Monday, July 31, 2006

Rekonsiliasi Poso: Upaya Tiada Henti

Jalan Panjang Konflik Poso (2)

SUNGAI Poso masih mengalir seperti biasanya. Sungai yang membelah Kota Poso itu, menjadi ciri khas kota kecil itu. Airnya yang membiru dan di beberapa tempat berkedalaman hingga 5 meter, konon, dihuni buaya payau (Crocodilus sp).

Tapi bagi sebagian besar masyarakat petani setempat itu bukan halangan. Saban hari mereka bolak-balik melewati sungai itu dengan perahu ramping tak bercadik atau rakit bamboo, jika ingin pergi ke ladangnya di seberang bantaran sungai.

Sungai yang berhulu di Danau Poso itu, menjadi saksi masuknya Misie en Zending Belanda yang menyebarkan agama Kristen Protestan di pedalaman Poso pada abad ke-16. AC. Kruyt, salah seorang misionaris asal Belanda itulah yang memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk pedalaman Poso. Sementara Islam telah menyebar di Pesisiran Poso jauh temponya, dari kedatangan Kruyt.

Dengan penguasaan antropologi dan linguistik yang piawai, Kruyt menterjemahkan injil ke dalam Bahasa Bare’e, bahasa asli etnik yang bermukim di Poso. Kristen pun menyebar dan Islam pun berjaya. Rupanya, kesimpulan yang diambil mendiang Kruyt, masyarakat setempat memegang teguh sendi adat Sintuvu Maroso, yang terjemahannya kira-kira: Bersatu Membuat Kita Kuat.

Makanya tak perlu heran, hingga saat ini, satu rumpun keluarga memeluk agama yang berbeda. Sayang kerusuhan kurun Mei-Juni 2000, memang benar-benar membuat sendi-sendi kultural itu luluh lantak. Tak ada lagi saudara, tak ada lagi tetua, Cuma dendamlah yang punya hak bicara.

Simak saja dari data yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Poso per 5 Desember 2001 ini, korban tewas mencapai 577 jiwa. Sedang kerugian materil meliputi, 7.932 buah rumah penduduk yang terbakar, 1.378 rusak berat dan 690 buah rusak ringan. Sedangkan rumah ibadah yang terbakar tercatat masjid 27 buah, gereja 55 buah dan pura 1 buah. Kerugian materil itu juga ditambah dengan terbakarnya 239 kendaraan bermotor.

Padahal selama ini, Poso yang menjadi salah satu daerah tujuan wisata andalan di Indonesia Timur tersohor dengan masyarakatnya yang toleran dan familiar.

Makanya orang pun heran bukan kepalang. Pemerintah pun dibuat tersentak. Baru kali itu Poso mengalami kejadian terburuk dalam perkembangan 100 tahun usianya. Kota tua itu benar-benar luluhlantak. Belum usai persoalan yang terjadi pada Desember 1998, hantaman demi hantaman konflik terus menderanya.

Kalau pada kerusuhan Poso Desember 1998, pendekatan sosiokultural masih bisa dipakai, kerusuhan kedua April-Juni 2000, itu tak mempan lagi. Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah pun mengelar Operasi Sadar Maleo yang efektif dimulai 1 Juli 2000. 14 satuan setingkat kompi (SSK) aparat TNI dan Polri diterjunkan untuk mengamankan Poso. Sebagian personil adalah bantuan dari Polda Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Kodam VII Wirabuana.

Pemerintah daerah pun tak tinggal diam, dibentuklah Tim Rekonsiliasi Daerah yang dikoordinatori Wakil Bupati Poso Abdul Malik Syahadat. Sayang seperti pengakuan Malik kemudian, tim bentukan pemda kabupaten itu tak efektif. Banyak kendala yang mereka temui di lapangan. “Salah satunya adalah komunikasi antarpara anggota tim rekonsiliasi tak berjalan sebagaimana mestinya karena pengaruh konflik itu,” ujarnya.

Sementara itu dalam waktu bersamaan, Kodam VII Wirabuana, komando daerah militer yang membawahi komando resor militer se-Sulawesi, juga menggelar Operasi Cinta Damai. Tapi tetap saja kendali operasi berada di tangan Polri. Meski sempat menekan letupan pertikaian, hingga berakhirnya operasi itu Senin (10/12/01) lalu, hasil yang dicapai belum optimal. Perkelahian bersenjata, penghadangan bus penumpang umum, penjarahan, pembantaian, dan pembakaran-pembakaran rumah penduduk masih saja terjadi. Korban jiwa pun kian bertambah.

Di tingkat Provinsi, setelah tim rekonsiliasi bentukan pemerintah kabupaten tak berjalan sebagaimana mestinya, dibentuklah Tim Rekonsiliasi Sintuvu Maroso, yang langsung dibawah pengawasan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Ruly Lamadjido, Agustus lalu. Ketua tim itu dipercayakan kepada Letkol Inf Gumyadi, Kepala Bimbingan Masyarakat Kantor Gubernur Sulteng. Sayang lagi-lagi tim itu menemui jalan buntu. Khalayak lebih percaya senjata tinimbang kata-kata. Pertikaian masih saja terjadi.

Bahkan saat kali pertama berada di Poso, sekretariat tim itu diledakan dengan bom. Untung tak menimbulkan korban jiwa.

“Padahal kita datang ke Poso dengan maksud untuk segera menyudahi konflik. Karenanya semua komponen masyarakat dari dua belah pihak bertikai kita dekati, tapi rupanya ada yang tak bersepakat dengan itu,” kata Gumyadi pada suatu kesempatan.

Tim rekonsiliasi itu kehilangan gigi di tengah salakan senjata dan dentuman bom. Orang memang tak percaya lagi pada kata-kata. Padahal sejumlah lembaga semisal Kelompok Kerja Resolusi Konflik Poso (Pokja-RKP) yang didirikan sejumlah organisasi nonpemerintah di Palu juga turut terlibat dalam upaya-upaya rekonsiliasi.

Komunikasi antaragam pun berusaha dijalin, tapi tetap saja jalinan itu kemudian putus kembali. Meski sejumlah tokoh dari kalangan Islam, Anggota Dewan Ulama Alkhairaat semisal KH. Dahlan Tangkaderi dan pendeta-pendeta Kristen Protestan semisal Irianto Kongkoli, atau uskup Katolik semisal Jimmy Tumbelaka, sudah didekati begitu rupa. Memang jalinan komunikasi antarmereka itu kian bagus, sayang di tingkat akar rumput yang terjadi adalah anomali.

“Anomali, keanehan yang saya maksudkan itu adalah masyarakat sudah tak percaya lagi pada siapa-siapa. Mereka cuma percaya bahwa membalaskan dendam berarti menyelesaikan masalah,” sebut Datlin Tamalagi, seorang staf Edukatif di Jurusan Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik Palu.

Menurut tokoh masyarakat Poso yang pernah menjadi Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sulteng itu, anomali itu bisa diatasi dengan pembagian dan distribusi kekuasaan yang adil. Sebab, “ada kekecawaan yang terbaca pada salah satu kelompok bertikai bahwa mereka cenderung dipinggirkan dalam kekuasaan,” urainya.

Tapi pernyataannya itu ditampik oleh Sofyan Faried Lembah, pengajar Hukum di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu. Menurutnya pernyataan itu justru menyederhanakan persoalan Poso yang sebenarnya multidimensional. “Sentimen agama yang justru lebih mengemuka. Itu tidak bisa ditutupi. Masyarakat Muslim di Poso kan selama ini tak pernah mempersoalkan Poso ketika dipimpin oleh bupati beragama Kristen,” terang tokoh muda Muhammadiyah Palu itu.

Tapi apapun perdebatan mereka, tetaplah menarik memperbincangkan upaya-upaya rekonsiliasi yang sudah digagas oleh pemerintah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat. Soalnya dalam beberapa kali upaya itu, cuma aspek formalitasnya yang menonjol. Itu pula yang terjadi pada upacara adat Sintuvu Maroso Selasa, 22 Agustus 2000, yang dihadiri Presiden Abdurrahmman Wahid alias Gus Dur. Buktinya sekembalinya Gus Dur dari sana, belum kering darah kerbau yang dijadikan korban, belum hilang bau keringat khalayak di Lapangan Kasintuvu Poso, serangan demi serangan bersenjata kembali terjadi. Itu terjadi hingga tahun 2000 berakhir.

Terang saja pemerintah kalang kabut, belum lagi mesti mengurusi puluhan ribu kepala keluarga pengungsi, yang nelangsa di barak-barak dan posko pengungsi.

Saat Poso belum aman juga, pasukan keamanan ditingkatkan menjadi 23 SSK. Masih terdiri dari aparat TNI dan Polri. Apakah Poso pulih? Ternyata belum juga, hingga Desember serangkaian penyerangan-penyerangan, pembakaran-pembakaran, penculikan dan pembunuhah-pembunuhan masih saja terjadi.

Sampai kemudian Selasa (4/12/01) dalam Rakorpolkam di Jakarta, Presiden Megawati Soekarno Putri menyetujui pelaksanaan Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu Poso. Oleh Polda Sulteng, operasi itu diberi sandi Operasi Sintuvu Maroso. Lalu Rabu (5/12/01) sejumlah menteri ditugaskan Presiden Megawati untuk meninjau langsung Poso. Dan tercapailah kesepakatan operasi pemulihan keamanan itu mulai digelar Senin (10/12/01).

Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Sulteng AKBP Agus Sugianto, saat ini operasi masih berada pada tahapan pengimbauan. “Masyarakat kami imbau untuk segera menyerahkan senjata-senjata yang mereka miliki. Kami ingin menggugah kesadaran mereka,” ungkapnya.

Soalnya, sambungnya lagi, per 1 Januari 2002 nanti sweeping senjata dan penataan administrasi penduduk akan efektif dimulai. “Senjata kami rampas, orangnya pun kami tahan. Sementara bagi yang tak punya identitas sebagai masyarakat Poso akan kami keluarkan dari Poso,” jelas Agus.

Dalam operasi, menurut Agus, Polisi akan dibantu oleh aparat pemerintah setempat. Sementara TNI akan menutup jalan masuk dan keluar wilayah yang menjadi target operasi.

Keseriusan aparat itu menurut Agus, lantaran sesuai penegasan Menkopolkam Susilo, dalam enam bulang mendatang keamanan Poso harus segera bisa dipulihkan. Selanjutnya Poso akan memasuki tahapan rehabilitasi mental, fisik, rekonstruksi social, politik dan ekonomi, hingga rekonsiliasi. Khalayak ramai pun menunggu dengan cemas masa itu.

Nah, tak lepas dari hal itu, menarik untuk membicarakan keterlibatan seorang tokoh ulama Parigi, kecamatan yang berjarak Cuma 30 kilometer dari Poso. KH. Shaleh ZA. Damar, nama kyai bersahaja itu. Ketika kerusuhan Poso kian dekat dengan tempatnya bermukim, ditambah lagi aliran pengungsi menyemuti Pesantren Alkahiraat yang dipimpin, bersama sejumlah tokoh ia pun menggagas berdiirinya forum kerukunan antarumat beragama di Parigi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Terbukti forum beranggotakan tokoh-tokoh lintasetnik dan agama itu, mampu menahan laju kerusuhan Poso. Padahal sebelumnya, sebelumnya banyak anak muda dari dua belah pihak bertikai yang sudah bersiap diri menyambut “perang” itu.

Di Palu, 230 kilometer dari Poso, LPS HAM, salah satu lembaga studi HAM lalu menggagas kelompok kerja rekonsiliasi. Mereka mengupayakan hubungan antaragama. Sejauh ini mereka telah berhasil membangun kesepahaman-kesepahaman itu, meski arus besar perlawan masih menjadi perintang. Mereka lalu memproduksi poster ajakan damai, menerbitkan newsletter dan stiker. Meski tak seberhasil Tim Baku Bae Malukunya Ichsan Malik, usaha yang dimotori oleh Tahmidy Lasahido, Dedy Askari dan Syamsu Alam Agus itu patut diacungi jempol.

Dari kalangan tokoh agama, pendeta Irianto Kongkoli, KH. Dahlan Tangkaderi dan KH. Yahya Al-Amrie juga mesti dicermati. Mereka aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan lintasagama yang membahas upaya rekonsiliasi Poso. Bahkan ketika AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia menggelar workshop media Maluku dan Maluku Utara di Palu Juni 2000 lalu, mereka pun turut melibatkan diri.

Lagi-lagi sayang, mereka kalah. Ternyata penganjur perang, lebih banyak daripada penganjur damai. Karenanya nasib Poso mesti mulai kita hitung hingga enam bulan mendatang sesuai penegasan Menkopolkam. Upaya rekonsiliasi tak harus berhenti hanya karena cercaan.***

0 comments:

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]