Friday, November 09, 2007
Bentrokan Antarkampung di Palu
Noted by
Jafar G Bua
at
6:00 AM

Palu - Warga Kelurahan Tavanjuka, Kecamatan Palu Selatan, Sulawesi Tengah, Jumat (09/11) sore terlibat bentrok dengan Warga Kelurahan Nunu, Kecamatan Palu Barat. Meski tidak mengakibatkan korban jiwa, perang batu antar warga kelurahan ini berlangsung seru. Polisi yang kewalahan melerai warga akhirnya melepaskan tembakan untuk menghalau warga ke kelurahan mereka masing-masing.***
Thursday, November 08, 2007
83 Bekas Napi Kasus Poso Tuntut Perhatian Pemerintah
Noted by
Jafar G Bua
at
5:26 PM
Palu – Sebanyak 83 bekas narapidana korban konflik Poso mengungkapkan bahwa mereka mengalami kesulitan kehidupan sosial ekonomi pasca pembebasannya dari Lembaga Pemasyarakatan Klas 2 A, Palu, Sulawesi Tengah.
Menurut Charles Arima (40), Ketua Forum Komunikasi Keluarga Besar Eks Narapidana (KKBEN) Kasus Konflik Poso, kesulitan kehidupan sosial ekonomi yang mereka hadapi berupa kesulitan mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan kesulitan biaya pendidikan untuk anak-anak mereka. Termasuk kesulitan membangun kembali tempat tinggal mereka setelah luluh lantak dihantan konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di Poso sepanjang kurun waktu 1998 hingga 2000.
Charles meminta Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten Poso memberikan mereka modal awal untuk berusaha mengembangkan ekonomi keluarganya.
“Kami meminta hak-hak kami yang tidak disampaikan kepada kami selama kami berada di dalam Lembaga dipenuhi,” kata Charles yang dikenai kurungan penjara 10 tahun ini.
Hak-hak yang disebut lelaki yang mendapat remisi pada 17 Agustus 2007 lalu ini adalah berupa bantuan pembangunan rumah, modal usaha dan lainnya yang dikucurkan kepada para korban konflik Poso.
Aca Purasongka (35), eks napi lainnya mengakui selama ini mereka mengaku belum pernah mendapat bantuan sepeser pun dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah maupun Pemerintah Kabupaten Poso. Ketika bantuan-bantuan kemanusiaan dikucurkan ke Poso oleh Pemerintah mereka sementara berada di dalam Lapas menjalani masa hukuman mereka dari 2 – 10 tahun kurungan.
Sebanyak 83 eks napi konflik Poso ini ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Palu pada 2000 silam. Mereka ditangkap dari wilayah Kecamatan Pamona Utara, Pamona Selatan dan Pamona Barat di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah selama konflik SARA menghantam wilayah itu. Mereka dijerat dengan pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam dan senjata api.***
Menurut Charles Arima (40), Ketua Forum Komunikasi Keluarga Besar Eks Narapidana (KKBEN) Kasus Konflik Poso, kesulitan kehidupan sosial ekonomi yang mereka hadapi berupa kesulitan mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan kesulitan biaya pendidikan untuk anak-anak mereka. Termasuk kesulitan membangun kembali tempat tinggal mereka setelah luluh lantak dihantan konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di Poso sepanjang kurun waktu 1998 hingga 2000.
Charles meminta Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten Poso memberikan mereka modal awal untuk berusaha mengembangkan ekonomi keluarganya.
“Kami meminta hak-hak kami yang tidak disampaikan kepada kami selama kami berada di dalam Lembaga dipenuhi,” kata Charles yang dikenai kurungan penjara 10 tahun ini.
Hak-hak yang disebut lelaki yang mendapat remisi pada 17 Agustus 2007 lalu ini adalah berupa bantuan pembangunan rumah, modal usaha dan lainnya yang dikucurkan kepada para korban konflik Poso.
Aca Purasongka (35), eks napi lainnya mengakui selama ini mereka mengaku belum pernah mendapat bantuan sepeser pun dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah maupun Pemerintah Kabupaten Poso. Ketika bantuan-bantuan kemanusiaan dikucurkan ke Poso oleh Pemerintah mereka sementara berada di dalam Lapas menjalani masa hukuman mereka dari 2 – 10 tahun kurungan.
Sebanyak 83 eks napi konflik Poso ini ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Palu pada 2000 silam. Mereka ditangkap dari wilayah Kecamatan Pamona Utara, Pamona Selatan dan Pamona Barat di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah selama konflik SARA menghantam wilayah itu. Mereka dijerat dengan pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam dan senjata api.***
Damai Dirajut dengan Melae
Noted by
Jafar G Bua
at
5:10 PM
Melae. Itu tradisi melayat rumah duka yang tumbuh subur di tengah masyarakat Donggala, Sulawesi Tengah. Tidak cuma berlaku di tengah keluarga bangsawan, tapi juga rakyat biasa. Melae juga menjadi wadah merajut damai.
Sejumlah tetua adat dipimpin JH Tarro, berpakaian khas Kaili (suku asli di Donggala, Sulawesi Tengah—red) dan menggunakan siga (kopiah adat), datang dengan membawa japi bula (sapi putih), manu bula ante manu vuri (empat ekor ayam putih dan hitam), ose (beras), tolu manu (14 butir telur ayam), serta pinang dan sirihsekarung beras (ose), dua piring beras dan 14 butir telur, serta pinang dan sirih untuk pompanga (menginang sirih)
Tetua adat ini disambut oleh pewaris tahta Kerajaan Banawa, Donggala, Datu Wajar Lamarauna. Para tetua ini berasal dari Tobaku di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, dan Sarudu, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat.
Kedatangan mereka disambut alunan musik bambu di rumah Ketua Pitu Nggota Ngata Kaili (ketua dewan adat masyarakat Kaili, Sulawesi Tengah). Mereka bertandang ke rumah pewaris tahta Kerajaan Banawa itu, sebagai tanda duka atas kehilangan raja Banawa, Adam Ardjad Lamarauna, ayah Datu Wajar Lamarauna. Tradisi ini dikenal sebagai Melae Tobaku Sarudu.
JH Tarro, ketua Dewan Adat Tobaku, mengatakan kunjungan mereka adalah wujud rasa duka atas meninggalnya Raja Banawa, Adam Ardjad Lamarauna yang meninggal dunia pada 16 November 2006 silam.
"Karena keterbatasan transportasi dan komunikasi, sehingga saat itu kami tidak sempat melayat jenazah almarhum. Jadi, baru sekarang kami datang memberikan penghiburan kepada keluarga yang ditinggal,” kata Tarro.
Tradisi ini, tidak hanya sekadar memberikan penghiburan kepada keluarga yang ditinggal, tapi juga sebagai wujud dari kekerabatan dan hubungan adat antara Tobaku-Sarudu dan Kerajaan Banawa.
Menurutnya, ikatan kekerabatan dan keadatan itu, tidak boleh terputus, tapi harus terus dipelihara. Ikatan ini, tidak dibatasi sekat-sekat agama dan status sosial. Buktinya, mayoritas tokoh adat Tobaku Sarudu itu adalah mereka yang beragama Kristen, sedangkan didatangi adalah pemeluk agama Islam. Yang berdoa pun, pendeta dari Bala Keselamatan.
"Konflik yang terjadi di Poso itu, karena putus ikatan kekerabatan dan keadatan. Jika saja warga Poso tetap menyatu dalam adat dan kekerabatan seperti ini, maka kami yakin tidak ada saling bunuh di antara mereka," tandas Tarro.
Jadi tidak salah jika disebut tradisi ini adalah tradisi merajut damai.
Datu Wajar Lamarauna yang juga Ketua Pitu Nggota Ngata Kaili (ketua dewan adat tanah Kaili) mengatakan, para tokoh adat Tobaku Sarudu ini dilaksanakan, karena mereka menganggap bahwa orang tuanya (Adam Ardjad Lamarauna) adalah tokoh panutan yang jasa-jasanya patut dikenang.
"Selain sebagai Raja Banawa, ayah saya ketika masih menjabat sebagai bupati, berhasil membuka isolasi wilayah adat Tobaku. Atas jasa-jasanya sehingga digelar tradisi melae ini," jelas Datu Wajar Lamarauna.
Tradisi ini juga, katanya, tidak hanya dilaksanakan untuk kalangan bangsawan, tapi juga oleh masyarakat lainnya di wilayah adat Tobaku Sarudu. Bahkan, para tokoh adat itu datang dengan membawa makanan sendiri, karena mereka tidak mau merepotkan tuan rumah.
Kerajaan Banawa, sebelumnya bernama Kerajaan Pujananti, sebuah kerajaan di Sulawesi Tengah, yang dibentuk pada 1667. Para rajanya antara lain, La Bugia Mpue Uva, Lasabanawa I Sangga Lea Dg Paloera, Lamarauna Mpue Totua, La gaga, Laruhana Lamarauna, Laparenrengi Lamarauna, sampai kepada Adam Ardjad Lamarauna dan sekarang Daru Wajar Lamarauna.***
Sejumlah tetua adat dipimpin JH Tarro, berpakaian khas Kaili (suku asli di Donggala, Sulawesi Tengah—red) dan menggunakan siga (kopiah adat), datang dengan membawa japi bula (sapi putih), manu bula ante manu vuri (empat ekor ayam putih dan hitam), ose (beras), tolu manu (14 butir telur ayam), serta pinang dan sirihsekarung beras (ose), dua piring beras dan 14 butir telur, serta pinang dan sirih untuk pompanga (menginang sirih)
Tetua adat ini disambut oleh pewaris tahta Kerajaan Banawa, Donggala, Datu Wajar Lamarauna. Para tetua ini berasal dari Tobaku di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, dan Sarudu, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat.
Kedatangan mereka disambut alunan musik bambu di rumah Ketua Pitu Nggota Ngata Kaili (ketua dewan adat masyarakat Kaili, Sulawesi Tengah). Mereka bertandang ke rumah pewaris tahta Kerajaan Banawa itu, sebagai tanda duka atas kehilangan raja Banawa, Adam Ardjad Lamarauna, ayah Datu Wajar Lamarauna. Tradisi ini dikenal sebagai Melae Tobaku Sarudu.
JH Tarro, ketua Dewan Adat Tobaku, mengatakan kunjungan mereka adalah wujud rasa duka atas meninggalnya Raja Banawa, Adam Ardjad Lamarauna yang meninggal dunia pada 16 November 2006 silam.
"Karena keterbatasan transportasi dan komunikasi, sehingga saat itu kami tidak sempat melayat jenazah almarhum. Jadi, baru sekarang kami datang memberikan penghiburan kepada keluarga yang ditinggal,” kata Tarro.
Tradisi ini, tidak hanya sekadar memberikan penghiburan kepada keluarga yang ditinggal, tapi juga sebagai wujud dari kekerabatan dan hubungan adat antara Tobaku-Sarudu dan Kerajaan Banawa.
Menurutnya, ikatan kekerabatan dan keadatan itu, tidak boleh terputus, tapi harus terus dipelihara. Ikatan ini, tidak dibatasi sekat-sekat agama dan status sosial. Buktinya, mayoritas tokoh adat Tobaku Sarudu itu adalah mereka yang beragama Kristen, sedangkan didatangi adalah pemeluk agama Islam. Yang berdoa pun, pendeta dari Bala Keselamatan.
"Konflik yang terjadi di Poso itu, karena putus ikatan kekerabatan dan keadatan. Jika saja warga Poso tetap menyatu dalam adat dan kekerabatan seperti ini, maka kami yakin tidak ada saling bunuh di antara mereka," tandas Tarro.
Jadi tidak salah jika disebut tradisi ini adalah tradisi merajut damai.
Datu Wajar Lamarauna yang juga Ketua Pitu Nggota Ngata Kaili (ketua dewan adat tanah Kaili) mengatakan, para tokoh adat Tobaku Sarudu ini dilaksanakan, karena mereka menganggap bahwa orang tuanya (Adam Ardjad Lamarauna) adalah tokoh panutan yang jasa-jasanya patut dikenang.
"Selain sebagai Raja Banawa, ayah saya ketika masih menjabat sebagai bupati, berhasil membuka isolasi wilayah adat Tobaku. Atas jasa-jasanya sehingga digelar tradisi melae ini," jelas Datu Wajar Lamarauna.
Tradisi ini juga, katanya, tidak hanya dilaksanakan untuk kalangan bangsawan, tapi juga oleh masyarakat lainnya di wilayah adat Tobaku Sarudu. Bahkan, para tokoh adat itu datang dengan membawa makanan sendiri, karena mereka tidak mau merepotkan tuan rumah.
Kerajaan Banawa, sebelumnya bernama Kerajaan Pujananti, sebuah kerajaan di Sulawesi Tengah, yang dibentuk pada 1667. Para rajanya antara lain, La Bugia Mpue Uva, Lasabanawa I Sangga Lea Dg Paloera, Lamarauna Mpue Totua, La gaga, Laruhana Lamarauna, Laparenrengi Lamarauna, sampai kepada Adam Ardjad Lamarauna dan sekarang Daru Wajar Lamarauna.***
Diduga Terkait DPO Terorisme, Pencuri Bersenjata Api Ditangkap
Noted by
Jafar G Bua
at
12:48 AM
Palu - Aparat Kepolisisan Sektor Parigi, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah berhasil menangkap tersangka pencuri bersenjata api. Setelah mendapat laporan warga yang menjadi korban pencurian, polisi langsung memburu tersangka. Diduga, senjata api miliknya tersebut, terkait dengan perampokan yang didalangi oleh DPO kasus terorisme Poso beberapa waktu lalu.
Dari tersangka Enal yang dibekuk dirumahnya Jalan Toni Kota, Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong, Polisi menyita sepucuk senjata api rakitan yang beserta dua butir amunisi kaliber 5,56 milimeter.
Saat ini, Polisi masih melakukan pengembangan karena diduga tersangka juga terlibat salah satu jaringan sindikat perampokan bersenjata yang beberapa waktu lalu terjadi di Toribulu, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah yang melibatkan sejumlah eks Daftar Pencarian Orang (DPO) terorisme Poso.
“Kita sementara mengembangkan penyelidikan, karena Enal mengaku ia hanya dititipi senjata api jenis revolver tersebut. Kita masih mengejar pemilik senjatanya sesuai keterangan Enal dalam pemeriksaan,” kata Kapolsek Parigi Moutong AKP Yusri Hasan Selasa (2/10) lalu.
Memang dalam pemeriksaan awal, Enal berkeras bahwa senjata itu bukan miliknya, meski ketika ditangkap, senjata api itu diletakan di pinggangnya.
“Saya hanya dititipi oleh teman yang berangkat ke Palu karena ada urusan. Saya bermaksud mengembalikannya, makanya saya taruh di pinggang,” aku Enal.
Nah, dari keterangan itu, tim buru sergap Polsek Parigi langsung melakukan pengejaran sampai ke Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, namun pemilik senpi yang disebut-sebut Enal tidak dapat temukan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tersangka dijerat dengan Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 dengan hukuman maksimal hukuman mati dan minimal kurungan penjara seumur hidup. ***
Dari tersangka Enal yang dibekuk dirumahnya Jalan Toni Kota, Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong, Polisi menyita sepucuk senjata api rakitan yang beserta dua butir amunisi kaliber 5,56 milimeter.
Saat ini, Polisi masih melakukan pengembangan karena diduga tersangka juga terlibat salah satu jaringan sindikat perampokan bersenjata yang beberapa waktu lalu terjadi di Toribulu, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah yang melibatkan sejumlah eks Daftar Pencarian Orang (DPO) terorisme Poso.
“Kita sementara mengembangkan penyelidikan, karena Enal mengaku ia hanya dititipi senjata api jenis revolver tersebut. Kita masih mengejar pemilik senjatanya sesuai keterangan Enal dalam pemeriksaan,” kata Kapolsek Parigi Moutong AKP Yusri Hasan Selasa (2/10) lalu.
Memang dalam pemeriksaan awal, Enal berkeras bahwa senjata itu bukan miliknya, meski ketika ditangkap, senjata api itu diletakan di pinggangnya.
“Saya hanya dititipi oleh teman yang berangkat ke Palu karena ada urusan. Saya bermaksud mengembalikannya, makanya saya taruh di pinggang,” aku Enal.
Nah, dari keterangan itu, tim buru sergap Polsek Parigi langsung melakukan pengejaran sampai ke Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, namun pemilik senpi yang disebut-sebut Enal tidak dapat temukan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tersangka dijerat dengan Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 dengan hukuman maksimal hukuman mati dan minimal kurungan penjara seumur hidup. ***
Sunday, October 28, 2007
Warga Poso Serahkan Lagi Senpi dan Amunisi Illegal
Noted by
Jafar G Bua
at
6:56 PM
Poso - Warga Labuan, Kecamatan Lage dan Pamona Selatan, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah menyerahkan 10 pucuk senjata api rakitan dan puluhan amunisi aktif. Senjata api dan amunisi yang diserahkan ini merupakan sisa senjata yang digunakan saat terjadinya konflik bernuansa sara (suku, agama, ras dan antargolongan) di Kabupaten Poso enam tahun silam.
Demikian disampaikan Wakil Kepala Kepolisian Resor Poso Komisaris Polisi Eko Widodo, Sabtu (27/10). Menurutnya 10 pucuk senjata api rakitan yang diserahkan warga ini terdiri dari delapan pucuk laras panjang dan dua pucuk laras pendek. Sedangkan amunisi kaliber 7,52 berjumlah 32 butir.
“kondisi senjata api rakitan ini sebagian diantaranya masih bagus dan amunisinya masih aktif,” kata Eko.
Penyerahan puluhan pucuk senpi dan amunisinya ini diakukan secara diam-diam oleh pemiliknya. Polisi sendiri merahasiakan identitas pemilik senjata ini dan menjamin tidak akan ada proses hukum bagi warga yang menyerahkan senjata api dan barang berbahaya lainnya kepada polisi secara sukarela. Senjata api dan amunisi itu kini diamankan di mapolres poso.
“Senjata api rakitan dan amunisi yang diserahkan warga ini merupakan sisa senjata yang digunakan saat terjadi konflik di Kabupaten Poso beberapa tahun silam,” ungkap Eko.
Pada kesempatan sama, Wakapolres Eko mengimbau kepada warga Poso agar secara sukarela menyerahkan senjata dan barang berbahaya yang masih disimpan dirumahnya.
“Kami menjamin akan merahasiakan identitas mereka dan tidak akan melakukan proses hukum jika warga menyerahkannya secara sukarela,” demikian Wakapolres Poso Kompol Eko Widodo.
Untuk diketahui dari penelusuran intelijen, sebagian besar senjata api dan amunisi di Poso berasal dari Philipinan melalui jalur laut di Kepulauan Sangir Talaud, kemudian dibawa ke Bitung lalu melewati Gorontalo, Parigi Moutong hingga kemudian dipasok untuk dua belah pihak kelompok bertikai di Palu, Parigi dan Poso.***
Demikian disampaikan Wakil Kepala Kepolisian Resor Poso Komisaris Polisi Eko Widodo, Sabtu (27/10). Menurutnya 10 pucuk senjata api rakitan yang diserahkan warga ini terdiri dari delapan pucuk laras panjang dan dua pucuk laras pendek. Sedangkan amunisi kaliber 7,52 berjumlah 32 butir.
“kondisi senjata api rakitan ini sebagian diantaranya masih bagus dan amunisinya masih aktif,” kata Eko.
Penyerahan puluhan pucuk senpi dan amunisinya ini diakukan secara diam-diam oleh pemiliknya. Polisi sendiri merahasiakan identitas pemilik senjata ini dan menjamin tidak akan ada proses hukum bagi warga yang menyerahkan senjata api dan barang berbahaya lainnya kepada polisi secara sukarela. Senjata api dan amunisi itu kini diamankan di mapolres poso.
“Senjata api rakitan dan amunisi yang diserahkan warga ini merupakan sisa senjata yang digunakan saat terjadi konflik di Kabupaten Poso beberapa tahun silam,” ungkap Eko.
Pada kesempatan sama, Wakapolres Eko mengimbau kepada warga Poso agar secara sukarela menyerahkan senjata dan barang berbahaya yang masih disimpan dirumahnya.
“Kami menjamin akan merahasiakan identitas mereka dan tidak akan melakukan proses hukum jika warga menyerahkannya secara sukarela,” demikian Wakapolres Poso Kompol Eko Widodo.
Untuk diketahui dari penelusuran intelijen, sebagian besar senjata api dan amunisi di Poso berasal dari Philipinan melalui jalur laut di Kepulauan Sangir Talaud, kemudian dibawa ke Bitung lalu melewati Gorontalo, Parigi Moutong hingga kemudian dipasok untuk dua belah pihak kelompok bertikai di Palu, Parigi dan Poso.***
Saturday, October 27, 2007
Sunday, October 07, 2007
FSPUI Perjuangkan Penegakan Syariat Islam di Poso
Noted by
Jafar G Bua
at
5:45 PM
Palu - Forum Silahturahmi dan Perjuangan Umat Islam Poso mendesak Pemerintah untuk menegakan syariat Islam. Syariat ini akan mengatur kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya di Poso, Sulawesi Tengah. Pemerintah juga diminta untuk tidak mempertetangkan konstitusi Negara Republik Indonesia dengan Syariat Islam.
Demikian disampaikan ketua FSPUI Poso, Ustadz Haji Muhammad Adnan Arsyal. usai seminar penegakan syariat islam yang digelar Hisbut Tahrir Indonesia di Gedung Almuhsinin, Alkhairaat Palu, Sulawesi Tengah.
Adnan menegaskan bahwa penegakan syariat Islam tetap dilaksanakan dalam bingkai NKRI.
“Syariat Islam harus ditegakkan, namun tetap dalam bingkai NKRI. Bukan seperto yang ditakutkan orang selama ini. Syariat Islam hanya akan mengatur orang Islam. Kalau dia melanggar hukum pidana, tentu saja akan diadili dengan hukum yang berlaku di negara kita. Jika dia melanggar syariat, maka akan kita hukum dengan aturan syariat Islam,” kata Adnan.
Menurut Adnan, aturan hukum negara kita pun sudah usang, karena merupakan warisan penjajahan Belanda, sehingga perlu dibenahi lagi. Lalu diperkaya dengan aturan yang mengatur harkat hidup orang banyak secara berkeadilan.
Karenanya, FSPUI mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggodok Undang-Undang yang menjamin pelaksanaan hukum syariah di Indonesia. ia meminta kepada calon legislatif dan calon presiden serta wakil presiden pada Pemilu 2009 mendatang menandatangani kontrak politik untuk penegakan syariat Islam.
“jika tidak mau, maka masyarakat muslim di indonesia diserukan untuk tidak ikut memilih legislatif atau capres dan wapres tersebut,” tandas Adnan.
Adnan mengatakan negara ini sudah diuji dengan berbagai macam konstitusi sejak di awal pengakuan kedaulatan hingga zaman demokrasi terpimpin lalu zaman azas tunggal Pancasila.
“Tapi coba lihat apa yang terjadi, korupsi dan berbagai macam kejahatan yang melibatkan pejabat-pejabat pemerintah masih saja berlangsung dan ketika dibawa ke Pengadilan hasilnya seringkali vonis bebas. Jadi memang aturan dan hukum di negara kita ini harus diperbaharui,” demikian Adnan menjawab secara khusus wawancara CatatanPoso.
Untuk diketahui, Adnan adalah seorang tokoh Poso yang dikenal namanya setelah dituding oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla mengetahui sejumlah tersangka terorisme di Poso dan mengetahui aksi-aksi mereka. Namun itu kemudian dibanta Adnan. Lelaki persiunan Pegawai Negeri Sipil pada Departemen Agama itu, kini masih memimpin Pesantren Amanah di Tanah Runtuh, Poso. Pada 22 Januari lalu. Daerah Tanah Runtuh menjadi lokasi baku tembak tidak kurang dari 2000 personil Polisi dari Detasemen 88 Mabes Polri, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan Kepolisian Resor Poso serta Satuan Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok Jawa Barat dengan kelompok bersenjata Poso. Saat itu, tidak kurang dari 13 kelompok bersenjata dan seorang Polisi tewas.***
Demikian disampaikan ketua FSPUI Poso, Ustadz Haji Muhammad Adnan Arsyal. usai seminar penegakan syariat islam yang digelar Hisbut Tahrir Indonesia di Gedung Almuhsinin, Alkhairaat Palu, Sulawesi Tengah.
Adnan menegaskan bahwa penegakan syariat Islam tetap dilaksanakan dalam bingkai NKRI.
“Syariat Islam harus ditegakkan, namun tetap dalam bingkai NKRI. Bukan seperto yang ditakutkan orang selama ini. Syariat Islam hanya akan mengatur orang Islam. Kalau dia melanggar hukum pidana, tentu saja akan diadili dengan hukum yang berlaku di negara kita. Jika dia melanggar syariat, maka akan kita hukum dengan aturan syariat Islam,” kata Adnan.
Menurut Adnan, aturan hukum negara kita pun sudah usang, karena merupakan warisan penjajahan Belanda, sehingga perlu dibenahi lagi. Lalu diperkaya dengan aturan yang mengatur harkat hidup orang banyak secara berkeadilan.
Karenanya, FSPUI mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggodok Undang-Undang yang menjamin pelaksanaan hukum syariah di Indonesia. ia meminta kepada calon legislatif dan calon presiden serta wakil presiden pada Pemilu 2009 mendatang menandatangani kontrak politik untuk penegakan syariat Islam.
“jika tidak mau, maka masyarakat muslim di indonesia diserukan untuk tidak ikut memilih legislatif atau capres dan wapres tersebut,” tandas Adnan.
Adnan mengatakan negara ini sudah diuji dengan berbagai macam konstitusi sejak di awal pengakuan kedaulatan hingga zaman demokrasi terpimpin lalu zaman azas tunggal Pancasila.
“Tapi coba lihat apa yang terjadi, korupsi dan berbagai macam kejahatan yang melibatkan pejabat-pejabat pemerintah masih saja berlangsung dan ketika dibawa ke Pengadilan hasilnya seringkali vonis bebas. Jadi memang aturan dan hukum di negara kita ini harus diperbaharui,” demikian Adnan menjawab secara khusus wawancara CatatanPoso.
Untuk diketahui, Adnan adalah seorang tokoh Poso yang dikenal namanya setelah dituding oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla mengetahui sejumlah tersangka terorisme di Poso dan mengetahui aksi-aksi mereka. Namun itu kemudian dibanta Adnan. Lelaki persiunan Pegawai Negeri Sipil pada Departemen Agama itu, kini masih memimpin Pesantren Amanah di Tanah Runtuh, Poso. Pada 22 Januari lalu. Daerah Tanah Runtuh menjadi lokasi baku tembak tidak kurang dari 2000 personil Polisi dari Detasemen 88 Mabes Polri, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan Kepolisian Resor Poso serta Satuan Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok Jawa Barat dengan kelompok bersenjata Poso. Saat itu, tidak kurang dari 13 kelompok bersenjata dan seorang Polisi tewas.***
Korupsi Dana Pengungsi: Bekas Bupati Poso Divonis Dua Tahun Penjara
Noted by
Jafar G Bua
at
5:43 PM
Palu – Bekas Bupati Poso, Sulawesi Tengah Andi Azikin Suyuti, Selasa (2/9) sekitar pukul 14.00 Waktu Indonesia Tengah dijatuhi vonis dua tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Neger Palu. Azikin yang juga bekas Ketua Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Tengah tersebut diadili dalam perkara korupsi dana pemulangan pengungsi korban kerusuan Poso pada 2001 yang merugikan negara sebesar Rp 1,2 miliar.
Majelis Hakim PN Palu yang diketuai Faturrahman SH juga mewajibkan Azikin membayar denda sebesar Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan serta uang pengganti sebesar Rp 1,2 miliar.
Faturrahman mengatakan jika uang pengganti tersebut tidak diganti setelah jatuhnya putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta Azikin akan disita senilai uang pegganti atau menggantinya dengan satu tahun kurungan lagi.
Namun, dalam pembacaan amar putusan, majelis hakim PN Palu tidak memerintahkan penahanan kepada Andi Azikin Suyuti, sebelum putusan yang dijatuhkannya tersebut berkekuatan hukum tetap. Majelis menilai sikap kooperatif dan pengabdian Azikin Suyuti sebagai pegawai negeri sipil lebih 20 tahun, menjadi pertimbangan yang meringankan.
Perkara korupsi dana pemulangan pengungsi korban kerusuhan Poso 2001 yang melilit Azikin Suyuti yakni ketika yang bersangkutan menjabat Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulteng. Ia menjabat Bupati Poso tahun 2005.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa/penuntut umum (JPU) dari Kejati Sulteng selama tujuh tahun penjara.
Selain melibatkan Azikini, kasus korupsi dana pemulangan pengungsi Poso juga menyeret mantan Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele. Berkas perkara Aminuddin Ponulele diperiksa dalam persidangan terpisah dan telah diputus bebas oleh majelis hakim PN Palu yang juga diketuai Fatuhrahman.
Sementara itu, Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sulteng , Ariati SH, menyatakan masih pikir-pikir melakukan banding atas putusan mejelis hakim ini.
Begitu pun dengan tim Penasehat Hukum Azikin yang diketuai Tajwin Ibrahim. “Kami masih pikir-pikir untuk mengajukan banding atas keputusan ini,” katanya singkat, saat mendampingi Azikin keluar dari ruang persidangan PN Palu.
Azikin sendiri ketika dimintai keterangan, menolak memberikan keterangan. Ia hanya berujar singkat, “tidak usah kamu beritakan ini.”
Jejak Kasus Azikin
Sekadar diketahui kasus Azikin terkait dengan bekas Gubernur Sulawesi Tengah Prof Aminuddin Ponulele. Aminuddin sendiri sudah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Palu, Rabu (22/8/2007) lalu. Saat itu, bersama bekas Gubernur Aminuddin, terdakwa Azikin membuka rekening atas nama Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam dan Pengungsi (Satkorlak PBP) Sulteng di BNI Cabang Palu untuk menampung dana dari Depsos guna kebutuhan pengungsi akibat kerusuhan Poso.
Selanjutnya pada 4 Desember 2001 Dinkessos Sulteng menerima alokasi anggaran yang bersumber dari APBN 2001 sekitar Rp15,29 miliar yang disalurkan oleh Dirjen Bina Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos.
Dana itu mana termasuk pembayaran kegiatan pelaksanaan transportasi pemulangan pengungsi Poso yang ada di Kabupaten Morowali sebanyak 1.000 kepala keluarga (KK) atau 5.000 jiwa senilai lebih Rp1,25 miliar.
Sesuai petunjuk operasionalnya, setiap jiwa pengungsi memperoleh bagian Rp 250 ribu.
Nah, karena pencairan dana tersebut di penghujung tahun anggaran Pimpro Proyek Bencana Alam dan Pengungsi (PBP) Dinkessos Sulteng, Amrin SH, menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan dan melaksanakan kegiatan tersebut.
Masalah ini selanjutnya disampaikan Azikin, dan ternyata Aminuddin tetap memerintahkan agar dana itu dicairkan kemudian diserahkan kepada dirinya.
Atas permintaan bekas Gubernur Aminuddin, pada 12 Desember 2001 Amrin SH mengajukan SPP-UYHD ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Palu untuk mencairkan sebagian dana tersebut sebesar Rp11,18 miliar.
Pada tanggal 18 Desember 2001, atas permintaan Aminuddin melalui Azikin, Pimpro Amrin SH kembali menyerahkan sebagian dana itu (Rp11,09 miliar lebih) kepada Aminuddin selaku Ketua Satkorlak PBP Sulteng, termasuk di dalamnya biaya pemulangan pengungsi Poso.
Berikut, 26 Desember 2001, Amrin SH mengajukan surat permintaan pembayaran pembangunan, permintaan pembayaran pembangunan secara swakelola, daftar rincian permintaan pembangunan, dan surat penyetoran pajak dilengkapi Berita Acara Serah Terima Uang No.52.a/BA/PBA/BID/PK/XII/2001 tanggal 18 Desember 2001 yang ditandatangani Aminuddin sebagai pertanggungjawaban ke KPKN Palu.
Namun ternyata tak sesuai dengan mata anggaran yang tertuang dalam Surat Kuasa Penerbitan Uang No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 dan menyimpang dari Petunjuk Operasional.
Juga, pada tanggal bersamaan, Nirat Patadjennu BBA selaku Bendaraha Proyek PBP Dinkessos Sulteng telah menyetorkan dana kegiatan Proyek PBP Sulteng sebesar Rp11,092 miliar ke rekening Satkorlak PBP Sulteng yang ada di BNI Cabang Palu.
Lalu, Pada tanggal 14 Januari 2002 Aminuddin menyerahkan kembali dana kegiatan proyek PBP tahun 2001 kepada Azikin, namun penyerahan tersebut hanya dilakukan secara administratif alias fiktif sebab uangnya tidak turut diserahkan tetapi tetap disimpan pada rekening Satkorlak PBP Sulteng.
Setelah Aminuddin menyerahkan dana secara fiktif sesuai berita acara serah terima uang No.446.1/0563/Dinkessos-G.ST tanggal 14 Januari 2002, Aminuddin menandatangani surat perjanjian pekerjaan 2 Juli 2002 sebagai pihak yang mengetahui pelaksanaan pekerjaan bersama Azikin selaku pihak pertama dan Dahliana SE Dirut CV Ralianti selaku pihak kedua untuk melaksanaan pekerjaan transportasi pemulangan pengungsi Poso di Kabupaten Morowali sebanyak 1.125 KK (5.625 jiwa) dalam jangka waktu 30 hari kerja.
Biaya pelaksanaan pekerjaan ini disepakati sebesar Rp1,237 miliar yang dibebankan dalam surat kuasa penerbitan uang (SKP) No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 pada Proyek PBP Sulteng dengan cara pembayaran sekaligus (100 persen) setelah pekerjaan selesai dilaksanakan.
Namun, kegiatan pemulangan pengungsi sesuai dengan perjanjian kerja itu tidak dilaksanakan sama sekali, namun oleh Azikin (Kepala Dinkessos Sulteng) bersama Dahliana (Dirut CV Ralianti) hanya menandatangani kelengkapan dokumen fiktif.
Karena dana itu masih tersimpan dalam rekening Satkorlak PBP Sulteng, Azikin selanjutnya meminta kepada Aminuddin untuk mencairkan biaya transportasi pemulangan pengungsi Poso, sehingga Aminuddin kemudian mengeluarkan cek atas unjuk (cek tunai) nomor CA 22380 bernilai Rp1,237 miliar.
Akan tetapi, dana yang sudah dicairkan ini belakangan diketahui tidak diteruskan kepada para pengungsi yang menjadi korban kerusuhan.
Juga, dana transportasi pemulangan pengungsi Poso yang masih tersisa direkening Satkorlak PBP Sulteng BNI Cabang Palu yakni sebesar Rp21,25 juta, sehingga total dana yang disalurkan Depsos ke Provinsi Sulteng yang tak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya oleh Aminuddin sebesar Rp1,258 miliar.
Karenanya, JPU dakwaan primer mengacam Azikin dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b, Ayat (2), Ayat (3) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, dengan ancaman hukuman antara empat hingga 20 tahun penjara.
Poso Center Protes
Meski Azikin sudah divonis, banyak pihak yang tidak puas atas vonis tersebut. Salah satunya adalah Poso Center, yang sejak awal mengawal proses hukum kasus tersebut.
Mahfud Masuara, Sekretaris Poso Center, sejak semula pesimis kasus ini akan ditangani secara adil. Ia lalu membeber besaran dana yang sudah dikucurkan Pemerintah Pusat untuk penanganan pengungsi Poso, namun sebagian besar diduga dikorupsi pejabat-pejabat terkait. [Lihat Tabel—red]
“Karenanya kami meminta kasus ini ditangani langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sebab kami pesimis kasus ini akan ditangani secara adil dan sesuai hukum berlaku,” tekan Mahfud.
Mahfud mengharapkan KPK membuka kembali semua kasus korupsi dana pengungsi Poso yang mencapai 100-an miliar rupiah. Mahfud menyebutkan lagi soal pembebasan bekas Gubernur Sulawesi Tengah Aminudin. Padahal
sebelumnya Jaksa Penuntut Umum menuntut empat tahun penjara atas tuduhan korupsi dana pemulangan pengungsi korban kerusuhan Poso 2001 sebesar Rp1,2 miliar.
Seperti diketahui sejak 2001-2004 pemerintah pusat mengucurkan bantuan dana kemanusiaan sekitar Rp. 140 miliar lebih kepada masyarakat Poso dalam berbagai bentuk, seperti dana pemulangan pengungsi Rp. 13, 7 miliar, jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup) Rp. 92, 6 miliar serta bahan bangunan rumah (BBR) Rp. 35 miliar.
Terbukti dalam penyalurannya sarat dengan korupsi. Bantuan tersebut tidak sepenuhnya sampai ke masyarakat Poso, bahkan, sebagian diantara warga yang menjadi korban kerusuhan sejak eskalasi kekerasan meningkat sama sekali tidak dapat memperoleh dana tersebut.
Modusnya, mulai dari pemotongan dana bantuan, mark up jumlah pengungsi hingga manipulasi data. Hasilnya mereka bagi-bagi. Masing-masing pejabat dan aparat keamanan dan komandan BIN, “bermufakat” dan mendapatkan “jatah preman”. Sementara, selebihnya bagi pelaksana lapangan. Juga tak ketinggalan aparat penegak hukum mendapat kuncuran dana haram tersebut.
Bahkan, sebelumnya, oleh Pengadilan Jakarta Pusat memvonis bebas Azikin Suyuti atas tuduhan korupsi bahan bangunan rumah (BBR) senilai Rp 6,4 miliar. Padahal JPU menuntut lima tahun kepada Asikin Suyuti dan tuntutan 1,5 hingga tiga tahun kepada delapan pengusaha yang menangani proyek-proyek kemanusian di Poso.
Namun hasilnya sangat mengagetkan, Asikin di vonis bebas, sementara para pelaku lapangan tetap mendapat kurungan penjara. Pengusaha yang menjalani hukuman kurungan adalah, Hi. Agus, Ivan Sijaya, Noldi, Mat Laparigi, Abd. Kadir sidik, Andi Makasau dan Ny. Rusmin.***
Majelis Hakim PN Palu yang diketuai Faturrahman SH juga mewajibkan Azikin membayar denda sebesar Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan serta uang pengganti sebesar Rp 1,2 miliar.
Faturrahman mengatakan jika uang pengganti tersebut tidak diganti setelah jatuhnya putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta Azikin akan disita senilai uang pegganti atau menggantinya dengan satu tahun kurungan lagi.
Namun, dalam pembacaan amar putusan, majelis hakim PN Palu tidak memerintahkan penahanan kepada Andi Azikin Suyuti, sebelum putusan yang dijatuhkannya tersebut berkekuatan hukum tetap. Majelis menilai sikap kooperatif dan pengabdian Azikin Suyuti sebagai pegawai negeri sipil lebih 20 tahun, menjadi pertimbangan yang meringankan.
Perkara korupsi dana pemulangan pengungsi korban kerusuhan Poso 2001 yang melilit Azikin Suyuti yakni ketika yang bersangkutan menjabat Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulteng. Ia menjabat Bupati Poso tahun 2005.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa/penuntut umum (JPU) dari Kejati Sulteng selama tujuh tahun penjara.
Selain melibatkan Azikini, kasus korupsi dana pemulangan pengungsi Poso juga menyeret mantan Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele. Berkas perkara Aminuddin Ponulele diperiksa dalam persidangan terpisah dan telah diputus bebas oleh majelis hakim PN Palu yang juga diketuai Fatuhrahman.
Sementara itu, Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sulteng , Ariati SH, menyatakan masih pikir-pikir melakukan banding atas putusan mejelis hakim ini.
Begitu pun dengan tim Penasehat Hukum Azikin yang diketuai Tajwin Ibrahim. “Kami masih pikir-pikir untuk mengajukan banding atas keputusan ini,” katanya singkat, saat mendampingi Azikin keluar dari ruang persidangan PN Palu.
Azikin sendiri ketika dimintai keterangan, menolak memberikan keterangan. Ia hanya berujar singkat, “tidak usah kamu beritakan ini.”
Jejak Kasus Azikin
Sekadar diketahui kasus Azikin terkait dengan bekas Gubernur Sulawesi Tengah Prof Aminuddin Ponulele. Aminuddin sendiri sudah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Palu, Rabu (22/8/2007) lalu. Saat itu, bersama bekas Gubernur Aminuddin, terdakwa Azikin membuka rekening atas nama Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam dan Pengungsi (Satkorlak PBP) Sulteng di BNI Cabang Palu untuk menampung dana dari Depsos guna kebutuhan pengungsi akibat kerusuhan Poso.
Selanjutnya pada 4 Desember 2001 Dinkessos Sulteng menerima alokasi anggaran yang bersumber dari APBN 2001 sekitar Rp15,29 miliar yang disalurkan oleh Dirjen Bina Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos.
Dana itu mana termasuk pembayaran kegiatan pelaksanaan transportasi pemulangan pengungsi Poso yang ada di Kabupaten Morowali sebanyak 1.000 kepala keluarga (KK) atau 5.000 jiwa senilai lebih Rp1,25 miliar.
Sesuai petunjuk operasionalnya, setiap jiwa pengungsi memperoleh bagian Rp 250 ribu.
Nah, karena pencairan dana tersebut di penghujung tahun anggaran Pimpro Proyek Bencana Alam dan Pengungsi (PBP) Dinkessos Sulteng, Amrin SH, menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan dan melaksanakan kegiatan tersebut.
Masalah ini selanjutnya disampaikan Azikin, dan ternyata Aminuddin tetap memerintahkan agar dana itu dicairkan kemudian diserahkan kepada dirinya.
Atas permintaan bekas Gubernur Aminuddin, pada 12 Desember 2001 Amrin SH mengajukan SPP-UYHD ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Palu untuk mencairkan sebagian dana tersebut sebesar Rp11,18 miliar.
Pada tanggal 18 Desember 2001, atas permintaan Aminuddin melalui Azikin, Pimpro Amrin SH kembali menyerahkan sebagian dana itu (Rp11,09 miliar lebih) kepada Aminuddin selaku Ketua Satkorlak PBP Sulteng, termasuk di dalamnya biaya pemulangan pengungsi Poso.
Berikut, 26 Desember 2001, Amrin SH mengajukan surat permintaan pembayaran pembangunan, permintaan pembayaran pembangunan secara swakelola, daftar rincian permintaan pembangunan, dan surat penyetoran pajak dilengkapi Berita Acara Serah Terima Uang No.52.a/BA/PBA/BID/PK/XII/2001 tanggal 18 Desember 2001 yang ditandatangani Aminuddin sebagai pertanggungjawaban ke KPKN Palu.
Namun ternyata tak sesuai dengan mata anggaran yang tertuang dalam Surat Kuasa Penerbitan Uang No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 dan menyimpang dari Petunjuk Operasional.
Juga, pada tanggal bersamaan, Nirat Patadjennu BBA selaku Bendaraha Proyek PBP Dinkessos Sulteng telah menyetorkan dana kegiatan Proyek PBP Sulteng sebesar Rp11,092 miliar ke rekening Satkorlak PBP Sulteng yang ada di BNI Cabang Palu.
Lalu, Pada tanggal 14 Januari 2002 Aminuddin menyerahkan kembali dana kegiatan proyek PBP tahun 2001 kepada Azikin, namun penyerahan tersebut hanya dilakukan secara administratif alias fiktif sebab uangnya tidak turut diserahkan tetapi tetap disimpan pada rekening Satkorlak PBP Sulteng.
Setelah Aminuddin menyerahkan dana secara fiktif sesuai berita acara serah terima uang No.446.1/0563/Dinkessos-G.ST tanggal 14 Januari 2002, Aminuddin menandatangani surat perjanjian pekerjaan 2 Juli 2002 sebagai pihak yang mengetahui pelaksanaan pekerjaan bersama Azikin selaku pihak pertama dan Dahliana SE Dirut CV Ralianti selaku pihak kedua untuk melaksanaan pekerjaan transportasi pemulangan pengungsi Poso di Kabupaten Morowali sebanyak 1.125 KK (5.625 jiwa) dalam jangka waktu 30 hari kerja.
Biaya pelaksanaan pekerjaan ini disepakati sebesar Rp1,237 miliar yang dibebankan dalam surat kuasa penerbitan uang (SKP) No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 pada Proyek PBP Sulteng dengan cara pembayaran sekaligus (100 persen) setelah pekerjaan selesai dilaksanakan.
Namun, kegiatan pemulangan pengungsi sesuai dengan perjanjian kerja itu tidak dilaksanakan sama sekali, namun oleh Azikin (Kepala Dinkessos Sulteng) bersama Dahliana (Dirut CV Ralianti) hanya menandatangani kelengkapan dokumen fiktif.
Karena dana itu masih tersimpan dalam rekening Satkorlak PBP Sulteng, Azikin selanjutnya meminta kepada Aminuddin untuk mencairkan biaya transportasi pemulangan pengungsi Poso, sehingga Aminuddin kemudian mengeluarkan cek atas unjuk (cek tunai) nomor CA 22380 bernilai Rp1,237 miliar.
Akan tetapi, dana yang sudah dicairkan ini belakangan diketahui tidak diteruskan kepada para pengungsi yang menjadi korban kerusuhan.
Juga, dana transportasi pemulangan pengungsi Poso yang masih tersisa direkening Satkorlak PBP Sulteng BNI Cabang Palu yakni sebesar Rp21,25 juta, sehingga total dana yang disalurkan Depsos ke Provinsi Sulteng yang tak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya oleh Aminuddin sebesar Rp1,258 miliar.
Karenanya, JPU dakwaan primer mengacam Azikin dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b, Ayat (2), Ayat (3) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, dengan ancaman hukuman antara empat hingga 20 tahun penjara.
Poso Center Protes
Meski Azikin sudah divonis, banyak pihak yang tidak puas atas vonis tersebut. Salah satunya adalah Poso Center, yang sejak awal mengawal proses hukum kasus tersebut.
Mahfud Masuara, Sekretaris Poso Center, sejak semula pesimis kasus ini akan ditangani secara adil. Ia lalu membeber besaran dana yang sudah dikucurkan Pemerintah Pusat untuk penanganan pengungsi Poso, namun sebagian besar diduga dikorupsi pejabat-pejabat terkait. [Lihat Tabel—red]
“Karenanya kami meminta kasus ini ditangani langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sebab kami pesimis kasus ini akan ditangani secara adil dan sesuai hukum berlaku,” tekan Mahfud.
Mahfud mengharapkan KPK membuka kembali semua kasus korupsi dana pengungsi Poso yang mencapai 100-an miliar rupiah. Mahfud menyebutkan lagi soal pembebasan bekas Gubernur Sulawesi Tengah Aminudin. Padahal
sebelumnya Jaksa Penuntut Umum menuntut empat tahun penjara atas tuduhan korupsi dana pemulangan pengungsi korban kerusuhan Poso 2001 sebesar Rp1,2 miliar.
Seperti diketahui sejak 2001-2004 pemerintah pusat mengucurkan bantuan dana kemanusiaan sekitar Rp. 140 miliar lebih kepada masyarakat Poso dalam berbagai bentuk, seperti dana pemulangan pengungsi Rp. 13, 7 miliar, jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup) Rp. 92, 6 miliar serta bahan bangunan rumah (BBR) Rp. 35 miliar.
Terbukti dalam penyalurannya sarat dengan korupsi. Bantuan tersebut tidak sepenuhnya sampai ke masyarakat Poso, bahkan, sebagian diantara warga yang menjadi korban kerusuhan sejak eskalasi kekerasan meningkat sama sekali tidak dapat memperoleh dana tersebut.
Modusnya, mulai dari pemotongan dana bantuan, mark up jumlah pengungsi hingga manipulasi data. Hasilnya mereka bagi-bagi. Masing-masing pejabat dan aparat keamanan dan komandan BIN, “bermufakat” dan mendapatkan “jatah preman”. Sementara, selebihnya bagi pelaksana lapangan. Juga tak ketinggalan aparat penegak hukum mendapat kuncuran dana haram tersebut.
Bahkan, sebelumnya, oleh Pengadilan Jakarta Pusat memvonis bebas Azikin Suyuti atas tuduhan korupsi bahan bangunan rumah (BBR) senilai Rp 6,4 miliar. Padahal JPU menuntut lima tahun kepada Asikin Suyuti dan tuntutan 1,5 hingga tiga tahun kepada delapan pengusaha yang menangani proyek-proyek kemanusian di Poso.
Namun hasilnya sangat mengagetkan, Asikin di vonis bebas, sementara para pelaku lapangan tetap mendapat kurungan penjara. Pengusaha yang menjalani hukuman kurungan adalah, Hi. Agus, Ivan Sijaya, Noldi, Mat Laparigi, Abd. Kadir sidik, Andi Makasau dan Ny. Rusmin.***
Diduga Terkait DPO Terorisme, Pencuri Bersenjata Api Ditangkap
Noted by
Jafar G Bua
at
5:41 PM
Palu - Aparat Kepolisisan Sektor Parigi, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah berhasil menangkap tersangka pencuri bersenjata api. Setelah mendapat laporan warga yang menjadi korban pencurian, polisi langsung memburu tersangka. Diduga, senjata api miliknya tersebut, terkait dengan perampokan yang didalangi oleh DPO kasus terorisme Poso beberapa waktu lalu.
Dari tersangka Enal yang dibekuk dirumahnya Jalan Toni Kota, Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong, Polisi menyita sepucuk senjata api rakitan yang beserta dua butir amunisi kaliber 5,56 milimeter.
Saat ini, Polisi masih melakukan pengembangan karena diduga tersangka juga terlibat salah satu jaringan sindikat perampokan bersenjata yang beberapa waktu lalu terjadi di Toribulu, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah yang melibatkan sejumlah eks Daftar Pencarian Orang (DPO) terorisme Poso.
“Kita sementara mengembangkan penyelidikan, karena Enal mengaku ia hanya dititipi senjata api jenis revolver tersebut. Kita masih mengejar pemilik senjatanya sesuai keterangan Enal dalam pemeriksaan,” kata Kapolsek Parigi Moutong AKP Yusri Hasan, Selasa (2/10).
Memang dalam pemeriksaan awal, Enal berkeras bahwa senjata itu bukan miliknya, meski ketika ditangkap, senjata api itu diletakan di pinggangnya.
“Saya hanya dititipi oleh teman yang berangkat ke Palu karena ada urusan. Saya bermaksud mengembalikannya, makanya saya taruh di pinggang,” aku Enal.
Nah, dari keterangan itu, tim buru sergap Polsek Parigi langsung melakukan pengejaran sampai ke Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, namun pemilik senpi yang disebut-sebut Enal tidak dapat temukan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tersangka dijerat dengan Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 dengan hukuman maksimal hukuman mati dan minimal kurungan penjara seumur hidup. ***
Dari tersangka Enal yang dibekuk dirumahnya Jalan Toni Kota, Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong, Polisi menyita sepucuk senjata api rakitan yang beserta dua butir amunisi kaliber 5,56 milimeter.
Saat ini, Polisi masih melakukan pengembangan karena diduga tersangka juga terlibat salah satu jaringan sindikat perampokan bersenjata yang beberapa waktu lalu terjadi di Toribulu, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah yang melibatkan sejumlah eks Daftar Pencarian Orang (DPO) terorisme Poso.
“Kita sementara mengembangkan penyelidikan, karena Enal mengaku ia hanya dititipi senjata api jenis revolver tersebut. Kita masih mengejar pemilik senjatanya sesuai keterangan Enal dalam pemeriksaan,” kata Kapolsek Parigi Moutong AKP Yusri Hasan, Selasa (2/10).
Memang dalam pemeriksaan awal, Enal berkeras bahwa senjata itu bukan miliknya, meski ketika ditangkap, senjata api itu diletakan di pinggangnya.
“Saya hanya dititipi oleh teman yang berangkat ke Palu karena ada urusan. Saya bermaksud mengembalikannya, makanya saya taruh di pinggang,” aku Enal.
Nah, dari keterangan itu, tim buru sergap Polsek Parigi langsung melakukan pengejaran sampai ke Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, namun pemilik senpi yang disebut-sebut Enal tidak dapat temukan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tersangka dijerat dengan Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 dengan hukuman maksimal hukuman mati dan minimal kurungan penjara seumur hidup. ***
Polda Sulteng Siagakan 5000 Personil Amankan Idul Fitri
Noted by
Jafar G Bua
at
5:39 PM
Palu – Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menyiapkan 5000 personil Kepolisian untuk mengamankan Idul Fitri mendatang. Jumlah ini sekitar 2/3 dari jumlah personil Kepolisian di wilayah Sulawesi Tengah. Pengamanan dipusatkan di Palu dan Poso, serta titik-titik rawan di beberapa daerah.
Demikian disampaikan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti usai gelar pasukan Operasi Ketupat Maleo 2007 di Lapangan Vatulemo, Palu, Sabtu (6/10) siang ini.
“Pengamanan kita pusatkan di Palu dan Poso menggunakan dua per tiga dari kekuatan yang ada, serta titik rawan di beberapa daerah mengingat situasi kerawanan di wilayah kita,” kata Badrodin.
Operasi Ketupat Maleo 2007 ini juga melibatkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut ditambah dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Perhubungan.
Untuk diketahui, pasca baku tembak Polisi dengan kelompok bersenjata di Poso Januari 2007 lalu serta penangkapan sejumlah tersangka terorisme, situasi keamanan di Poso dan Palu mulai kondusif. Tidak lagi aksi penembakan misterius maupun peledakan bom.***
Demikian disampaikan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti usai gelar pasukan Operasi Ketupat Maleo 2007 di Lapangan Vatulemo, Palu, Sabtu (6/10) siang ini.
“Pengamanan kita pusatkan di Palu dan Poso menggunakan dua per tiga dari kekuatan yang ada, serta titik rawan di beberapa daerah mengingat situasi kerawanan di wilayah kita,” kata Badrodin.
Operasi Ketupat Maleo 2007 ini juga melibatkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut ditambah dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Perhubungan.
Untuk diketahui, pasca baku tembak Polisi dengan kelompok bersenjata di Poso Januari 2007 lalu serta penangkapan sejumlah tersangka terorisme, situasi keamanan di Poso dan Palu mulai kondusif. Tidak lagi aksi penembakan misterius maupun peledakan bom.***
Sunday, September 23, 2007
Polisi Jaga Ketat Lima Titik Rawan di Poso
Noted by
Jafar G Bua
at
7:06 PM
Poso – Kondisi Kota Poso, Sulawesi Tengah pasca bentrokan Polisi dengan kelompok bersenjata pada Senin (22/01) awal tahun ini semakin kondusif. Meski demikian aparat Kepolisian Resor Poso tetap waspada. Selama bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri mendatang pengamanan ketat tetap dilakukan di sejumlah wilayah rawan dan rumah-rumah ibadah.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Poso AKBP Adeni Mohan Dg Pabali, ini adalah tugas rutin Kepolisian, dengan tetap memperhitungkan gangguan keamanan yang bisa saja terjadi. Sejumlah daerah yang sebelumnya merupakan daerah basis kelompok bersenjata tetap mendapat pengamanan ketat namun proporsional.
“Kita bersyukur bahwa kondisi Poso makin kondusif pasca penangkapan sejumlah anggota kelompok bersenjata di Poso. Saya pikir kita harus terus mendorong situasi ini menjadi makin baik,” ujar Adeni.
Polres Poso menerjunkan tidak kurang dari 1500 personil selama pengamanan Ramadhan dan Idul Fitri mendatang. Pengamanan diperketat di lima wilayah rawan yakni Gebangrejo, Kayamanya, Tokorondo, Bonesompe di Kecamatan Poso Kota dan Tentena di Kecamatan Pamona Utara. Empat kelurahan di dalam Kecamatan Poso Kota tersebut sebelumnya merupakan basis kelompok bersenjata, namun kini kondisinya sudah kondusif, sementara Tentena, merupakan wilayah dengan mayoritas pemeluk Kristen Protestan dan Katoli.
Seperti diketahui pada Senin (22/1) awal tahun ini, Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri, Polda Sulteng dan Polres Poso berhasil menangkap sejumlah tersangka pelaku aksi-aksi kekerasan bersenjata di Poso selama kurun waktu 2000 – 2007. Sebagian tersangka tersebut kini tengah menjalani persidangan dan beberapa di antaranya telah divonis hingga 20 tahun penjara.
Barang Mencurigakan
Sementara itu, pengamanan di Kota Palu, Sulawesi Tengah dikendalikan oleh Kepolisian Resor Kota Palu yang membawah empat Kepolisian Sektor Kota, yakni Palu Timur, Palu Barat, Palu Utara dan Palu Selatan.
Menurut Kepala Bagian Operasi Polresta Palu AKP Petit Wijaya, SIK sebanyak tiga peleton personil sudah diterjunkan sejak awal Puasa Ramadhan.
"Pengamanan diprioritaskan di tempat-tempat ibadah, selebihnya kita tempatkan di pusat-pusat keramaian," kata Petit
Ia juga menghimbau kepada masyarakat agar bisa memberikan informasi kepada Polisi jika melihat barang-barang yang mencurigakan dan membahayakan.
“Itu untuk tindakan antisipatif, sebab kita harus tetap waspada pada ulah oknum tertentu yang tidak ingin melihat daerah kita aman seperti sekarang ini,” ujar Petit.***
Menurut Kepala Kepolisian Resor Poso AKBP Adeni Mohan Dg Pabali, ini adalah tugas rutin Kepolisian, dengan tetap memperhitungkan gangguan keamanan yang bisa saja terjadi. Sejumlah daerah yang sebelumnya merupakan daerah basis kelompok bersenjata tetap mendapat pengamanan ketat namun proporsional.
“Kita bersyukur bahwa kondisi Poso makin kondusif pasca penangkapan sejumlah anggota kelompok bersenjata di Poso. Saya pikir kita harus terus mendorong situasi ini menjadi makin baik,” ujar Adeni.
Polres Poso menerjunkan tidak kurang dari 1500 personil selama pengamanan Ramadhan dan Idul Fitri mendatang. Pengamanan diperketat di lima wilayah rawan yakni Gebangrejo, Kayamanya, Tokorondo, Bonesompe di Kecamatan Poso Kota dan Tentena di Kecamatan Pamona Utara. Empat kelurahan di dalam Kecamatan Poso Kota tersebut sebelumnya merupakan basis kelompok bersenjata, namun kini kondisinya sudah kondusif, sementara Tentena, merupakan wilayah dengan mayoritas pemeluk Kristen Protestan dan Katoli.
Seperti diketahui pada Senin (22/1) awal tahun ini, Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri, Polda Sulteng dan Polres Poso berhasil menangkap sejumlah tersangka pelaku aksi-aksi kekerasan bersenjata di Poso selama kurun waktu 2000 – 2007. Sebagian tersangka tersebut kini tengah menjalani persidangan dan beberapa di antaranya telah divonis hingga 20 tahun penjara.
Barang Mencurigakan
Sementara itu, pengamanan di Kota Palu, Sulawesi Tengah dikendalikan oleh Kepolisian Resor Kota Palu yang membawah empat Kepolisian Sektor Kota, yakni Palu Timur, Palu Barat, Palu Utara dan Palu Selatan.
Menurut Kepala Bagian Operasi Polresta Palu AKP Petit Wijaya, SIK sebanyak tiga peleton personil sudah diterjunkan sejak awal Puasa Ramadhan.
"Pengamanan diprioritaskan di tempat-tempat ibadah, selebihnya kita tempatkan di pusat-pusat keramaian," kata Petit
Ia juga menghimbau kepada masyarakat agar bisa memberikan informasi kepada Polisi jika melihat barang-barang yang mencurigakan dan membahayakan.
“Itu untuk tindakan antisipatif, sebab kita harus tetap waspada pada ulah oknum tertentu yang tidak ingin melihat daerah kita aman seperti sekarang ini,” ujar Petit.***
Tuesday, September 11, 2007
Korupsi Dana Pengungsi: Aminuddin Bebas, Poso Center Protes
Noted by
Jafar G Bua
at
6:35 PM
Palu – Poso Center, gabungan dari sejumlah organisasi nonpemerintah di Palu untuk penyelesaian kasus Poso memrotes dibebaskannya bekas Gubernur Sulawesi Tengah Aminuddin Ponulele, terdakwa kasus korupsi dana pengungsi Poso sebesar Rp 1,2 miliar.
Aminuddin divonis bebas Pada persidangan di Pengadilan Negeri Palu, Rabu (22/8/2007) lalu. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut 4 tahun penjara atas Ketua DPD Partai Golkar itu.
Ketua Majelis Hakim PN Palu Faturrahman menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah seperti yang tertuang dalam dakwaan primair tim JPU. Unsur-unsur yang tidak terbukti dalam dakwaan primer tersebut, yaitu memperkaya diri sendiri maupun bersama sejumlah orang lain telah melakukan satu perbuatan berlanjut (vorgezette handelling) dan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Sekretaris Poso Center, menyampaikan protesnya atas pembebasan bekas Gubernur Sulawesi Tengah tersebut dari dakwaan korupsi. Sementara sejumlah pelaku-pelaku di lapangan yang terkait dengan distribusi dana pengungsi tersebut, saat ini sudah berada di dalam bui.
“Sungguh tidak masuk dalam logika hukum manapun, mengapa justru hanya pelaku kelas terinya yang divonis dan masuk bui, sementara mereka yang paling bertanggungjawab atas aliran dana itu divonis bebas,” tandas Mahfud.
Sebelumnya juga, tambah Mahfud, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memvonis bebas bekas Bupati Poso dan bekas Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Tengah Andi Azikin Suyuti dari tuntutan hukum terkait penyaluran dana Bahan Bangunan Rumah (BBR) bagi pengungsi Poso. Yang aneh lagi, hanya pelaksana lapanganlah yang divonis bebas.
“Sementara dalam persidangan, sejumlah terdakwa sudah memberikan keterangan dibawah sumpah bahwa mereka juga memberikan sejumlah uang itu kepada pejabat-pejabat terkait sebagai semacam fee sesuai perintah. Namun hakim tidak mengindahkan hal itu,” kata Mahfud.
Berdasarkan penelusuran catatanposocom bersama Aminudin, Andi Azikin Suyuti juga didakwa dengan kasus serupa. Setelah sebelumnya oleh Pengadilan Negeri di Jakarta memvonis bebas atas tuduhan korupsi bahan bangunan rumah (BBR) senilai Rp 6,4 M. Padahal dalam tuntutannya Jaksa memberikan tuntutan 5 tahun kepada Asikin Suyuti, 3 tahun kepada Hi. Agus, 2 tahun 6 bulan kepada Ivan Sijaya, 1 Tahun kepada Noldi, 2 Tahun 6 bulan kepada Mat Laparigi, 1 tahun 6 bulan kepada Abd. Kadir sidik, 1 tahun 6 bulan kepada Andi Makasau dan 3 tahun kepada Ibu Rusmin.
Seperti diketahui, ke 9 orang tersebut di atas, di tuduh melakukan korupsi terhadap salah satu item bantuan pengungsi Poso, yaitu dana Bahan Bangunan Rumah (BBR). Bantuan pengungsi Poso mengalir sejak tahun 2000-2005, bantuan tersebut berupa, bantuan lauk pauk, bantuan Jaminan hidup/biaya hidup (jadup/bedup), bantuan Bahan Bangunan Rumah dan bantuan pemulangan pengungsi.
Namun hasilnya sangat mengagetkan. Dimana Asikin di vonis bebas, sementara para pelaku lapangan seperti tersebut di atas tetap mendapat kurungan penjara.
Beberapa hal janggal juga dicatat Poso Center, pada putusan bebas Aminuddin, Majelis Hakim membenarkan dakwaan subsider JPU, yakni terdakwa Aminuddin terbukti melakukan penyimpangan administrasi sebab telah mencairkan uang pemulangan dana pengungsi Poso dari rekening Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Sulteng ke rekening perorangan sebesar Rp1,2 miliar. Menurut majelis hakim, tindakan terdakwa pada akhir 2001 itu tidak menyalahi ketentuan pidana baik yang tercantum dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHP. Apalagi tindakan yang diambil terdakwa berkaitan dengan penanganan segera kasus kerusuhan Poso yang saat itu menjadi perhatian serius pemerintah.
”Saat itu dana pengungsi di Satkorlak Sulteng sudah habis masa penggunaannya, sehingga harus dicairkan, kalau tidak dana tersebut harus dikembalikan ke pemerintah pusat,” katanya Ketua Majelis Hakim PN Palu Faturrahman saat dimintai keterangan oleh wartawan.
Terkait vonis bebas tersebut, M. Syarif SH dan Ariyati SH, JPU dari Kejati Sulteng menyatakan kasasi. Namun hingga kini belum ada pernyataan resmi dari Kejati terkait upaya kasasi ini.
Dakwaan JPU
Dari penelusuran yang dilakukan SH di Kejati Sulteng, JPU menyatakan Modus operandi yang dilakukan terdakwa, antara lain ia bersama Azikintelah membuka rekening atas nama Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam dan Pengungsi (Satkorlak PBP) Sulteng di BNI Cabang Palu untuk menampung dana dari Depsos guna kebutuhan pengungsi akibat kerusuhan Poso.
Selanjutnya pada 4 Desember 2001 Dinkessos Sulteng menerima alokasi anggaran yang bersumber dari APBN 2001 sekitar Rp15,29 miliar yang disalurkan oleh Dirjen Bina Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos.
Dana itu mana termasuk pembayaran kegiatan pelaksanaan transportasi pemulangan pengungsi Poso yang ada di Kabupaten Morowali sebanyak 1.000 kepala keluarga (KK) atau 5.000 jiwa senilai lebih Rp1,25 miliar.
Sesuai petunjuk operasionalnya, setiap jiwa pengungsi memperoleh bagian Rp 250 ribu.
Masih menurut JPU, karena pencairan dana tersebut di penghujung tahun anggaran Pimpro Proyek Bencana Alam dan Pengungsi (PBP) Dinkessos Sulteng, Amrin SH, menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan dan melaksanakan kegiatan tersebut.
Masalah ini selanjutnya disampaikan Azikin kepada terdakwa, dan ternyata terdakwa tetap memerintahkan agar dana itu dicairkan kemudian diserahkan kepada dirinya.
Atas permintaan terdakwa, berikut pada 12 Desember 2001 Amrin SH mengajukan SPP-UYHD ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Palu untuk mencairkan sebagian dana tersebut sebesar Rp11,18 miliar.
Pada tanggal 18 Desember 2001, atas permintaan terdakwa melalui Azikin Suyuti, Pimpro Amrin SH kembali menyerahkan sebagian dana itu (Rp11,09 miliar lebih) kepada terdakwa selaku Ketua Satkorlak PBP Sulteng, termasuk di dalamnya biaya pemulangan pengungsi Poso.
Berikut, 26 Desember 2001, Amrin SH mengajukan surat permintaan pembayaran pembangunan, permintaan pembayaran pembangunan secara swakelola, daftar rincian permintaan pembangunan, dan surat penyetoran pajak dilengkapi Berita Acara Serah Terima Uang No.52.a/BA/PBA/BID/PK/XII/2001 tanggal 18 Desember 2001 yang ditandatangani terdakwa sebagai pertanggungjawaban ke KPKN Palu.
Namun ternyata tak sesuai dengan mata anggaran yang tertuang dalam Surat Kuasa Penerbitan Uang No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 dan menyimpang dari Petunjuk Operasional.
Juga, pada tanggal bersamaan, Nirat Patadjennu BBA selaku Bendaraha Proyek PBP Dinkessos Sulteng telah menyetorkan dana kegiatan Proyek PBP Sulteng sebesar Rp11,092 miliar ke rekening Satkorlak PBP Sulteng yang ada di BNI Cabang Palu.
JPU juga menguraikan, pada tanggal 14 Januari 2002 terdakwa Aminuddin Ponulele menyerahkan kembali dana kegiatan proyek PBP tahun 2001 kepada Azikin Suyuti, namun penyerahan tersebut hanya dilakukan secara administratif alias fiktif sebab uangnya tidak turut diserahkan tetapi tetap disimpan pada rekening Satkorlak PBP Sulteng.
Setelah terdakwa menyerahkan dana secara fiktif sesuai berita acara serah terima uang No.446.1/0563/Dinkessos-G.ST tanggal 14 Januari 2002, terdakwa menandatangani surat perjanjian pekerjaan 2 Juli 2002 sebagai pihak yang mengetahui pelaksanaan pekerjaan bersama Azikin Suyuti selaku pihak pertama dan Dahliana SE Dirut CV Ralianti selaku pihak kedua untuk melaksanaan pekerjaan transportasi pemulangan pengungsi Poso di Kabupaten Morowali sebanyak 1.125 KK (5.625 jiwa) dalam jangka waktu 30 hari kerja.
Biaya pelaksanaan pekerjaan ini disepakati sebesar Rp1,237 miliar yang dibebankan dalam surat kuasa penerbitan uang (SKP) No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 pada Proyek PBP Sulteng dengan cara pembayaran sekaligus (100 persen) setelah pekerjaan selesai dilaksanakan.
Menurut JPU, kegiatan pemulangan pengungsi sesuai dengan perjanjian kerja itu tidak dilaksanakan sama sekali, namun oleh Azikin Suyuti (Kepala Dinkessos Sulteng) bersama Dahliana (Dirut CV Ralianti) hanya menandatangani kelengkapan dokumen fiktif.
Karena dana itu masih tersimpan dalam rekening Satkorlak PBP Sulteng, Azikin Suyuti selanjutnya meminta kepada terdakwa untuk mencairkan biaya transportasi pemulangan pengungsi Poso, sehingga terdakwa kemudian mengeluarkan cek atas unjuk (cek tunai) nomor CA 22380 bernilai Rp1,237 miliar.
Akan tetapi, dana yang sudah dicairkan ini belakangan diketahui tidak diteruskan kepada para pengungsi yang menjadi korban kerusuhan.
Juga, dana transportasi pemulangan pengungsi Poso yang masih tersisa direkening Satkorlak PBP Sulteng BNI Cabang Palu yakni sebesar Rp21,25 juta, sehingga total dana yang disalurkan Depsos ke Provinsi Sulteng yang tak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya oleh terdakwa sebesar Rp1,258 miliar.
Atas perbuatannya itu, JPU dalam dakwaan primer mengacam terdakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b, Ayat (2), Ayat (3) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, dengan ancaman hukuman antara empat hingga 20 tahun penjara.
Aminuddin Ponulele sendiri mulai dijadikan tersangka sekaligus menjalani penahanan di Palu sejak 9 Juni 2006, setelah dalam penyelidikan berbulan-bulan yang dilakukan Polda Sulteng dan diback-up Mabes Polri menemukan adanya indikasi yang bersangkutan terlibat dalam kasus dugaan penyalahgunaan dana pemulangan pengungsi Poso.
Sementara Azikin ditahan di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat dan menjalani persidangan di PN Jakarta Pusat. Namun seperti diramalkan, kedua kemudian divonis bebas.***
Aminuddin divonis bebas Pada persidangan di Pengadilan Negeri Palu, Rabu (22/8/2007) lalu. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut 4 tahun penjara atas Ketua DPD Partai Golkar itu.
Ketua Majelis Hakim PN Palu Faturrahman menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah seperti yang tertuang dalam dakwaan primair tim JPU. Unsur-unsur yang tidak terbukti dalam dakwaan primer tersebut, yaitu memperkaya diri sendiri maupun bersama sejumlah orang lain telah melakukan satu perbuatan berlanjut (vorgezette handelling) dan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Sekretaris Poso Center, menyampaikan protesnya atas pembebasan bekas Gubernur Sulawesi Tengah tersebut dari dakwaan korupsi. Sementara sejumlah pelaku-pelaku di lapangan yang terkait dengan distribusi dana pengungsi tersebut, saat ini sudah berada di dalam bui.
“Sungguh tidak masuk dalam logika hukum manapun, mengapa justru hanya pelaku kelas terinya yang divonis dan masuk bui, sementara mereka yang paling bertanggungjawab atas aliran dana itu divonis bebas,” tandas Mahfud.
Sebelumnya juga, tambah Mahfud, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memvonis bebas bekas Bupati Poso dan bekas Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Tengah Andi Azikin Suyuti dari tuntutan hukum terkait penyaluran dana Bahan Bangunan Rumah (BBR) bagi pengungsi Poso. Yang aneh lagi, hanya pelaksana lapanganlah yang divonis bebas.
“Sementara dalam persidangan, sejumlah terdakwa sudah memberikan keterangan dibawah sumpah bahwa mereka juga memberikan sejumlah uang itu kepada pejabat-pejabat terkait sebagai semacam fee sesuai perintah. Namun hakim tidak mengindahkan hal itu,” kata Mahfud.
Berdasarkan penelusuran catatanposocom bersama Aminudin, Andi Azikin Suyuti juga didakwa dengan kasus serupa. Setelah sebelumnya oleh Pengadilan Negeri di Jakarta memvonis bebas atas tuduhan korupsi bahan bangunan rumah (BBR) senilai Rp 6,4 M. Padahal dalam tuntutannya Jaksa memberikan tuntutan 5 tahun kepada Asikin Suyuti, 3 tahun kepada Hi. Agus, 2 tahun 6 bulan kepada Ivan Sijaya, 1 Tahun kepada Noldi, 2 Tahun 6 bulan kepada Mat Laparigi, 1 tahun 6 bulan kepada Abd. Kadir sidik, 1 tahun 6 bulan kepada Andi Makasau dan 3 tahun kepada Ibu Rusmin.
Seperti diketahui, ke 9 orang tersebut di atas, di tuduh melakukan korupsi terhadap salah satu item bantuan pengungsi Poso, yaitu dana Bahan Bangunan Rumah (BBR). Bantuan pengungsi Poso mengalir sejak tahun 2000-2005, bantuan tersebut berupa, bantuan lauk pauk, bantuan Jaminan hidup/biaya hidup (jadup/bedup), bantuan Bahan Bangunan Rumah dan bantuan pemulangan pengungsi.
Namun hasilnya sangat mengagetkan. Dimana Asikin di vonis bebas, sementara para pelaku lapangan seperti tersebut di atas tetap mendapat kurungan penjara.
Beberapa hal janggal juga dicatat Poso Center, pada putusan bebas Aminuddin, Majelis Hakim membenarkan dakwaan subsider JPU, yakni terdakwa Aminuddin terbukti melakukan penyimpangan administrasi sebab telah mencairkan uang pemulangan dana pengungsi Poso dari rekening Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Sulteng ke rekening perorangan sebesar Rp1,2 miliar. Menurut majelis hakim, tindakan terdakwa pada akhir 2001 itu tidak menyalahi ketentuan pidana baik yang tercantum dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHP. Apalagi tindakan yang diambil terdakwa berkaitan dengan penanganan segera kasus kerusuhan Poso yang saat itu menjadi perhatian serius pemerintah.
”Saat itu dana pengungsi di Satkorlak Sulteng sudah habis masa penggunaannya, sehingga harus dicairkan, kalau tidak dana tersebut harus dikembalikan ke pemerintah pusat,” katanya Ketua Majelis Hakim PN Palu Faturrahman saat dimintai keterangan oleh wartawan.
Terkait vonis bebas tersebut, M. Syarif SH dan Ariyati SH, JPU dari Kejati Sulteng menyatakan kasasi. Namun hingga kini belum ada pernyataan resmi dari Kejati terkait upaya kasasi ini.
Dakwaan JPU
Dari penelusuran yang dilakukan SH di Kejati Sulteng, JPU menyatakan Modus operandi yang dilakukan terdakwa, antara lain ia bersama Azikintelah membuka rekening atas nama Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam dan Pengungsi (Satkorlak PBP) Sulteng di BNI Cabang Palu untuk menampung dana dari Depsos guna kebutuhan pengungsi akibat kerusuhan Poso.
Selanjutnya pada 4 Desember 2001 Dinkessos Sulteng menerima alokasi anggaran yang bersumber dari APBN 2001 sekitar Rp15,29 miliar yang disalurkan oleh Dirjen Bina Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos.
Dana itu mana termasuk pembayaran kegiatan pelaksanaan transportasi pemulangan pengungsi Poso yang ada di Kabupaten Morowali sebanyak 1.000 kepala keluarga (KK) atau 5.000 jiwa senilai lebih Rp1,25 miliar.
Sesuai petunjuk operasionalnya, setiap jiwa pengungsi memperoleh bagian Rp 250 ribu.
Masih menurut JPU, karena pencairan dana tersebut di penghujung tahun anggaran Pimpro Proyek Bencana Alam dan Pengungsi (PBP) Dinkessos Sulteng, Amrin SH, menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan dan melaksanakan kegiatan tersebut.
Masalah ini selanjutnya disampaikan Azikin kepada terdakwa, dan ternyata terdakwa tetap memerintahkan agar dana itu dicairkan kemudian diserahkan kepada dirinya.
Atas permintaan terdakwa, berikut pada 12 Desember 2001 Amrin SH mengajukan SPP-UYHD ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Palu untuk mencairkan sebagian dana tersebut sebesar Rp11,18 miliar.
Pada tanggal 18 Desember 2001, atas permintaan terdakwa melalui Azikin Suyuti, Pimpro Amrin SH kembali menyerahkan sebagian dana itu (Rp11,09 miliar lebih) kepada terdakwa selaku Ketua Satkorlak PBP Sulteng, termasuk di dalamnya biaya pemulangan pengungsi Poso.
Berikut, 26 Desember 2001, Amrin SH mengajukan surat permintaan pembayaran pembangunan, permintaan pembayaran pembangunan secara swakelola, daftar rincian permintaan pembangunan, dan surat penyetoran pajak dilengkapi Berita Acara Serah Terima Uang No.52.a/BA/PBA/BID/PK/XII/2001 tanggal 18 Desember 2001 yang ditandatangani terdakwa sebagai pertanggungjawaban ke KPKN Palu.
Namun ternyata tak sesuai dengan mata anggaran yang tertuang dalam Surat Kuasa Penerbitan Uang No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 dan menyimpang dari Petunjuk Operasional.
Juga, pada tanggal bersamaan, Nirat Patadjennu BBA selaku Bendaraha Proyek PBP Dinkessos Sulteng telah menyetorkan dana kegiatan Proyek PBP Sulteng sebesar Rp11,092 miliar ke rekening Satkorlak PBP Sulteng yang ada di BNI Cabang Palu.
JPU juga menguraikan, pada tanggal 14 Januari 2002 terdakwa Aminuddin Ponulele menyerahkan kembali dana kegiatan proyek PBP tahun 2001 kepada Azikin Suyuti, namun penyerahan tersebut hanya dilakukan secara administratif alias fiktif sebab uangnya tidak turut diserahkan tetapi tetap disimpan pada rekening Satkorlak PBP Sulteng.
Setelah terdakwa menyerahkan dana secara fiktif sesuai berita acara serah terima uang No.446.1/0563/Dinkessos-G.ST tanggal 14 Januari 2002, terdakwa menandatangani surat perjanjian pekerjaan 2 Juli 2002 sebagai pihak yang mengetahui pelaksanaan pekerjaan bersama Azikin Suyuti selaku pihak pertama dan Dahliana SE Dirut CV Ralianti selaku pihak kedua untuk melaksanaan pekerjaan transportasi pemulangan pengungsi Poso di Kabupaten Morowali sebanyak 1.125 KK (5.625 jiwa) dalam jangka waktu 30 hari kerja.
Biaya pelaksanaan pekerjaan ini disepakati sebesar Rp1,237 miliar yang dibebankan dalam surat kuasa penerbitan uang (SKP) No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 pada Proyek PBP Sulteng dengan cara pembayaran sekaligus (100 persen) setelah pekerjaan selesai dilaksanakan.
Menurut JPU, kegiatan pemulangan pengungsi sesuai dengan perjanjian kerja itu tidak dilaksanakan sama sekali, namun oleh Azikin Suyuti (Kepala Dinkessos Sulteng) bersama Dahliana (Dirut CV Ralianti) hanya menandatangani kelengkapan dokumen fiktif.
Karena dana itu masih tersimpan dalam rekening Satkorlak PBP Sulteng, Azikin Suyuti selanjutnya meminta kepada terdakwa untuk mencairkan biaya transportasi pemulangan pengungsi Poso, sehingga terdakwa kemudian mengeluarkan cek atas unjuk (cek tunai) nomor CA 22380 bernilai Rp1,237 miliar.
Akan tetapi, dana yang sudah dicairkan ini belakangan diketahui tidak diteruskan kepada para pengungsi yang menjadi korban kerusuhan.
Juga, dana transportasi pemulangan pengungsi Poso yang masih tersisa direkening Satkorlak PBP Sulteng BNI Cabang Palu yakni sebesar Rp21,25 juta, sehingga total dana yang disalurkan Depsos ke Provinsi Sulteng yang tak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya oleh terdakwa sebesar Rp1,258 miliar.
Atas perbuatannya itu, JPU dalam dakwaan primer mengacam terdakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b, Ayat (2), Ayat (3) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, dengan ancaman hukuman antara empat hingga 20 tahun penjara.
Aminuddin Ponulele sendiri mulai dijadikan tersangka sekaligus menjalani penahanan di Palu sejak 9 Juni 2006, setelah dalam penyelidikan berbulan-bulan yang dilakukan Polda Sulteng dan diback-up Mabes Polri menemukan adanya indikasi yang bersangkutan terlibat dalam kasus dugaan penyalahgunaan dana pemulangan pengungsi Poso.
Sementara Azikin ditahan di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat dan menjalani persidangan di PN Jakarta Pusat. Namun seperti diramalkan, kedua kemudian divonis bebas.***
Subscribe to:
Posts (Atom)
Blog Info
BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.
Dedication Quote
ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]