Palu – Bekas Bupati Poso, Sulawesi Tengah Andi Azikin Suyuti, Selasa (2/9) sekitar pukul 14.00 Waktu Indonesia Tengah dijatuhi vonis dua tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Neger Palu. Azikin yang juga bekas Ketua Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Tengah tersebut diadili dalam perkara korupsi dana pemulangan pengungsi korban kerusuan Poso pada 2001 yang merugikan negara sebesar Rp 1,2 miliar.
Majelis Hakim PN Palu yang diketuai Faturrahman SH juga mewajibkan Azikin membayar denda sebesar Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan serta uang pengganti sebesar Rp 1,2 miliar.
Faturrahman mengatakan jika uang pengganti tersebut tidak diganti setelah jatuhnya putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta Azikin akan disita senilai uang pegganti atau menggantinya dengan satu tahun kurungan lagi.
Namun, dalam pembacaan amar putusan, majelis hakim PN Palu tidak memerintahkan penahanan kepada Andi Azikin Suyuti, sebelum putusan yang dijatuhkannya tersebut berkekuatan hukum tetap. Majelis menilai sikap kooperatif dan pengabdian Azikin Suyuti sebagai pegawai negeri sipil lebih 20 tahun, menjadi pertimbangan yang meringankan.
Perkara korupsi dana pemulangan pengungsi korban kerusuhan Poso 2001 yang melilit Azikin Suyuti yakni ketika yang bersangkutan menjabat Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulteng. Ia menjabat Bupati Poso tahun 2005.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa/penuntut umum (JPU) dari Kejati Sulteng selama tujuh tahun penjara.
Selain melibatkan Azikini, kasus korupsi dana pemulangan pengungsi Poso juga menyeret mantan Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele. Berkas perkara Aminuddin Ponulele diperiksa dalam persidangan terpisah dan telah diputus bebas oleh majelis hakim PN Palu yang juga diketuai Fatuhrahman.
Sementara itu, Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sulteng , Ariati SH, menyatakan masih pikir-pikir melakukan banding atas putusan mejelis hakim ini.
Begitu pun dengan tim Penasehat Hukum Azikin yang diketuai Tajwin Ibrahim. “Kami masih pikir-pikir untuk mengajukan banding atas keputusan ini,” katanya singkat, saat mendampingi Azikin keluar dari ruang persidangan PN Palu.
Azikin sendiri ketika dimintai keterangan, menolak memberikan keterangan. Ia hanya berujar singkat, “tidak usah kamu beritakan ini.”
Jejak Kasus Azikin
Sekadar diketahui kasus Azikin terkait dengan bekas Gubernur Sulawesi Tengah Prof Aminuddin Ponulele. Aminuddin sendiri sudah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Palu, Rabu (22/8/2007) lalu. Saat itu, bersama bekas Gubernur Aminuddin, terdakwa Azikin membuka rekening atas nama Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam dan Pengungsi (Satkorlak PBP) Sulteng di BNI Cabang Palu untuk menampung dana dari Depsos guna kebutuhan pengungsi akibat kerusuhan Poso.
Selanjutnya pada 4 Desember 2001 Dinkessos Sulteng menerima alokasi anggaran yang bersumber dari APBN 2001 sekitar Rp15,29 miliar yang disalurkan oleh Dirjen Bina Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos.
Dana itu mana termasuk pembayaran kegiatan pelaksanaan transportasi pemulangan pengungsi Poso yang ada di Kabupaten Morowali sebanyak 1.000 kepala keluarga (KK) atau 5.000 jiwa senilai lebih Rp1,25 miliar.
Sesuai petunjuk operasionalnya, setiap jiwa pengungsi memperoleh bagian Rp 250 ribu.
Nah, karena pencairan dana tersebut di penghujung tahun anggaran Pimpro Proyek Bencana Alam dan Pengungsi (PBP) Dinkessos Sulteng, Amrin SH, menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan dan melaksanakan kegiatan tersebut.
Masalah ini selanjutnya disampaikan Azikin, dan ternyata Aminuddin tetap memerintahkan agar dana itu dicairkan kemudian diserahkan kepada dirinya.
Atas permintaan bekas Gubernur Aminuddin, pada 12 Desember 2001 Amrin SH mengajukan SPP-UYHD ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Palu untuk mencairkan sebagian dana tersebut sebesar Rp11,18 miliar.
Pada tanggal 18 Desember 2001, atas permintaan Aminuddin melalui Azikin, Pimpro Amrin SH kembali menyerahkan sebagian dana itu (Rp11,09 miliar lebih) kepada Aminuddin selaku Ketua Satkorlak PBP Sulteng, termasuk di dalamnya biaya pemulangan pengungsi Poso.
Berikut, 26 Desember 2001, Amrin SH mengajukan surat permintaan pembayaran pembangunan, permintaan pembayaran pembangunan secara swakelola, daftar rincian permintaan pembangunan, dan surat penyetoran pajak dilengkapi Berita Acara Serah Terima Uang No.52.a/BA/PBA/BID/PK/XII/2001 tanggal 18 Desember 2001 yang ditandatangani Aminuddin sebagai pertanggungjawaban ke KPKN Palu.
Namun ternyata tak sesuai dengan mata anggaran yang tertuang dalam Surat Kuasa Penerbitan Uang No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 dan menyimpang dari Petunjuk Operasional.
Juga, pada tanggal bersamaan, Nirat Patadjennu BBA selaku Bendaraha Proyek PBP Dinkessos Sulteng telah menyetorkan dana kegiatan Proyek PBP Sulteng sebesar Rp11,092 miliar ke rekening Satkorlak PBP Sulteng yang ada di BNI Cabang Palu.
Lalu, Pada tanggal 14 Januari 2002 Aminuddin menyerahkan kembali dana kegiatan proyek PBP tahun 2001 kepada Azikin, namun penyerahan tersebut hanya dilakukan secara administratif alias fiktif sebab uangnya tidak turut diserahkan tetapi tetap disimpan pada rekening Satkorlak PBP Sulteng.
Setelah Aminuddin menyerahkan dana secara fiktif sesuai berita acara serah terima uang No.446.1/0563/Dinkessos-G.ST tanggal 14 Januari 2002, Aminuddin menandatangani surat perjanjian pekerjaan 2 Juli 2002 sebagai pihak yang mengetahui pelaksanaan pekerjaan bersama Azikin selaku pihak pertama dan Dahliana SE Dirut CV Ralianti selaku pihak kedua untuk melaksanaan pekerjaan transportasi pemulangan pengungsi Poso di Kabupaten Morowali sebanyak 1.125 KK (5.625 jiwa) dalam jangka waktu 30 hari kerja.
Biaya pelaksanaan pekerjaan ini disepakati sebesar Rp1,237 miliar yang dibebankan dalam surat kuasa penerbitan uang (SKP) No.13/SKP/PBAP/2001 tanggal 4 Desember 2001 pada Proyek PBP Sulteng dengan cara pembayaran sekaligus (100 persen) setelah pekerjaan selesai dilaksanakan.
Namun, kegiatan pemulangan pengungsi sesuai dengan perjanjian kerja itu tidak dilaksanakan sama sekali, namun oleh Azikin (Kepala Dinkessos Sulteng) bersama Dahliana (Dirut CV Ralianti) hanya menandatangani kelengkapan dokumen fiktif.
Karena dana itu masih tersimpan dalam rekening Satkorlak PBP Sulteng, Azikin selanjutnya meminta kepada Aminuddin untuk mencairkan biaya transportasi pemulangan pengungsi Poso, sehingga Aminuddin kemudian mengeluarkan cek atas unjuk (cek tunai) nomor CA 22380 bernilai Rp1,237 miliar.
Akan tetapi, dana yang sudah dicairkan ini belakangan diketahui tidak diteruskan kepada para pengungsi yang menjadi korban kerusuhan.
Juga, dana transportasi pemulangan pengungsi Poso yang masih tersisa direkening Satkorlak PBP Sulteng BNI Cabang Palu yakni sebesar Rp21,25 juta, sehingga total dana yang disalurkan Depsos ke Provinsi Sulteng yang tak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya oleh Aminuddin sebesar Rp1,258 miliar.
Karenanya, JPU dakwaan primer mengacam Azikin dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b, Ayat (2), Ayat (3) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, dengan ancaman hukuman antara empat hingga 20 tahun penjara.
Poso Center Protes
Meski Azikin sudah divonis, banyak pihak yang tidak puas atas vonis tersebut. Salah satunya adalah Poso Center, yang sejak awal mengawal proses hukum kasus tersebut.
Mahfud Masuara, Sekretaris Poso Center, sejak semula pesimis kasus ini akan ditangani secara adil. Ia lalu membeber besaran dana yang sudah dikucurkan Pemerintah Pusat untuk penanganan pengungsi Poso, namun sebagian besar diduga dikorupsi pejabat-pejabat terkait. [Lihat Tabel—red]
“Karenanya kami meminta kasus ini ditangani langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sebab kami pesimis kasus ini akan ditangani secara adil dan sesuai hukum berlaku,” tekan Mahfud.
Mahfud mengharapkan KPK membuka kembali semua kasus korupsi dana pengungsi Poso yang mencapai 100-an miliar rupiah. Mahfud menyebutkan lagi soal pembebasan bekas Gubernur Sulawesi Tengah Aminudin. Padahal
sebelumnya Jaksa Penuntut Umum menuntut empat tahun penjara atas tuduhan korupsi dana pemulangan pengungsi korban kerusuhan Poso 2001 sebesar Rp1,2 miliar.
Seperti diketahui sejak 2001-2004 pemerintah pusat mengucurkan bantuan dana kemanusiaan sekitar Rp. 140 miliar lebih kepada masyarakat Poso dalam berbagai bentuk, seperti dana pemulangan pengungsi Rp. 13, 7 miliar, jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup) Rp. 92, 6 miliar serta bahan bangunan rumah (BBR) Rp. 35 miliar.
Terbukti dalam penyalurannya sarat dengan korupsi. Bantuan tersebut tidak sepenuhnya sampai ke masyarakat Poso, bahkan, sebagian diantara warga yang menjadi korban kerusuhan sejak eskalasi kekerasan meningkat sama sekali tidak dapat memperoleh dana tersebut.
Modusnya, mulai dari pemotongan dana bantuan, mark up jumlah pengungsi hingga manipulasi data. Hasilnya mereka bagi-bagi. Masing-masing pejabat dan aparat keamanan dan komandan BIN, “bermufakat” dan mendapatkan “jatah preman”. Sementara, selebihnya bagi pelaksana lapangan. Juga tak ketinggalan aparat penegak hukum mendapat kuncuran dana haram tersebut.
Bahkan, sebelumnya, oleh Pengadilan Jakarta Pusat memvonis bebas Azikin Suyuti atas tuduhan korupsi bahan bangunan rumah (BBR) senilai Rp 6,4 miliar. Padahal JPU menuntut lima tahun kepada Asikin Suyuti dan tuntutan 1,5 hingga tiga tahun kepada delapan pengusaha yang menangani proyek-proyek kemanusian di Poso.
Namun hasilnya sangat mengagetkan, Asikin di vonis bebas, sementara para pelaku lapangan tetap mendapat kurungan penjara. Pengusaha yang menjalani hukuman kurungan adalah, Hi. Agus, Ivan Sijaya, Noldi, Mat Laparigi, Abd. Kadir sidik, Andi Makasau dan Ny. Rusmin.***