Sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Agustadi SP pada kedatangannya di Poso, Rabu (24/1/2007) lalu menyaksikan sendiri betapa banyaknya
senjata api, amunisi dan bahan peledak illegal yang beredar di Poso.
Dari penyisiran Polisi pasca baku tembak dengan kelompok bersenjata di Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota saja, tidak kurang dari 25 pucuk senjata api dan sekitar 3.000 butir amunisi serta lebih dari 400 detonator bom berhasil ditemukan. Alat-alat tempur yang semestinya hanya dimiliki oleh Kepolisian dan TNI itu didapatkan dari tangan warga sipil di Poso.
Jadi betapa bisa dibayangkan banyaknya senpi, amunisi dan handak illegal beredar di wilayah yang diharubiru oleh kekerasan demi kekerasan itu sejak 1998.
Dari mana sesungguhnya senjata-senjata itu datang? Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar di Jakarta menyatakan sebagian senapan tempur milik para
buronan kerusuhan Poso dipastikan merupakan senjata organik Polri.
Senjata tersebut berpindah tangan ketika gudang Brimob di Tantui, Ambon dibobol pencuri pada 2001. Saat itu hampir 800 pucuk senapan serbu milik Polri dicuri. Diduga selain dipakai oleh kelompok bersenjata di Ambon, sebagiannya juga dibawa ke Poso. Peredaran senpi itu diduga dilakukan anggota milisi laskar jihad Ahlussunnah Waljamaah pimpinan Ja’far Umar Thalib yang memang aktif di Poso dan Ambon.
"Kita sudah buktikan ada tiga senjata yang mereka pakai itu diambil dari waktu kejadian penyerbuan kantor, asrama dan gudang Brimob di Ambon," kata Syamsir Siregar, Kamis (25/1/2007) di Jakarta.
Jika awal-awal konflik 1998 – 2000, senjata api rakitan semisal dum-dum atau paporo masih memainkan peranan, maka pada fase-fase selanjutnya hingga 2007 ini penggunaan senjata api makin berkualitas. Kelompok bersenjata di Poso biasanya menggunakan senjata laras panjang M-16, SKS, US Carabine dan senjata laras pendek jenis revolver S&W, juga FN.
Bahkan pada penyisiran yang dilakukan Polisi, Kamis (25/1/2006) di Tanah Runtuh, Gebangrejo, Poso ditemukan MK 3 buatan Rusia. Senjata ini dikalangan sipil bersenjata dikenal sebagai senjata rantang, oleh karena tempat pelurunya yang bulat menyerupai rantang. Senjata ini seperti yang dipakai salah seorang bintang Hollywood Silvester Stalone dalam film-film Rambonya.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana senjata-senjata tempur semacam itu bisa jatuh ke tangan sipil.
Di Poso, Sulawesi Tengah, selain sisa-sisa dari 1950-an saat pemberontakan PRRI-Permesta bergejolak, senjata ke Poso mulai masuk berbarengan dengan kedatangan laskar jihad Ahlussunnah Waljamaah pada 2001. Sebelumnya di kelompok milisi Kristen di Tentena senjata-senjata organik dan rakitan juga sudah dipunyai.
Bahkan ketika, Pendeta Rinaldy Damanik, saat ini Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah harus berurusan dengan Polisi gara-gara kedapatan membawa senjata api rakitan dan amunisi di mobilnya. Pengadilan Negeri Palu kemudian mengvonisnya selama tiga tahun penjara pada Juni 2003. Meski berkali-kali dia menyatakan bahwa itu adalah jebakan.
Setelah masa damai tiba. Saban waktu, aparat Kepolisian dan TNI di Poso mengimbau warga dari dua belah pihak yang bertikai untuk menyerahkan senjata api rakitan, organik, amunisi dan bahan peledak yang mereka kuasai. Sayang yang diserahkan rata-rata sudah karatan dan tidak berfungsi lagi. Artinya, di kalangan sipil di Poso senjata-senjata itu masih ada.
Selain pengambilan paksa di gudang-gudang senjata milik TNI maupun Polri, ada pula yang diperjualbelikan. Dari Pengadilan Negeri Palu pada 2001, seorang Polisi berpangkat Brigadir Satu Polisi IW divonis karena menyuplai amunisi bagi salah satu kelompok bertikai di Poso.
Lalu, sejumlah intel Kodam VIII Wirabuana yang hendak mengamankan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional di Palu pada 2000 dihadang warga di Tentena, Pamona
Utara. Senjata-senjata mereka dirampas.
Pada 2000-2003, tawar menawar amunisi dan senjata di Poso masih bisa kita jumpai. Ada yang menjual amunisi caliber 5,56 milimeter seharga Rp 5000 – Rp 7500 per butirnya. Ada pula yang menawarkan senjata SS-1 dengan harga Rp 8 juta per pucuk.
Nah, selain dari dalam negeri, sumber utama penyelundupan senjata ke Poso berasal dari Philipina.
Dari kesaksian di Pengadilan Negeri Palu 2003, didapat keterangan pintu penyelundupan penting lain adalah Tawao - Nunukan, dengan senjata bersumber Filipina Selatan. Seorang bekas tokoh Jemaah Islamiyah (JI) berkebangsaan Malaysia, Nasir Abas menyatakan bahwa jaringan organisasi ini pernah memanfaatkan penyelundupan melalui jalur ini.
Ketika itu, bersama Zulkarnain (seorang tokoh JI lainnya), mereka mengirimkan empat pucuk senjata laras panjang dan empat pucuk senjata laras pendek ke Ambon. Nasir mengakui cerita ini di depan sebuah siding pengadilan di Palu,4 Oktober 2003.
Muhammad Nasir bin Abas (34 tahun) alias Sulaiman alias Leman, alias Maman, alias Khairudin, alias Malik, alias Nasir Abas, alias Adi Santoso, alias Edy Mulyono, alias Maa'ruf sendiri lahir di Singapura, 6 Mei 1969. Ia berkewarganegaraan Malaysia. Ia mengenyam pendidikan terahir di Sekolah Menengah Datu Jafar Johor Baru, Johor Malaysia.Sebelum ditangkap, alamat terahirnya adalah BTN Palupi Permai Blok D No. 19 Kodya Palu.
Nasir Abas (berkebangsaan Malaysia) adalah ipar Muhamad Gufran alias Muchlas, salah seorang tersangka peledakan bom Bali. Nasir Abas pernah menjadi instruktur di bidang senjata di Akademi militer Mujahidin Afganistan 1989-1991. Sejak April 2001,ia dilantik sebagai Ketua Mantiqi Tsalis (Wilayah III), yang mencakup Sabah Malaysia, Kalimantan Timur Indonesia, Palu Sulawesi Tengah Indonesia, dan Mindanao Filipina Selatan (termasuk kamp latihan Hudaybiyah) menggantikan Mustapha.
Saat ini, sang tokoh tidak lagi terlibat dalam JI dan mulai membeber banyak kekeliruan organisasi ini.
Lain Natsir, lain pula Alfarouk. Sosok yang dikenal sebagai pentolah Alqaeda di Asia ini sekitar 2001 - 2002 dilaporkan pernah bermukim di Poso. Bahkan bekas Ketua DPRD Poso Akram Kamaruddin pernah diperiksa Polisi terkait dengan Alfarouk lantaran didapat informasi rumahnya dikontrak oleh pentolan Alqaeda ini. Namun kasusnya kemudian tidak berlanjut, karena Polisi kesulitan mendapatkan saksi.Diduga Alfarouk yang tewas ditembak tentara Inggris pada September 2006, pernah melatih penggunaan senjata pada anak-anak muda di Poso.
Dalam penulusuran intelijen Kepolisian diketahui selain jalur itu, jalur masuknya senjata illegal ke Poso juga melalui jalur laut Philipina Selatan, menuju Kepulauan Sangihe, Sangir Talaud, lalu ke Bitung. Setelah kemudian dibawa melalui jalur darat di wilayah Pantai Timur Parigi Moutong. Sesampainya di Toboli, titik masuk ke Palu dan Poso, senjata-senjata itu kemudian dibagi. Sebagian dibawa ke Palu, sebagian dibawa ke Poso.
Jadi, tokoh dari kelompok bersenjata baik di pihak Muslim maupun Kristen, Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah, JI dan aparat keamanan (Polri dan TNI), menjadi aktor utama di balik peredaran senjata di Poso sepanjang 2000-2002. Tentu saja dari merekalah penulusuran Polisi mesti dimulai.
Kapolda Sulteng Brigjen Badrodin Haiti sendiri mengakui masih banyaknya senjata, amunisi dan bahan peledak yang dikuasai warga di Poso di luar kewenangannya.
“Kita sudah mengeluarkan tembak di tempat untuk melumpuhkan warga atau siapa saja yang memiliki senjata tanpa kewenangannya,” tekan Badrodin.
Pihaknya, aku Badrodin, telah mengidentifikasi kelompok-kelompok atau oknum pemilik barang-barang illegal itu. Namun pihaknya mengaku lebih mengedepankan cara-cara persuasif.
“Namun kalau sampai kedapatan memiliki dan menggunakan kami akan lumpuhkan,” tandasnya.
Badrodin menilai kepemilikan senjata, amunisi dan bahan-bahan peledak itulah yang mendorong aksi-aksi kekerasan di Poso.
Kenapa Polisi sulit mengusutnya? Pada beberapa kasus sejumlah senjata standar Polri dan TNI yang ditemukan rata-rata nomor registrasinya dihapus. Padahal dengan mengetahui nomor registrasinya asal senjata akan diketahui. Pada kasus lain, senjata-senjata itu memang berasal dari sumber luar negeri. Pada beberapa kasus lagi, meski nomor registrasinya sudah diketahui, namun penyelidikan buntu di masing-masing kesatuan baik TNI maupun Polri.
Ariyanto Sangadji, seorang peneliti peredaran senjata illegal di Palu, Sulawesi Tengah menyatakan kerja sama regional antarpemerintah untuk memberangus ilegal transfer senjata api yang memanfaatkan daerah-daerah perbatasan yang rawan penyelundupan penting dilakukan.
“Kerjasama itu sudah dharus dilakukan, selain upaya-upaya melucuti senjata-senjata milisi sipil yang ada di Poso. Juga menumbuhkan sikap professional di kalangan aparat keamanan. Mereka tidak boleh memihak pada kelompok-kelompok tertentu,” terang Ariyanto.
Nah, sekarang tidak ada bahasa lain lagi, tanggungjawab untuk menghentikan peredaran senjata ini memang di tangan aparat berwenang. Kebijakan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto soal penghentian izin kepemilikan senjata api di kalangan sipil patut didukung. Sebab negara ini bukan negara cowboy. Bukan pula negaranya para mafia.***