bulan mendatang. Sesudah itu akan dimulai proses rehabilitasi fisik dan mental, rekonstruksi sosial, ekonomi dan politik hingga rekonsiliasi.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pun tak tanggung-tanggung. Mereka telah menyatakan diri siap untuk mengemban tugas itu. Telah disiapkan 5 batalyon pasukan keamanan dari Polri dan TNI di bawah kendali operasi (BKO) Polda Sulteng, untuk mendukung Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu Poso yang diberi sandi Operasi Sintuvu Maroso itu.

Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Polisi Zainal Abidin Ishak menjelaskan hal itu, saat detikcom menanyakan kesiapan aparat keamanan di Poso.

Menurutnya, penambahan personil aparat keamanan adalah konsekwensi logis dari upaya pemulihan keamanan di Poso. “Sampai saat ini kami telah meminta bantuan kepada Polda Sulawesi Selatan, Polda Sulawesi Utara dan Markas Komando Brimob Kelapa Dua Bogor,” kata Zainal.

Penambahan personil keamanan itu, terang Zainal lagi, dalam rangka pelaksanaan “Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Terpadu.”Yang jelas kami telah menyiapkan diri untuk itu,” tekan zainal.

Zainal menjelaskan jika operasi itu akan diawali dengan sweeping senjata di kalangan sipil. Itu menurutnya atas permintaan masyarakat Poso sendiri yang ingin segera menyudahi konflik yang telah berlarut-larut itu.

Soal operasi itu, sebelumnya Rabu (5/12/01) juga telah dijelaskan Menkopolkam Susilo di hadapan masyarakat Poso. Menurutnya, operasi itu bertujuan untuk menciptakan prakondisi menuju tahapan rekonsiliasi Poso.

Memang banyak yang berharap agar operasi itu bisa berlangsung efektif. Apalagi memang sekitar 32.674 Kepala Keluarga pengungsi kini masih berada di barak-barak dan posko penampungan pengungsi di Palu dan Tentena, serta sejumlah kota di Sulawesi semisal Manado dan Makassar.
Hanya saja ada yang mempertanyakan pendekatan militer yang digunakan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik Poso itu. Salah satunya adalah Da’i kondang KH. Zainuddin MZ. Dalam tabliq akbarnya di Medan pekan ini dia mempertanyakan upaya pendekatan militer yang digunakan itu. Menurutnya, pemerintah mesti mengedepankan pendekatan religi atau kultural.

Kekhawatiran Zainuddin itu beralasan. Soalnya hanya untuk wilayah yang luasnya cuma 1.443.736 hektare itu, sampai ada 5 batalyon yang mesti disiapkan. Selain biaya operasional yang besar, dampak-dampak daerah operasi militer sudah sama-sama kita maklumi. Meski untuk operasi itu, baik TNI maupun Polri menolak disebut sebagai operasi militer, seperti yang diberlakukan di Nanggroe Aceh Darussalam atau Papua.

Padahal upaya yang pernah dirintis oleh Polda Sulteng berupa tim pembinaan rohani, keamanan, ketertiban masyarakat (Binrohkamtibmas) mesti dioptimalkan. Artinya, pendekatan sosiokultural mesti lebih diutamakan daripada pendekatan dengan kekuatan senjata.

Tapi apapun adanya nanti, jalan damai tanpa kekerasan tentu saja mesti dipertimbangkan. Menkopolkam Susilo sendiri sudah berjanji jika target waktu enam bulan ke depan, itu adalah penciptaan prakondisi menuju tahapan rekonsiliasi Poso. Artinya, “operasi yang akan dilakukan mesti dilakukan terarah, efektif, adil, realistis dan terukur,” kata Susilo.

Soalnya jika masih saja menggunakan kekuatan senjata, giliran Komnas HAM yang akan diberi pekerjaan baru lagi, seperti kejadian yang sudah-sudah. Berat nian pekerjaan Komnas HAM. Saat para pejabat mendapat angpau dan kad-kado berharga mahal dari rekanannya, Komnas HAM justru mendapat kado tak enak: Menyelesaikan kasus Poso

Rintihan Pengungsi Poso
Sudah setahun lebih pengungsi Poso meninggalkan kampung halaman. Sayang jalan kembali masih penuh onak. Poso masih kerap bergolak. Kegundahan hati itulah yang juga dituturkan Khadijah, 40 tahun, perempuan bersuku Sasak. Lombok itu, yang mengaku sudah belasan tahum bermukin di Poso. Di Desa Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, bersama anak dan menantunya, dia memilih hidup bertani di daerah yang memang subur itu. Hidup tenang, serba berkecukupan perlahan menghampiri mereka. Sampai kemudian kerusuhan Poso terbesar Mei hingga Juni tahun silam, membuyarkan harapan mereka. Rumah yang mereka tinggali hangus dilalap api, berkarung-karung bawang merah hasil kebunnya, juga turut terbakar.

Kini bersama 79 ribu pengungsi lainnya, dia mesti hidup prihatin di Posko Pengungsi Poso di Stadion Gawalise Palu. Terhitung sudah 13 bulan lamanya, mereka makan dan bergantung dari sejumlah dermawan yang masih ikhlas menyisihkan sebagian rejekinya untuk mereka.

Saban waktu, mereka cuma bisa mencicipi mi instan dan lauk seadanya. Itu pun kalau lagi beruntung. Sebab kerap mereka cuma makan nasi putih berbumbu garam, agar sedikit enak untuk dinikmati. Kalau gudang posko pengungsi lagi terisi, mereka akan mendapat jatah dua bungkus mi instan, dua liter beras, satu bungkus garam dapur dan bisa juga ikan kaleng.

Mereka juga bisa sedikit berlega hati, kalau suami atau anak laki-laki mereka sempat bekerja, meski cuma jadi kuli bangunan. Sebab meski kecil, pasti ada serupiah dua yang mereka bisa bawa pulang.

Mereka sebenarnya ingin hidup lebih layak lagi. Ada yang ingin kembali, ada yang ingin ditransmigrasikan, bahkan ada yang ingin menetap dan bekerja yang layak di Palu saja.

"Tapi kalau saya lebih memilih ditransmigrasikan, ketimbang kembali ke Poso. Saya tidak punya apa-apa lagi di Poso," ungkap Khadijah.

Sebuah pilihan yang bisa terbaca sebagai sebuah ungkapan traumatis dari seorang perempuan yang menyaksikan sendiri, keluarganya terbunuh dan rumah orang sekampung musnah dilalap api.

Mereka sudah jenuh hidup di pengungsian dengan segala keterbatasannya. Apalagi sempat ada yang bilang kalau mereka kian dimanjakan dengan sumbangan-sumbangan dari sejumlah dermawan. Catat saja, untuk 10 bulan pertama, menurut taksiran Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Sulawesi Tengah, mereka sudah menghabiskan Rp 10 miliar lebih untuk memenuhi kebutuhan pangan para pengungsi Poso itu.

Pada bulan ini pemerintah pusat juga sudah mengucurkan Rp 9 miliar. Jumlah sebesar itu adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka tiga bulan ke depan. Rencananya setiap orang akan mendapatkan Rp 45 ribu per Kepala Keluarga per bulan, ditambah dengan 12 kilogram beras setiap bulannya. Cuma disyarati setiap kepala keluarga cuma menanggung 5 jiwa, tak lebih dari itu. Katanya agar tak ada terjadi manipulasi data pengungsi.

Saat ini dalam data terakhir yang dikeluarkan oleh Dinkesos, di Kota Palu, ada 27 ribu jiwa pengungsi, di Kabupaten Donggala, 12 ribu jiwa dan di Kabupaten Poso, 40 ribu jiwa.

Dari jumlah itu, 2.523 jiwa adalah Balita, dan anak-anak usia sekolah dari 6-12 tahun sekitar 3.117 jiwa. Mereka berasal dari empat kecamatan terbesar di Kabupaten Poso, yakni Pamona Utara, Lage, Poso Pesisir dan Poso Kota. Di antara mereka itu juga, sekitar 1.828 KK, sudah tak punya rumah lagi karena terbakar saat kerusuhan SARA di Poso masih tengah berkecamuk.

Yang menarik, ada kabar tak enak, katanya pengungsi ini dijadikan lahan usaha basah untuk meraup keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengurusan pengungsi Poso. Pihak itu tentu saja Dinkesos, pengelola posko dan sejumlah pihak terkait. Tapi untuk itu, sejak semula Kepala Dinkesos Azikin Suyuti menjamin tak akan ada pemotongan-pemotongan atau penggelembungan data-data pengungsi bagi kepentingan mereka. "Pihak kami memberikan bantuan sesuai data yang diserahkan oleh para pengungsi itu melalui daftar isian yang kami bagikan ke sejumlah posko pengungsi. Jadi tak mungkin kami memanipulasi data-data itu," tekan Azikin.

Dari daftar isian itu pula pihaknya, kemudian mendata sejumlah keinginan para pengungsi. Menurut Azikin sekitar 684 KK, lebih memilih menetap dan mencari kerja di Palu, 1.285 KK bertekad untuk kembali ke Poso, yang ingin ditransmigrasikan cuma 943 KK dan yang ingin kembali ke daerah asalnya sekitar 255 KK. Yang disebut terakhir rata-rata mereka yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Selama ini yang tentu saja paling merasakan dampak kerusuhan SARA yang awalnya selalu ditutupi-tutupi oleh para pejabat daerah itu adalah Balita, anak-anak dan perempuan yang berjumlah sekitar 9.733 jiwa. Untuk Balita kasus yang paling menonjol adalah infeksi saluran pernapasan, busung lapar dan diare. Apalagi selama ini pemenuhan gizi mereka, sungguh tak sesuai dengan kebutuhan mereka. Lihat saja, di posko-posko pengungsi yang ada, biasanya kalau lagi tak ada susu, mereka cuma diberi makan mi instan yang dihancurkan ditambah air putih. Sungguh membuat kita trenyuh. "Tapi cuma itu yang bisa kita usahakan. Awal-awalnya memang Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah, masih memperhatikan urusan pemenuhan pangan untuk balita itu. Tapi sekarang sudah sangat jarang. Kami memakluminya sebab mungkin saja, mereka juga kekurangan dana," tutur Iskandar Lamuka, ahli teknik yang sempat selama 13 bulan menjadi relawan posko pengungsi Poso di Palu.

Tengok saja, lantaran itu, "Sampai sudah 70 orang pengungsi Poso meninggal dunia. 80 persennya di antaranya adalah balita dan anak-anak," sambung Yus Mangun, mantan Koordinator Umum Posko Pengungsi Poso di Palu.

Cuma menurut Taswin Borman, dari Dinas Kesehatan Palu, suplai obat-obatan untuk pengungsi Poso bukan diberhentikan, tapi pelayanannya diserahkan kepada Puskesmas Yang ditunjuk. "Kalau ada yang sakit, mereka bisa menghubungi Puskesmas yang telah ditetapkan khusus bagi pengungsi. Hanya saja mereka harus memperlihatkan kartu dari Posko Induk di Gedung KNPI Sulteng," jelas Taswin.

Sementara anak-anak usia sekolah kesulitan yang mereka hadapi tentu saja ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah di Palu. Meski Walikota Palu, ada kebijakan dikeluarkan agar anak-anak pengungsi Poso yang ingin sekolah di Palu, dibebaskan dari biaya uang bangunan. Masalahnya, tentu daya tampung sekolah-sekolah bersangkutan.

Menangani pengungsi Poso memang tergolong rumit, bagaimana tidak di saat berbagai donatur dari masyarakat mengucurkan bantuan, ada-ada saja oknum tertentu yang mencoba memanfaatkan penderitaan pengungsi. Menurut Nurdin Gani, pengungsi yang bermukim di Kelurahan Silae itu, ada beberapa lembaga yang mengatasnamakan pengungsi untuk meraup keuntungan pribadi. Sayangnya Nurdin, belum bisa menyebutkan beberapa lembaga yang dimaksudkan. Kata dia, lembaga tersebut hanya mengajukan proposal untuk ditawarkan kepada negara-negara donor dari negara tertentu, tetapi pengungsi tidak kebagian.

Abdul Kadir, koordinator posko induk Gawalise pun mengeluhkan hal serupa. Cuma sayangnya bukti-bukti penyelewengan dana itu sangat sulit untuk ditemukan. Siapa yang tega menilep dana pengungsi itu?***

0 comments:

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]