Deklarasi Malino untuk Poso sudah berbilang lebih dari enam tahun usianya. Kesepakatan yang diteken 24 tokoh Kristen dan 25 tokoh Muslim Poso ini sudah jadi catatan sejarah upaya rekonsiliasi konflik. Tentu, cerita di baliknya sudah berulang kali diceritakan, oleh banyak orang pula. Jadi adakah yang menarik dari cerita upaya damai yang dimediasi Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang kala itu menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat? Ada! Yakni, soal pengembalian hak-hak keperdataan ratusan warga pascakonflik.
KONFLIK Poso yang membuat ribuan orang meregang nyawa dan kehilangan harta benda boleh jadi sudah selesai. Api konflik kemanusiaan itu sudah padam. Tapi jangan lupa, api biasanya tiba-tiba menyala dalam sekam yang menumpuk. Ini soal hak-hak keperdataan warga yang belum terpulihkan sepenuhnya.
Saat wilayah ini dilanda konflik kemanusiaan, ribuan hektare tanah dan lahan-lahan perkebunan ditinggalkan mengungsi. Saat konflik usai, mereka kembali, namun kerap tanah maupun lahan yang mereka punya dikuasai orang lain. Lalu mereka pun terpaksa mendiami tanah milik orang lain pula.
Saat Deklarasi Malino untuk Poso diteken Kamis, 20 Desember 2001 silam, di Malino, Sulawesi Selatan, pengembalian keperdataan menjadi bahasan penting. Poin ketujuh Deklarasi ini menyebutkan; Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
Berbilang tahun hal itu terabaikan. Peledakan bom, penembakan misterius dan aksi-aksi kekerasan lainnya mewarnai hari-hari pasca deklarasi kemanusiaan itu dan menyita perhatian banyak orang.
Lalu tibalah masa di mana triliunan rupiah bantuan kemanusiaan mengalir ke Poso. Mulai dari dana jatah hidup, bekal hidup, bantuan bahan baku rumah dan banyak lagi bantuan lainnya turun seperti hujan dari langit. Tibalah juga musim panen bagi para pengemplang uang milik orang banyak itu. Miliaran rupiah tidak jelas mengalir ke mana. Memang, ada satu dua para pengemplang uang itu yang dibui, tapi masa hukumannya tidak sebanding perbuatannya. Ada pula yang bebas percuma.
Yang terakhir Pemerintah Pusat menggelontorkan bantuan recovery Poso sebesar Rp58 miliar. Cerita baru pun mengalir lagi. Untuk urusan pengembalian hak-hak keperdataan sekitar Rp950 juta dianggarkan dari dana recovery itu.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Poso, Sulawesi Tengah pun bekerja, tentu karena mereka adalah lembaga pemerintah yang berwenang mengurusi hal itu. Pekerjaan pun dimulai sejak 1 April – 31 Desember 2007. Mereka bekerja di 90 desa dan 23 kelurahan di 11 kecamatan,. Hasilnya, tidak kurang 300 sertifikat pengganti sudah diterbitkan bagi warga korban konflik Poso. Lalu diterbitkan lagi 101 sertikat perumahan bagi warga di Tiwa’a, Poso Pesisir Utara, Bukit Bambu, Poso Kota dan Kawua, Poso Kota Selatan.
Untuk itu, “dana yang telah terpakai sebesar Rp 500 juta, dari total Rp 950 juta yang dianggarkan dalam Dana Recovery. Sisa dananya masih ada di Bappeda Poso," kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha BPN Poso B.S Monepa.
Dana itu dipergunakan untuk penyuluhan kepada masyarakat terkait program pengembalian hak-hak keperdatan ini. Lalu inventarisasi terhadap sertifikat yang hilang atau terbakar, tanah yang diokupasi dan peralihan tanah di bawah tangan. Setelah itu barulah diterbitkan sertifikat penggantinya.
Monepa mengakui proses pengecekan ulang usai inventarisasi harus dilakukan secermat mungkin.
“Suatu saat ada warga yang mengakui sertifikatnya terbakar saat kerusuhan. Lalu kita kirimkan datanya ke bank-bank untuk jadi pemberitahuan dan diumumkan di media selama seminggu. Ternyata sebelum masa sebulan lewat, ada pengurus koperasi yang datang menyampaikan bahwa sertifikat warga tersebut dijaminkan di koperasinya,” tutur Monepa.
Jadi, "Sebelum menerbitkannya, kami telah melakukan pemeriksaan di lapangan untuk membuktikan bahwa tanah itu ada dan luasnya sesuai dengan yang dilaporkan masyarakat," kata Monepa.
Untuk hal tersebut pihak BPN Poso memang mengakui harus hati-hati sebab bisa-bisa akan menimbulkan konflik baru.
Itulah yang disebutkan oleh pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Tadulako Palu, Harun Nyak Itam Abu.
“Saya sendiri sebelumnya punya tanah di Tentena yang diokupasi oleh orang lain. Tentu masih ada kasus lain yang serupa. Ini akan memancing konflik jika pihak yang menguasai tanah itu sudah merasa nyaman dan mengklaim tanah itu sebagai miliknya, dan kemudian mengurus sertifikat. Jadi sudah semestinya, setelah proses penegakan hukum selesai, masalah ini diseriusi Pemerintah Kabupaten Poso,” kata Harun dalam sebuah percakapan.
Soal peralihan di bawah tangan, menurut Harun, lantaran desakan ekonomi dan faktor psikologis di mana warga yang mengungsi tidak berani lagi kembali ke daerah asalnya. Jadi, kata Harun, ini persoalan yang benar-benar serius, selain urusan penegakan hukum.
Harun wajar kuatir. Simak saja data yang ada di BPN Poso. Tercatat ada 35 kasus okupasi tanah. Tanah-tanah ini milik orang lain yang kini sudah didiami oleh bukan pemilik sah tanah itu. Untuk membuktikannya tentu perlu sertifikat atau surat-surat keterangan kepemilikan lainnya. Ini terjadi lantaran segregasi penduduk pada saat konflik, di mana warga Muslim akan berkumpul dengan sesamanya, begitu pula warga yang beragama Kristen. Sampai kemudian setelah fajar damai terbit, ketika mereka kembali tanah-tanah mereka dikuasai oleh orang lain. Ada pula yang tidak ingin kembali ke daerah asalnya.
Belum lagi sertifikatnya yang terbakar. Dari inventarisasi BPN Poso tercatat sekitar 107 sertifikat warga Manyajaya, Pamona Selatan terbakar. Lalu, adapula di Desa Uelene, masih di Pamona Selatan sebanyak 61 sertifikat. Menyusul di Masamba sebanyak 39 sertifikat dan sebanyak 34 sertifikat warga di Masani, Poso Pesisir juga terbakar.
Soal peralihan tanah atau lahan di bawah tangan, jangan ditanya lagi, mencapai 334 kasus. Ada yang hanya memakai kuitansi, ada pula yang tanpa bukti apa-apa. Hal-hal seperti inilah yang rawan memicu konflik kata Harun kemudian.
Memang, “menangani kasus keperdataan sangat sulit. Sampai saat ini hak-hak keperdataan belum selesai. Sampai saat ini baru 70 persen berjalan,” aku Frits Abbas, dari Satkorlak Sulawesi Tengah.
Ketua DPRD Poso Sawerigading Pelima juga mengatakan, kasus hak-hak keperdataan di Poso yang masih tersisa harus sesegera mungkin diselesaikan karena rentan akan timbulnya permasalahan baru.
Menurutnya, korban konflik di pengungsian sudah lama merindukan kembali ke tanah atau pun rumahnya yang sudah beberapa tahun ditinggalkan sejak konflik Poso memanas pada tahun 2000 hingga 2002.
Tapi, lanjutnya, mereka terkejut begitu melihat kenyataan bahwa tanahnya sudah diokupasi orang lain sehingga mereka enggan untuk kembali.
"Daripada muncul permasalahan baru lebih baik mereka tetap berada di pengungsian. Jadi, kasus ini harus lebih diperhatikan pemerintah selain masalah lainnya," kata Pelima.
Lalu bagaimana masalah tanah dan lahan-lahan warga yang masih tersisa dan belum bersertifikat?
Seperti yang diakui Monepa, sebenarnya pihak BPN Poso menargetkan mampu menerbitkan sebanyak 500 sertifikat tanah baru sampai akhir 2007 lalu.
Namun, "keterbatasan waktulah yang menyebabkan target tidak terpenuhi. Apalagi ada beberapa warga yang kurang bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah," ujarnya.
Selain itu, BPN tidak memiliki program untuk mengatasi hak keperdataan masyarakat korban konflik.
"Kami tidak ada anggaran untuk hal itu," katanya, dan berharap agar pemerintah pusat mampu memberi dana serta memperpanjang pelaksanaan penyelesaian hak-hak keperdataan, karena masih banyak tanah atau bangunan yang sampai saat ini bermasalah akibat lama ditinggalkan pemiliknya.
"Hak-hak keperdataan masyarakat harus segera dikembalikan ke pemilik aslinya. Masalah lahan adalah masalah yang rumit sekaligus rawan sehingga pemerintah tidak menghendaki terjadi konflik baru yang diakibatkan perebutan tanah atau keperdataan," imbuh Monepa.
Tapi Monepa tidak boleh lupa masih ada sebesar Rp450 juta dari Dana Recovery yang belum terpakai. Jadi ini hanya soal kemauan, itikad baik BPN Poso untuk benar-benar menyelesaikan masalah urusan rentan konflik ini.
Tentu saja, urusan ini adalah pekerjaan berat bagi Pemerintah Poso selain hal-hal lain yang juga menguras tenaga, dana dan pikiran.
Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi pun mengakui hal itu. Apalagi saat ini mereka harus bekerja keras mengentaskan kemiskinan. Di daerah yang kaya dengan potensi sumber daya alam itu, tercatat ada sekitar sekitar 50.000 jiwa warga miskin dari 194.241 jiwa total penduduk Poso saat ini. Jumlah rumah tangga miskin mencapai sekitar 20.000 RTM, dan angka pengangguran terbesar adalah para tamatan SLTA sekitar 2.000 orang.
Pascakonflik Poso, memang hak-hak keperdataan merupakan wilayah paling rentan memicu konflik baru. Banyak tanah dan lahan perkebunan warga yang ditinggal mengungsi kemudian digarap oleh warga lain. Begitu pula rumah-rumah penduduk yang ditinggal mengungsi atau rumah yang hangus terbakar, kemudian ditempati penduduk lain.
Ada yang berujung pada sengketa di Pengadilan, ada pula yang adu fisik dan ada pula yang sudah patah semangat untuk mengurusi tanah dan lahannya.
Jadi ini, memang benar-benar seperti mengais bukti di tanah yang terbakar konflik.
Wajar pula Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah yang saat ini menggelar Operasi Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat bersandi Siwagilemba juga memberi perhatian lebih pada pemulihan hak-hak keperdataan ini.***
KONFLIK Poso yang membuat ribuan orang meregang nyawa dan kehilangan harta benda boleh jadi sudah selesai. Api konflik kemanusiaan itu sudah padam. Tapi jangan lupa, api biasanya tiba-tiba menyala dalam sekam yang menumpuk. Ini soal hak-hak keperdataan warga yang belum terpulihkan sepenuhnya.
Saat wilayah ini dilanda konflik kemanusiaan, ribuan hektare tanah dan lahan-lahan perkebunan ditinggalkan mengungsi. Saat konflik usai, mereka kembali, namun kerap tanah maupun lahan yang mereka punya dikuasai orang lain. Lalu mereka pun terpaksa mendiami tanah milik orang lain pula.
Saat Deklarasi Malino untuk Poso diteken Kamis, 20 Desember 2001 silam, di Malino, Sulawesi Selatan, pengembalian keperdataan menjadi bahasan penting. Poin ketujuh Deklarasi ini menyebutkan; Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
Berbilang tahun hal itu terabaikan. Peledakan bom, penembakan misterius dan aksi-aksi kekerasan lainnya mewarnai hari-hari pasca deklarasi kemanusiaan itu dan menyita perhatian banyak orang.
Lalu tibalah masa di mana triliunan rupiah bantuan kemanusiaan mengalir ke Poso. Mulai dari dana jatah hidup, bekal hidup, bantuan bahan baku rumah dan banyak lagi bantuan lainnya turun seperti hujan dari langit. Tibalah juga musim panen bagi para pengemplang uang milik orang banyak itu. Miliaran rupiah tidak jelas mengalir ke mana. Memang, ada satu dua para pengemplang uang itu yang dibui, tapi masa hukumannya tidak sebanding perbuatannya. Ada pula yang bebas percuma.
Yang terakhir Pemerintah Pusat menggelontorkan bantuan recovery Poso sebesar Rp58 miliar. Cerita baru pun mengalir lagi. Untuk urusan pengembalian hak-hak keperdataan sekitar Rp950 juta dianggarkan dari dana recovery itu.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Poso, Sulawesi Tengah pun bekerja, tentu karena mereka adalah lembaga pemerintah yang berwenang mengurusi hal itu. Pekerjaan pun dimulai sejak 1 April – 31 Desember 2007. Mereka bekerja di 90 desa dan 23 kelurahan di 11 kecamatan,. Hasilnya, tidak kurang 300 sertifikat pengganti sudah diterbitkan bagi warga korban konflik Poso. Lalu diterbitkan lagi 101 sertikat perumahan bagi warga di Tiwa’a, Poso Pesisir Utara, Bukit Bambu, Poso Kota dan Kawua, Poso Kota Selatan.
Untuk itu, “dana yang telah terpakai sebesar Rp 500 juta, dari total Rp 950 juta yang dianggarkan dalam Dana Recovery. Sisa dananya masih ada di Bappeda Poso," kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha BPN Poso B.S Monepa.
Dana itu dipergunakan untuk penyuluhan kepada masyarakat terkait program pengembalian hak-hak keperdatan ini. Lalu inventarisasi terhadap sertifikat yang hilang atau terbakar, tanah yang diokupasi dan peralihan tanah di bawah tangan. Setelah itu barulah diterbitkan sertifikat penggantinya.
Monepa mengakui proses pengecekan ulang usai inventarisasi harus dilakukan secermat mungkin.
“Suatu saat ada warga yang mengakui sertifikatnya terbakar saat kerusuhan. Lalu kita kirimkan datanya ke bank-bank untuk jadi pemberitahuan dan diumumkan di media selama seminggu. Ternyata sebelum masa sebulan lewat, ada pengurus koperasi yang datang menyampaikan bahwa sertifikat warga tersebut dijaminkan di koperasinya,” tutur Monepa.
Jadi, "Sebelum menerbitkannya, kami telah melakukan pemeriksaan di lapangan untuk membuktikan bahwa tanah itu ada dan luasnya sesuai dengan yang dilaporkan masyarakat," kata Monepa.
Untuk hal tersebut pihak BPN Poso memang mengakui harus hati-hati sebab bisa-bisa akan menimbulkan konflik baru.
Itulah yang disebutkan oleh pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Tadulako Palu, Harun Nyak Itam Abu.
“Saya sendiri sebelumnya punya tanah di Tentena yang diokupasi oleh orang lain. Tentu masih ada kasus lain yang serupa. Ini akan memancing konflik jika pihak yang menguasai tanah itu sudah merasa nyaman dan mengklaim tanah itu sebagai miliknya, dan kemudian mengurus sertifikat. Jadi sudah semestinya, setelah proses penegakan hukum selesai, masalah ini diseriusi Pemerintah Kabupaten Poso,” kata Harun dalam sebuah percakapan.
Soal peralihan di bawah tangan, menurut Harun, lantaran desakan ekonomi dan faktor psikologis di mana warga yang mengungsi tidak berani lagi kembali ke daerah asalnya. Jadi, kata Harun, ini persoalan yang benar-benar serius, selain urusan penegakan hukum.
Harun wajar kuatir. Simak saja data yang ada di BPN Poso. Tercatat ada 35 kasus okupasi tanah. Tanah-tanah ini milik orang lain yang kini sudah didiami oleh bukan pemilik sah tanah itu. Untuk membuktikannya tentu perlu sertifikat atau surat-surat keterangan kepemilikan lainnya. Ini terjadi lantaran segregasi penduduk pada saat konflik, di mana warga Muslim akan berkumpul dengan sesamanya, begitu pula warga yang beragama Kristen. Sampai kemudian setelah fajar damai terbit, ketika mereka kembali tanah-tanah mereka dikuasai oleh orang lain. Ada pula yang tidak ingin kembali ke daerah asalnya.
Belum lagi sertifikatnya yang terbakar. Dari inventarisasi BPN Poso tercatat sekitar 107 sertifikat warga Manyajaya, Pamona Selatan terbakar. Lalu, adapula di Desa Uelene, masih di Pamona Selatan sebanyak 61 sertifikat. Menyusul di Masamba sebanyak 39 sertifikat dan sebanyak 34 sertifikat warga di Masani, Poso Pesisir juga terbakar.
Soal peralihan tanah atau lahan di bawah tangan, jangan ditanya lagi, mencapai 334 kasus. Ada yang hanya memakai kuitansi, ada pula yang tanpa bukti apa-apa. Hal-hal seperti inilah yang rawan memicu konflik kata Harun kemudian.
Memang, “menangani kasus keperdataan sangat sulit. Sampai saat ini hak-hak keperdataan belum selesai. Sampai saat ini baru 70 persen berjalan,” aku Frits Abbas, dari Satkorlak Sulawesi Tengah.
Ketua DPRD Poso Sawerigading Pelima juga mengatakan, kasus hak-hak keperdataan di Poso yang masih tersisa harus sesegera mungkin diselesaikan karena rentan akan timbulnya permasalahan baru.
Menurutnya, korban konflik di pengungsian sudah lama merindukan kembali ke tanah atau pun rumahnya yang sudah beberapa tahun ditinggalkan sejak konflik Poso memanas pada tahun 2000 hingga 2002.
Tapi, lanjutnya, mereka terkejut begitu melihat kenyataan bahwa tanahnya sudah diokupasi orang lain sehingga mereka enggan untuk kembali.
"Daripada muncul permasalahan baru lebih baik mereka tetap berada di pengungsian. Jadi, kasus ini harus lebih diperhatikan pemerintah selain masalah lainnya," kata Pelima.
Lalu bagaimana masalah tanah dan lahan-lahan warga yang masih tersisa dan belum bersertifikat?
Seperti yang diakui Monepa, sebenarnya pihak BPN Poso menargetkan mampu menerbitkan sebanyak 500 sertifikat tanah baru sampai akhir 2007 lalu.
Namun, "keterbatasan waktulah yang menyebabkan target tidak terpenuhi. Apalagi ada beberapa warga yang kurang bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah," ujarnya.
Selain itu, BPN tidak memiliki program untuk mengatasi hak keperdataan masyarakat korban konflik.
"Kami tidak ada anggaran untuk hal itu," katanya, dan berharap agar pemerintah pusat mampu memberi dana serta memperpanjang pelaksanaan penyelesaian hak-hak keperdataan, karena masih banyak tanah atau bangunan yang sampai saat ini bermasalah akibat lama ditinggalkan pemiliknya.
"Hak-hak keperdataan masyarakat harus segera dikembalikan ke pemilik aslinya. Masalah lahan adalah masalah yang rumit sekaligus rawan sehingga pemerintah tidak menghendaki terjadi konflik baru yang diakibatkan perebutan tanah atau keperdataan," imbuh Monepa.
Tapi Monepa tidak boleh lupa masih ada sebesar Rp450 juta dari Dana Recovery yang belum terpakai. Jadi ini hanya soal kemauan, itikad baik BPN Poso untuk benar-benar menyelesaikan masalah urusan rentan konflik ini.
Tentu saja, urusan ini adalah pekerjaan berat bagi Pemerintah Poso selain hal-hal lain yang juga menguras tenaga, dana dan pikiran.
Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi pun mengakui hal itu. Apalagi saat ini mereka harus bekerja keras mengentaskan kemiskinan. Di daerah yang kaya dengan potensi sumber daya alam itu, tercatat ada sekitar sekitar 50.000 jiwa warga miskin dari 194.241 jiwa total penduduk Poso saat ini. Jumlah rumah tangga miskin mencapai sekitar 20.000 RTM, dan angka pengangguran terbesar adalah para tamatan SLTA sekitar 2.000 orang.
Pascakonflik Poso, memang hak-hak keperdataan merupakan wilayah paling rentan memicu konflik baru. Banyak tanah dan lahan perkebunan warga yang ditinggal mengungsi kemudian digarap oleh warga lain. Begitu pula rumah-rumah penduduk yang ditinggal mengungsi atau rumah yang hangus terbakar, kemudian ditempati penduduk lain.
Ada yang berujung pada sengketa di Pengadilan, ada pula yang adu fisik dan ada pula yang sudah patah semangat untuk mengurusi tanah dan lahannya.
Jadi ini, memang benar-benar seperti mengais bukti di tanah yang terbakar konflik.
Wajar pula Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah yang saat ini menggelar Operasi Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat bersandi Siwagilemba juga memberi perhatian lebih pada pemulihan hak-hak keperdataan ini.***