Kawasan Tanah Runtuh, Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota menjadi momok bagi Polisi, karena diduga menjadi basis pertahanan kelompok bersenjata. Di kawasan itu pula berdiri Pesantren Amanah, yang juga dimata-matai Polisi karena diduga pimpinannya Ustadz Muhammad Adnan Arsal menyembunyikan para DPO Mabes Polri.
Sebelum tahun 1950, Kelurahan Gebangrejo masih disebut sebagai Kampung Gebangrejo yang menjadi bagian dari Kampung Gorontalo yang sekarang menjadi Kelurahan Bonesompe.
Dulunya, sebelum menjadi permukiman, Gebangrejo adalah hutan lebat yang ditumbuhi banyak pohon Silar, sejenis pohon Palem. Itulah yang menjadi asal mula kata Gebang yang artinya Silar. Sementara rejo artinya subur. Itu adalah dua kata berasal dari Bahasa Jawa. Harapannya, agar Gebangrejo menjadi kampung yang maju, makmu dengan lahan pertanian yang subur.
Dari tahun 1950 – 1968, Gebangrejo yang sudah berpisah dari Kampung Gorontalo dipimpin oleh seorang bekas anggota tentara Kerajaan Belanda atau KNIL bernama Soemadikoro.
Lalu setelah itu, dari 1968 – 1974, beralih ke Suhardjo, tetua masyarakat setempat. Saat itu, masuklah penduduk yang mengungsi dari Kabupaten Luwu, Paolpo Utara, Sulawesi Selatan dan Jawa.
Tahun 1974-1975, Gebangrejo beralih kepemimpinannya kepada Kepala Kampung Hagu Harun. Di akhir kepemimpinan Hagu, Kampung Gebangrejo berubah menjadi Desa. Saat itu, Desa tersebut dipimpin oleh seorang anggota Tentara Nasional Indonesia bernama Saridjo. Di masa kepemimpinan Saridjo, Desa Gebangrejo berubah menjadi Kelurahan. Ia memimpin hingga 1988.
Sepeninggal Saridjo, tepatnya dari 1988 – 1991, Kelurahan Gebangrejo dipimpin lagi orlah seorang anggota TNI bernama Sujawarso. Sampai kemudian pada 1991, tak cukup setahun, Kelurahan baru ini dipimpin oleh WD Manggede, seorang anggota Polisi Pamong Praja.
Setelah itu, lagi-lagi Gebangrejo dipimpin oleh seorang anggota militer bernama G Parainta dari 1991-1995.
Tahun 1995-2001, kepemimpinan Gebangrejo beralih ke tangan sipil. Saat itu, wilayah yang kemudian dikenal sebagai Tanah Runtuh ini dipimpin oleh Mahyudin Darise. Lalu pada 2000-2001 dipimpin oleh Dasiran. Menyusul kemudian pada 2002-2004 dipimpin oleh Suripto K. Saat ini, Kelurahan ini dipimpin oleh Mariono Ari Pamungkas, SH yang diangkat pada tahun 2004.
Dari data Demografi di Kantor Kelurahan Setempat, jumlah penduduk Gebangrejo sebanyak 10.521 jiwa. Rinciannya, Laki-laki (Islam) sebanyak 5.267 jiwa, Perempuan (Islam) 4.983 jiwa. Lalu Lakli (Kristen) sebanyak 102 jiwa dan Perempuan (Kristen) 114 jiwa. Ditambah lagi Laki-laki (Hindu) 32 jiwa dan Perempuan (Hindu) 23 jiwa. Dari data tersebut diketahui jumlah laki-laki sebanyak 5.401 jiwa dan perempuan 5.120 jiwa.
Dari data demografi yang tercatat di Kantor Kelurahan, diketahui pula sebanyak 1.120 jiwa berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Selebihnya adalah anggota TNI (11 jiwa) dan anggota Polri (116 jiwa). Adapula yang menjadi karyawan swasta sebanyak 230 jiwa dan karyawan BUMN semisal Pertamina sebanyak 155 orang. Selebihnya adalah pedagang (460 jiwa), peternak (26 jiwa) dan Petani (419) serta sejumlah sector jasa lainnya.
Tidak ada yang tahu pasti mengapa Gebangrejo berkali-kali dipimpin oleh militer. Dari sumber terbatas diketahui bahwa saat itu diduga sejumlah pelarian anggota PRRI-Permesta bersembunyi di tempat itu. Belum lagi sejumlah pengungsi yang lari Palopo Utara karena ketika itu wilayah tersebut masih dikuasai pasukan DII TII Kahar Muzakar.
Saat ini Gebangrejo sudah berkembang menjadi permukiman yang ramai. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau biasa disebut saja PAM didirikan di sini. Sejak saat itu, selain disebut Gebangrejo, dikenal pula sebagai PAM.
Kini disebut Tanah Runtuh lantaran beberapa tahun lalu, badan jalan di sisi Sungai Poso di bibir kawasan yang masuk dalam Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota itu, runtuh.
Gebangrejo, membumbung namanya, setelah konflik mengharubiru Poso. Setelah pembunuhan ratusan santri Pesantren Walisongo di Kilometer 9, Poso pada tahun 2000 banyak santri, para tenaga pengajar dan keluarganya lari ke wilayah itu.
Yayasan Badan Wakaf Ulul Albab berperan besar dalam mengfasilitasi para pengungsi Walisongo tersebut sampai kemudian mereka mendirikan Pesantren Amanan pada tanggal 4 Mei 2001. Tokoh pentingnya adalah Ustadz Muhammad Adnan Arsal, ulama karismatik di Poso. Tidak bisa memisahkan nama Tanah Runtuh dari Pesantren Amanah.
Namun siapa menyangka kemudian dari sinilah benih-benih apa yang disebut polisi sebagai kelompok bersenjata dan kemudian dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Mabes Polri bermula. Dari tanah yang subur bagi Silar, menjadi ladang yang subur bagi para mujahid (begitu warga setempat menamai mereka yang terpaksa mengangkat senjata, karena menurutnya Polisi tidak adil dalam menyelesaikan konflik Poso]
Dengan alasan dendam karena puluhan keluarganya terbantai saat kerusuhan, sosok seperti Basri kemudian menjadi momok bagi Polisi. Ia disebut-sebut Polisi sebagai pimpinan kelompok bersenjata dan seorang yang menguasai banyak persenjataan.
Polisi lalu memata-matai Pesantren Amanah dan Ustadz Adnan. Polisi memberi inisial Ustadz Adnan Arsal dengan AA. Ia dianggap banyak mengetahui siapa-siapa saja dari 29 nama DPO Mabes Polri [kini tinggal sekitar 10 orang setelah operasi Kepolisian pada 22 Januari 2007 lalu] yang diumumkan secara terbuka di Poso pada 26 Oktober 2006.
Polisi menuduh Ustadz Adnan menyembunyikan mereka, namun Ustadz menyatakan bahwa anak-anak itu adalah korban konflik
Tapi, Polisi bersikukuh. Hukum harus ditegakkan. Maka dilakukanlah operasi pada 11 dan 22 Januari 2007. Total jenderal korban sipil 15 orang dan dua orang Polisi. Sejumlah DPO ditembak dan lainnya ditangkap lalu dibui. Sementara lainnya masih melarikan diri.
Tanah Runtuh makin melambung namanya setelah itu. Tidak ada yang tak mengenalnya. Padahal kelurahan dengan topografi berbukit itu terlihat biasa-biasa saja. Bukitnya penuh ilalang dan hutan jati. Masyarakatnya beragam. Tidak semua pula yang pernah memanggul senjata.
Pesantren Amanah
Saat ini, pesantren Amanah mendidik 16 santri putri, 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kanak dan 65 orang santri putra seusia anak-anak sekolah menengah pertama alias abege.
Saat ini, pesantren Amanah berdiri di dua lokasi berbeda. Pesantren Amanah di Tanah Runtuh menjadi tempat belajar 16 santri putri dan 47 santri anak-anak seusia taman kanak-kana. Lalu yang satu lagi di Landangan, Poso Pesisir yang menjadi tempat belajar 65 santri putra.
Tidak ada kegiatan lain yang mencolok dari para santri kecuali belajar agama. Pengajaran agamanya disesuaikan dengan kurikulum nasional. Adapun pengajian kitab kuning dilaksanakan di luar jadwal jam pelajaran sekolah.
Memang kini pesantren itu terkesan tertutup dari orang luar. Itu terjadi lantaran setiap peristiwa kekerasan terjadi di Poso, pesantren ini selalu menjadi sasaran penggeledahan polisi. Makanya, mereka terkesan sangat berhati-hati menerima tamu. Sebab polisi yang biasa datang selain memakai seragam juga ada yang tidak.***