[Kabar Tiga Terpidana Mati Poso dari Penjara]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak memberikan grasi pada Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, tiga orang yang selama ini dianggap sebagai dalang kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah pada 2000 silam. Presiden menilai tak cukup alasan memberikan grasi kepada para terpidana mati tersebut. Berikut ini laporan dari Lembaga Pemasyarakat Kelas 2 A Palu, Sulawesi Tengah.
Di Palu, Jumat (11/11) di suatu malam silam, di sebuah bilik kecil berpintu dan berjendela jeruji besi, di atas dipan yang terbuat dari beton, seorang lelaki paruh baya terlihat gelisah. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Padahal baru saja ia bercengkrama dan bertanding catur dengan kawan-kawannya. Ia tak dapat menyembunyikan galau hatinya. Laki-laki itu adalah Fabianus Tibo, 60, salah seorang terpidana mati Poso.
Di Jakarta, Kamis (10/11) di Istana Negara, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengumumkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak permohonan grasi tiga terpidana mati Poso, yakni Fabianus Tibo, 60, Dominggus alias Domi, 42, dan Marinus Riwu, 48.
"Presiden telah menandatangani penolakan permohonan grasi kepada tiga orang terpidana tersebut, " demikian Mensekneg Yusril.
Ternyata kabar itulah yang membuat galau hati lelaki kelahiran Flores itu. Hatinya terpukul, karena begitu berharap agar Presiden SBY mengabulkan permohonan grasi yang mereka ajukan April 2005 lalu.
“Sewaktu saya mendengar ditolaknya grasi itu, saya pun terdiam. Sebagai manusia biasa, terus terang saya terkejut,” aku Om Tibo, demikian ia disapa oleh kawan-kawannya di Lapas Palu
Di tempat lain di kompleks Lapas yang terletak di Jalan Dewi Sartika, Kelurahan Birobuli, Palu Selatan itu, ada pula Dominggus yang biasa disapa Domi. Juga ada Marinus, yang lebih suka dipanggil Rinus. Hati keduanya tak kalah galau dari Om Tibo.
“Saya tidak terima penolakan grasi dari Bapak Presiden itu, karena bukan saya yang bersalah,” tukas Domi, saat ditanyai oleh Sinar Harapan, Kamis (17/11) di ruangan Kepala Lapas Kelas 2 A Palu, Purwadi Utomo.
“Saya sudah siap, kalau akhirnya ditembak mati. Tapi saya tetap tidak menerima penolakan grasi itu. Sebab saya tidak tahu apa-apa tentang kerusuhan Poso ini,” sambung Rinus kemudian.
Dibanding Om Tibo, Domi dan Rinus terkesan lebih bereaksi mendengar kabar itu. Domi tampak uring-uringan sejak mendengar kabar itu, Jumat (11/11) lalu.
“Saya stress. Saya seperti mau marah-marah saja,” aku Domi, pada Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan, J Tompodung.
Beruntung ketika ditemui Sinar Harapan, mereka mau menerimanya. Bahkan mereka meminta agar semua perkataannya disampaikan kepada masyarakat.
Vonis Mati PN Palu
Om Tibo lelaki yang biasa-biasa saja. Begitu pun Domi dan Rinus. Tak ada yang istimewa dari ketiganya. Namanya melambung dan menghiasai halaman demi halaman media massa dan layar kaca saat Pengadilan Negeri Palu mulai menyidangkan mereka pada September 2000. Mereka didakwa menghilangkan nyawa 191 warga Poso dan menyebabkan kerugian Rp 40 miliar dalam kerusuhan Poso pada Mei-Juni 2000.
Om Tibo ditangkap diDesa Jamur Jaya, Kecamatan Lembo, Morowali, Sulawesi Tengah pada Selasa, 25 Juli 2000 oleh Satuan Teritotial Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Lalu diserahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah keesokan harinya. Adapun Domi dan Rinus lebih memilih menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Beteleme, Morowali. Keduanya menyerah pada Senin, 31 Juli 2005, lima hari setelah Om Tibo ditangkap.
Sejak saat itu mereka pun menjadi pusat perhatian. Proses pengadilan mereka selalu dipadati massa yang pro dan kontra dengan mereka.
Sampai kemudian pada 5 April 2001, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu yang diketuai Soedarmo menjatuhkan vonis hukuman mati kepada ketiganya. Mereka dipersalahkan melakukan kejahatan pembunuhan berencana, sengaja menimbulkan kebakaran dan penganiayaan yang dilakukan bersama-sama secara berlanjut. Meski mereka menyatakan tetap tidak menerima penetapan itu.
Proses hukum pun terus berjalan. Ketiganya atas putusan Pengadilan Negeri pada
5 April 2001, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah. Namun pada 17 Mei 2001, menyatakan tidak menerima banding mereka. Mereka tak lantas putus asa. Mereka pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sayang, lagi-lagi upaya mereka menemui kegagalan, 11 Oktober 2001 dinyatakan kasasi mereka ditolak. Setelah, dengan dasar bukti hukum baru mereka pun mengajukan Peninjauan Kembali ke MA. Tapi lagi-lagi kandas di tengah jalan, 21 Maret 2004 keputusan vonis mati diperkuar lagi oleh MA. Artinya mereka tetap akan menjalani hukuman mati sesuai putusan PN Palu, 5 April 2001.
Namun lubang hukum tetaplah ada. Pada April 2005, mereka pun mencoba memohon grasi ke Presiden SBY. Sayang, mereka
harus kecewa lagi. Kamis (10/11), Presiden SBY melalui Mensekneg Yusril menyatakan tidak menerima permohonan itu.
Usai sudah upaya hukum yang bisa ditempuh. Tinggal keajaiban yang mungkin bisa mengubahnya.
“Saat ini kami sudah melakukan persiapan, termasuk prosedur pelaksanaan eksekusi. Dengan begitu, saat petikan Kepres kami terima, maka teknis pelaksanaan eksekusi sudah matang,” sebut Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati Sulteng, I Putu Gde Djeladha.
Dari Kebun Karet ke Penjara
Om Tibo, lahir di Flores 60 Tahun lalu. Ia anak ke-6 dari pasangan Orbertus Andapo dan Maria Mosso. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) setempat, namun tidak tamat.
Menginjakan kaki pertama kali di Sulawesi Tengah pada 1973, tepatnya di Luwuk, kota kecil di perut Pulau Sulawesi. Di sana dia menjadi buruh pada PT Marabunta. Di Luwuk pula, dia bertemu tambatan hatinya, Nurlin Kasiala yang memberi tiga anak lelaki dan satu anak perempuan.
Lalu pada 1978, hijrah ke Jamur Jaya, Morowali. Di sana dia bekerja sebagai penyadap karet di PT Perkebunan Nusantara XIV Unit Kebun Beteleme. Di sana ia dituakan. Apalagi dia mempunyai keahlian sebagai dukun.
Adapun Domi lahir di Maumere pada 42 tahun lalu. Domi adalah satu-satunya buah hati Dominicus da Silva dan Maria Dualio. Setelah sebelumnya sempat merantau di Jakarta, Domi yang lulusan Sekolah Teknik Menengah jurusan mesin itu, pada 1991 hijrah ke Morowali. Lalu tahun itu juga, ia memilih bekerja di PT Inco, Soroako, Sulawesi Selatan, namun memilih tinggal di Beteleme. Setiap Senin ia ke Soroako, dan Sabtu kembali ke Beteleme. Ia bekerja sebagai sopir alat-alat berat di perusahaan pertambangan multinasional itu.
Untuk menambah tebal dompetnya, Domi pun mengikuti jejak Om Tibo bekerja di di PT Perkebunan Nusantara XIV Unit Kebun Beteleme. Sampai kemudian, konflik Poso menyeretnya ke Penjara bersama Om Tibo.
Seperti dipertemukan Tuhan, Rinus pun berasal dari jazirah Nusa Tenggara namun bertemu di wilayah Morowali. Rinus yang lahir 48 tahun lalu di Kupang, adalah anak bungsu dari pasangan Daniek Djaga dan Lusiana Bude. Di Molores, kampung orang-orang Nusa Tenggara di Bungku, Morowali, ia menikahi seorang perempuan yang memberinya empat orang anak. Ia pun bekerja di PT Perkebunan Nusantara XIV.
Ketiganya adalah orang-orang yang mudah diajak bergaul. Tidak memandang buluh dalam berteman, bisa jadi karena latarbelakang keluarga mereka yang sangat sederhana.
Umumnya, warga binaan di Lapas Kelas 2 A Palu punya kesan serupa kepada ketiganya. Termasuk para sipir Lapas provinsi itu.
“Selama kami bergaul dengan Om Tibo, Domi dan Rinus, mereka memberi kami banyak pelajaran. Khusus Om Tibo, sudah kami anggap seperti orang tua kami sendiri. Dia selalu memberi kami nasehat-nasehat, dia rajin sekali ke gereja,” aku Vecky, warga binaan yang tinggal sekamar dengan Om Tibo di Blok 4.
“Khusus terpidana mati Tibo, saya pasti akan merasa kehilangan, karena orang tua ini, mengajarkan banyak ketrampilan yang berguna bagi warga binaan lainnya. Saya banyak terbantu dengan kehadirannya,” sambung Muhammad Anis, salah seorang Sipir.
Ya, hampir terlupa, di Lapas, Tibo dan Domi mengajarkan banyak kerajinan tangan kepada warga binaan lainnya. Jika Tibo mengajarkan anyam-menganyam, maka Domi mengajarkan ketrampilan membuat beragam barang mulai dari asbak sampai pigura dan sebuk gergaji.
Anyaman rotan atau bambu yang dibuat Tibo dan kawan-kawannya telah menghiasi rumah Gubernur Sulawesi Tengah Aminuddin Ponulele dan sejumlah pejabat lainnya. Anyamannya bisa berbentuk pot, keranjang tas atau apa saja sesuai permintaan pembeli.
Adapun kerajinan Domi tak kalah menariknya. Patung-patung, asbak dan pigura telah menyebar di sejumlah rumah pejabat, bahkan wartawan yang senang melihat barang kerajinan buatan Domi itu.
Saban peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, beragam buah tangan mereka itu dipamerkan di Kantor Gubernur atau di Lapas. Dan sudah tentu pasti langsung laku terjual.
Kini, ketiganya tengah menghitung hari menanti ajal tiba di hadapan regu tembak. Om Tibo, meski mengaku tidak menerima, pasrah saja dengan keadaannya.
“Allah Bapak di Sorga, dengarkanlah doa kami, agar engkau boleh memberikan keluarga kami kekuatan iman dan ketabahan hati. Jangan membiarkan mereka, sepeninggal kami nantinya,” sayup-sayup doa Tibo di sebuah gereja kecil di kompleks Lapas terbawa sampai jauh oleh angin yang bertiup perlahan.
Lalu, teng…teng…teng…bunyi bel penanda waktu yang dibunyikan setiap jamnya meningkahi irama khusuknya doa lelaki yang selalu berpakaian rapi itu, menembus tembok-tembok kukuh lapas. ***