Friday, March 23, 2007

Kontras Sulawesi Desak Polres di Sulteng Audit Senjata Api


Palu - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi mendesak semua Polres di Wilayah Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng) melakukan pemeriksaan sekaligus mengaudit senjata api (Senpi) untuk menghindari kecelakaan dan penyalahgunaannya.

“Pemeriksaan ini harus dilakukan serentak dan merata pada semua tingkatan Polres di Sulteng,” demikian penegasan Koordinator Kontras Sulawesi, Edmond Leonardo.

Menurut Edmon, pemeriksaan tersebut harus dilakukan menyeluruh atas semua anggota Polri, baik jumlah senpi maupun amunisinya. Di samping itu tentu saja kelengkapan adminsitrasinya, yakni surat izin memegang senpi. Kemudian diteruskan dengan psikotest bagi anggota Polri yang memang harus memegang senpi semisal anggota reserse.

“Yang tidak kalah pentingnya adalah pemeriksaan senpi maupun amunisi yang disimpan dalam gudang-gudang milik Polri, karena tidak menutup kemungkinan adanya kehilangan,” kata Edmon.

Di Sulawesi Tengah sejumlah kasus penyalahgunaan senpi oleh anggota Polri pernah beberapa kali terjadi. Kasus itu antara lain adalah penembakan yang dilakukan oleh seorang anggota Polsek Buol pada seorang warga sipil tahun 2006 lalu, kemudian penembakan yang menewaskan Akbal Setyawan (27) warga Palu Barat pada Januari 2007 lalu oleh Bripda Andri.

Sejauh ini baru Polresta Palu dan Polres Buol yang melakukan pemeriksaan dan penarikan senpi bermasalah yang dimiliki oleh anggotanya.

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Polres Tolitoli atas 108 pucuk senpi yang dimiliki anggota Kepolisian setempat, sebanyak 32 pucuk Senpi dianggap bermasalah dan kemudian ditarik karena surat izinnya telah kadaluwarsa. Atas hasil pemeriksaan itu, 32 anggota Polri setempat pun telah menjalani pemeriksaan.***

Tuesday, March 20, 2007

Cinta Ardin dan Yunita pun Berbuah Penikahan


Tersangka terorisme Poso menikah di tahanan Polda Sulteng. Luar biasa. Ternyata cinta mampu menembus dinginya dinding ruang tahanan dan rapatnya jeruji besinya.

Palu - Seorang lelaki berbaju koko berwarna krem kehijauan dan bersarung coklat kotak-kotak dengan kopiah cokelat melangkah tertatih menggunakan dua buah tongkat di bawah ketiaknya memasuki Masjid Nurul Iksan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah di Jalan Sam Ratulangi, Palu Timur. Wajahnya sumringah. Seorang perempuan cantik rupanya sudah menantinya dalam balutan busana berwarna lebih hijau dengan jilbab hitam berenda putih.

Siapa lelaki dan perempuan itu? Jika belum tahu, pasti tidak menyangka lelaki itu adalah Ardin Janatu alias Rojak (36), tersangka sejumlah aksi terorisme di Palu dan Poso sepanjang 2002 hingga 2007. Sementara perempuan tadi adalah Yunita Sari (19) mempelai wanita yang akan dinikahi oleh Ardin.

Tidak main-main sangkaan yang dialamatkan pada Ardin. Lelaki yang dulunya bekerja sebagai tukang ojek ini dituduh terlibat penembakan Pendeta Susianti Tinulele di Palu pada Juni 2004, lalu peledakan bom Tentena, Poso yang menewaskan sebanyak 22 orang pada 28 Februari 2005, kemudian penembakan di Gereja Anugerah pada Desember 2007.

Sejak ditangkap pada 1 Februari 2007 lalu, Ardin menjalani pemeriksaan intensif di Polda Sulteng. Awalnya ia ditahan di Polres Poso kemudian di Polda Sulteng.

Namun pada Selasa (20/3) pagi itu, sejenak ia bisa melupakan sangkaan aksi-aksi terorisme yang dilakukannya. Seorang perempuan bernama Yunita yang menjadi kekasih hatinya saat dalam pelarian pasca baku tembak dengan Polisi 22 Januari 2007 di Poso menerima pinangannya.

Seperti prosesi pernikahan umumnya, Ardin mengucapkan ijab Kabul. Ia didampingi Brigadir Polisi Dua Rahman dari Kesatuan Brimob Polda Sulteng dan seorang kerabatnya Mohammad Andi, sebagai saksi pernikahan. Prosesi ijab Kabul berlangsung singkat dari pukul 10.00 – 10.15 Waktu Indonesia Tengah.

Adapun Yunita didamping oleh orang tuanya Mohammad Sidra. Ia terlihat berkali-kali menghapus air mata kegembiraannya.

Ustadz Mohammad Saleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) Palu Timur menjadi penghulu pada pernikahan mereka. Seperangkat alat shalat dan uang tunai menjadi maharnya menikahi Yunita.

Usai mengucapkan ijab Kabul, Ardin lalu bertemu Yunita di sebuah ruangan di samping Masjid Nurul Iksan Polda Sulteng. Di sana, Ardin membacakan sighat taklik sebagai janji tanggung jawabnya sebagai suami. Lalu keduanya menandatangani surat nikahnya sebagai tanda sahnya pernikahan itu.

Usai prosesi pernikahan Ardin mengatakan bahwa ia memang berniat menikah pada bulan Maret ini, namun ia keburu ditangkap Polisi. Yunita sendiri adalah gadis tetangganya di Kelurahan Lawanga, Poso Kota.

“Karena sudah berniat, saya minta kepada bapak-bapak di Polda untuk menikah. Rupanya mereka mengizinkan saya,” kata Ardin sumringah.

“Jika bebas nanti saya ingin punya banyak anak,” tambah Ardin lagi dengan wajah berseri.

Yunita sendiri lebih banyak diam. Ia terlihat tenang. Meski tahu setelah menikah mereka belum bisa bersama membangun rumah tangga.

Ardin menjadi raja sehari, sebab setelah itu, ia harus kembali menempati ruang tahanan yang dingin di Polda Sulteng. Ia harus menjalani serangkaian pemeriksaan dari tim penyidik Mabes Polri dan Polda Sulteng atas serangkaian aksi terorisme yang diduga dilakukannya bersama sejumlah tersangka terorisme lainnya yang kini ditahan di Mabes Polri dan Polda Sulteng.

Ardin adalah satu dari 29 DPO aksi terorisme di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah. Ia menjadi tersangka penembakan Pendeta Susianti Tinulele di Palu, pelaku peledakan bom di Tentena dan penembakan di Gereja Anugerah Palu. Ia tertangkap bersama Basri alias Bagong pada 1 Februari 2007 lalu. Ia diketahui terlibat dalam kontak senjata selama delapan jam lebih dengan polisi pada 22 Januari 2007 lalu di Poso.***

Monday, March 12, 2007

Gebangrejo: Tanah Subur bagi Silar, Ladang Subur bagi Mujahid

Kawasan Tanah Runtuh, Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota menjadi momok bagi Polisi, karena diduga menjadi basis pertahanan kelompok bersenjata. Di kawasan itu pula berdiri Pesantren Amanah, yang juga dimata-matai Polisi karena diduga pimpinannya Ustadz Muhammad Adnan Arsal menyembunyikan para DPO Mabes Polri.

Sebelum tahun 1950, Kelurahan Gebangrejo masih disebut sebagai Kampung Gebangrejo yang menjadi bagian dari Kampung Gorontalo yang sekarang menjadi Kelurahan Bonesompe.

Dulunya, sebelum menjadi permukiman, Gebangrejo adalah hutan lebat yang ditumbuhi banyak pohon Silar, sejenis pohon Palem. Itulah yang menjadi asal mula kata Gebang yang artinya Silar. Sementara rejo artinya subur. Itu adalah dua kata berasal dari Bahasa Jawa. Harapannya, agar Gebangrejo menjadi kampung yang maju, makmu dengan lahan pertanian yang subur.

Dari tahun 1950 – 1968, Gebangrejo yang sudah berpisah dari Kampung Gorontalo dipimpin oleh seorang bekas anggota tentara Kerajaan Belanda atau KNIL bernama Soemadikoro.

Lalu setelah itu, dari 1968 – 1974, beralih ke Suhardjo, tetua masyarakat setempat. Saat itu, masuklah penduduk yang mengungsi dari Kabupaten Luwu, Paolpo Utara, Sulawesi Selatan dan Jawa.

Tahun 1974-1975, Gebangrejo beralih kepemimpinannya kepada Kepala Kampung Hagu Harun. Di akhir kepemimpinan Hagu, Kampung Gebangrejo berubah menjadi Desa. Saat itu, Desa tersebut dipimpin oleh seorang anggota Tentara Nasional Indonesia bernama Saridjo. Di masa kepemimpinan Saridjo, Desa Gebangrejo berubah menjadi Kelurahan. Ia memimpin hingga 1988.

Sepeninggal Saridjo, tepatnya dari 1988 – 1991, Kelurahan Gebangrejo dipimpin lagi orlah seorang anggota TNI bernama Sujawarso. Sampai kemudian pada 1991, tak cukup setahun, Kelurahan baru ini dipimpin oleh WD Manggede, seorang anggota Polisi Pamong Praja.

Setelah itu, lagi-lagi Gebangrejo dipimpin oleh seorang anggota militer bernama G Parainta dari 1991-1995.

Tahun 1995-2001, kepemimpinan Gebangrejo beralih ke tangan sipil. Saat itu, wilayah yang kemudian dikenal sebagai Tanah Runtuh ini dipimpin oleh Mahyudin Darise. Lalu pada 2000-2001 dipimpin oleh Dasiran. Menyusul kemudian pada 2002-2004 dipimpin oleh Suripto K. Saat ini, Kelurahan ini dipimpin oleh Mariono Ari Pamungkas, SH yang diangkat pada tahun 2004.

Dari data Demografi di Kantor Kelurahan Setempat, jumlah penduduk Gebangrejo sebanyak 10.521 jiwa. Rinciannya, Laki-laki (Islam) sebanyak 5.267 jiwa, Perempuan (Islam) 4.983 jiwa. Lalu Lakli (Kristen) sebanyak 102 jiwa dan Perempuan (Kristen) 114 jiwa. Ditambah lagi Laki-laki (Hindu) 32 jiwa dan Perempuan (Hindu) 23 jiwa. Dari data tersebut diketahui jumlah laki-laki sebanyak 5.401 jiwa dan perempuan 5.120 jiwa.

Dari data demografi yang tercatat di Kantor Kelurahan, diketahui pula sebanyak 1.120 jiwa berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Selebihnya adalah anggota TNI (11 jiwa) dan anggota Polri (116 jiwa). Adapula yang menjadi karyawan swasta sebanyak 230 jiwa dan karyawan BUMN semisal Pertamina sebanyak 155 orang. Selebihnya adalah pedagang (460 jiwa), peternak (26 jiwa) dan Petani (419) serta sejumlah sector jasa lainnya.

Tidak ada yang tahu pasti mengapa Gebangrejo berkali-kali dipimpin oleh militer. Dari sumber terbatas diketahui bahwa saat itu diduga sejumlah pelarian anggota PRRI-Permesta bersembunyi di tempat itu. Belum lagi sejumlah pengungsi yang lari Palopo Utara karena ketika itu wilayah tersebut masih dikuasai pasukan DII TII Kahar Muzakar.

Saat ini Gebangrejo sudah berkembang menjadi permukiman yang ramai. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau biasa disebut saja PAM didirikan di sini. Sejak saat itu, selain disebut Gebangrejo, dikenal pula sebagai PAM.

Kini disebut Tanah Runtuh lantaran beberapa tahun lalu, badan jalan di sisi Sungai Poso di bibir kawasan yang masuk dalam Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota itu, runtuh.

Gebangrejo, membumbung namanya, setelah konflik mengharubiru Poso. Setelah pembunuhan ratusan santri Pesantren Walisongo di Kilometer 9, Poso pada tahun 2000 banyak santri, para tenaga pengajar dan keluarganya lari ke wilayah itu.

Yayasan Badan Wakaf Ulul Albab berperan besar dalam mengfasilitasi para pengungsi Walisongo tersebut sampai kemudian mereka mendirikan Pesantren Amanan pada tanggal 4 Mei 2001. Tokoh pentingnya adalah Ustadz Muhammad Adnan Arsal, ulama karismatik di Poso. Tidak bisa memisahkan nama Tanah Runtuh dari Pesantren Amanah.

Namun siapa menyangka kemudian dari sinilah benih-benih apa yang disebut polisi sebagai kelompok bersenjata dan kemudian dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Mabes Polri bermula. Dari tanah yang subur bagi Silar, menjadi ladang yang subur bagi para mujahid (begitu warga setempat menamai mereka yang terpaksa mengangkat senjata, karena menurutnya Polisi tidak adil dalam menyelesaikan konflik Poso]

Dengan alasan dendam karena puluhan keluarganya terbantai saat kerusuhan, sosok seperti Basri kemudian menjadi momok bagi Polisi. Ia disebut-sebut Polisi sebagai pimpinan kelompok bersenjata dan seorang yang menguasai banyak persenjataan.

Polisi lalu memata-matai Pesantren Amanah dan Ustadz Adnan. Polisi memberi inisial Ustadz Adnan Arsal dengan AA. Ia dianggap banyak mengetahui siapa-siapa saja dari 29 nama DPO Mabes Polri [kini tinggal sekitar 10 orang setelah operasi Kepolisian pada 22 Januari 2007 lalu] yang diumumkan secara terbuka di Poso pada 26 Oktober 2006.

Polisi menuduh Ustadz Adnan menyembunyikan mereka, namun Ustadz menyatakan bahwa anak-anak itu adalah korban konflik

Tapi, Polisi bersikukuh. Hukum harus ditegakkan. Maka dilakukanlah operasi pada 11 dan 22 Januari 2007. Total jenderal korban sipil 15 orang dan dua orang Polisi. Sejumlah DPO ditembak dan lainnya ditangkap lalu dibui. Sementara lainnya masih melarikan diri.

Tanah Runtuh makin melambung namanya setelah itu. Tidak ada yang tak mengenalnya. Padahal kelurahan dengan topografi berbukit itu terlihat biasa-biasa saja. Bukitnya penuh ilalang dan hutan jati. Masyarakatnya beragam. Tidak semua pula yang pernah memanggul senjata.

Pesantren Amanah
Saat ini, pesantren Amanah mendidik 16 santri putri, 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kanak dan 65 orang santri putra seusia anak-anak sekolah menengah pertama alias abege.

Saat ini, pesantren Amanah berdiri di dua lokasi berbeda. Pesantren Amanah di Tanah Runtuh menjadi tempat belajar 16 santri putri dan 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kana. Lalu yang satu lagi di Landangan, Poso Pesisir yang menjadi tempat belajar 65 santri putra.

Tidak ada kegiatan lain yang mencolok dari para santri kecuali belajar agama. Pengajaran agamanya disesuaikan dengan kurikulum nasional. Adapun pengajian kitab kuning dilaksanakan di luar jadwal jam pelajaran sekolah.

Memang kini pesantren itu terkesan tertutup dari orang luar. Itu terjadi lantaran setiap peristiwa kekerasan terjadi di Poso, pesantren ini selalu menjadi sasaran penggeledahan polisi. Makanya, mereka terkesan sangat berhati-hati menerima tamu. Sebab polisi yang biasa datang selain memakai seragam juga ada yang tidak.***

Blog Info

BLOG ini berisi sejumlah catatan jurnalistik saya yang sempat terdokumentasikan. Isi blog ini dapat dikutip sebagian atau seluruhnya, sepanjang menyebutkan sumbernya, karena itu salah satu cara menghargai karya orang lain. Selamat membaca.

Dedication Quote

ORANG yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca, karena itu sumber hikmah. Menyediakan waktu tertawa karena itu musiknya jiwa. Menyediakan waktu untuk berfikir karena itu pokok kemajuan. Menyediakan waktu untuk beramal karena itu pangkal kejayaan. Menyediakan waktu untuk bersenda gurau karena itu akan membuat awet muda.Menyediakan waktu beribadah karena itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa. [Anonim]