Palu – Tidak kurang dari 100 orang warga Poso, dibantu sejumlah lembaga swadaya masyarakat Sulawesi Tengah, Senin (25/2/2008) pukul 11.00 Waktu Indonesia Tengah, menyerbu Kantor Gubernur dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah. Mereka menuntut pengungkapan dugaan korupsi dana recovery Poso senilai Rp 58 miliar.
Dana tersebut adalah bantuan Kementerian Kesejahteraan Rakyat yang dikucurkan ke Poso pada 2006 lalu. Namun dalam penyalurannya ditemukan sejumlah penyimpangan. Dana tersebut diperuntukkan bagi pemulihan sosial dan ekonomi warga Poso pasca kerusuhan suku, agama, ras dan antargolongan yang melanda Poso sejak 2000.
Seratusan warga tersebut sebelumnya berkumpul di Taman Gor Palu, lalu kemudian menggelar long march di sejumlah jalan protokol di Palu hingga ke Kantor Gubernur dan Kejati Sulteng. Sepanjang jalan hingga tiba di kedua kantor Pemerintahan tersebut, mereka menggelar orasi yang menuntut aparat hukum mengusut tuntas penyelewengan dana recovery.
Muhammad Nasir Said, koordinator lapangan aksi warga Poso yang menamakan diri Aliasi Advokasi Bantuan Kemanusiaan Poso (AABKP) tersebut mendesak Kejaksaan untuk segera memeriksa Bupati Poso Piet Inkiriwang dan satuan-satuan kerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten Poso. Mereka dinilai bertanggung jawab atas penyelewengan dana bantuan kemanusiaan tersebut.
“Kami mencium adanya konspirasi antara penegak hukum dengan orang-orang yang diduga melakukan korupsi dana bantuan kemanusiaan itu, karenanya kami juga mendesak Jaksa Agung untuk memecat Jaksa Tinggi Sulawesi Tengah jika tidak bisa mengungkapkan kasus ini,” tandas Nasir.
Di Kantor Gubernur Sulteng, warga Poso ini diterima Wakil Gubernur Sulteng Ahmad Yahya. Wagub Ahmad juga membubuhkan tanda tangan di atas sehelai kain putih sebagai pernyataan sikapnya mendukung pengungkapan dugaan korupsi dana recovery ini.
Warga Poso mengancam akan menduduki Kantor Kejaksaan Tinggi Sulteng sampai kasus ini diselidiki.
Kasus ini pertama kali mencuat pada Mei 2007, setelah mantan Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Pendeta Rinaldy Damanik melaporkan dugaan korupsi Bupati Poso Piet Inkiriwang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pendeta Rinaldy menyatakan bahwa dana sebesar itu diterima oleh Bupati Piet dalam dua tahapan. Tahap pertama diterima sebesar Rp 30 miliar dan tahap kedua sebesar Rp 28 miliar.
“Mestinya dana tersebut menjadi bagian perkuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Poso, tapi ternyata tidak ada. Itu berarti bahwa proses perencanaan dan implementasi dana packa bencana tersebut tidak melalui proses pembahasan dan tanpa sepengetahuan DPRD,” jelas Damanik.
Menurutnya, jika memang dana tersebut dipergunakan semestinya, harus ada bukti yang jelas.
“Sampai saat ini sekitar 300 kepala keluarga pengungsi korban Kerusuhan asih bermukim di kompleks Lapangan Terbang Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Mereka belum memiliki tanah dan rumah yang layak untuk menetap dan masih banyak hal lainnya yang semestinya sudah tertanggulangi dengan dana sebesar itu,” kata Damanik.***
Dana tersebut adalah bantuan Kementerian Kesejahteraan Rakyat yang dikucurkan ke Poso pada 2006 lalu. Namun dalam penyalurannya ditemukan sejumlah penyimpangan. Dana tersebut diperuntukkan bagi pemulihan sosial dan ekonomi warga Poso pasca kerusuhan suku, agama, ras dan antargolongan yang melanda Poso sejak 2000.
Seratusan warga tersebut sebelumnya berkumpul di Taman Gor Palu, lalu kemudian menggelar long march di sejumlah jalan protokol di Palu hingga ke Kantor Gubernur dan Kejati Sulteng. Sepanjang jalan hingga tiba di kedua kantor Pemerintahan tersebut, mereka menggelar orasi yang menuntut aparat hukum mengusut tuntas penyelewengan dana recovery.
Muhammad Nasir Said, koordinator lapangan aksi warga Poso yang menamakan diri Aliasi Advokasi Bantuan Kemanusiaan Poso (AABKP) tersebut mendesak Kejaksaan untuk segera memeriksa Bupati Poso Piet Inkiriwang dan satuan-satuan kerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten Poso. Mereka dinilai bertanggung jawab atas penyelewengan dana bantuan kemanusiaan tersebut.
“Kami mencium adanya konspirasi antara penegak hukum dengan orang-orang yang diduga melakukan korupsi dana bantuan kemanusiaan itu, karenanya kami juga mendesak Jaksa Agung untuk memecat Jaksa Tinggi Sulawesi Tengah jika tidak bisa mengungkapkan kasus ini,” tandas Nasir.
Di Kantor Gubernur Sulteng, warga Poso ini diterima Wakil Gubernur Sulteng Ahmad Yahya. Wagub Ahmad juga membubuhkan tanda tangan di atas sehelai kain putih sebagai pernyataan sikapnya mendukung pengungkapan dugaan korupsi dana recovery ini.
Warga Poso mengancam akan menduduki Kantor Kejaksaan Tinggi Sulteng sampai kasus ini diselidiki.
Kasus ini pertama kali mencuat pada Mei 2007, setelah mantan Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Pendeta Rinaldy Damanik melaporkan dugaan korupsi Bupati Poso Piet Inkiriwang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pendeta Rinaldy menyatakan bahwa dana sebesar itu diterima oleh Bupati Piet dalam dua tahapan. Tahap pertama diterima sebesar Rp 30 miliar dan tahap kedua sebesar Rp 28 miliar.
“Mestinya dana tersebut menjadi bagian perkuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Poso, tapi ternyata tidak ada. Itu berarti bahwa proses perencanaan dan implementasi dana packa bencana tersebut tidak melalui proses pembahasan dan tanpa sepengetahuan DPRD,” jelas Damanik.
Menurutnya, jika memang dana tersebut dipergunakan semestinya, harus ada bukti yang jelas.
“Sampai saat ini sekitar 300 kepala keluarga pengungsi korban Kerusuhan asih bermukim di kompleks Lapangan Terbang Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Mereka belum memiliki tanah dan rumah yang layak untuk menetap dan masih banyak hal lainnya yang semestinya sudah tertanggulangi dengan dana sebesar itu,” kata Damanik.***